“Pengukur Bobot Dosa” (Indah Darmastuti): Antologi Cara Menjadi Mati dan Menderita

03.01




Oleh: Satya Adhi

KEMATIAN diumumkan setiap hari. Pesakitan memenuhi bangsal-bangsal rawat diri. Di tengah rentetan maut dan derita, kumpulan cerpen ini terbit. 


Ini 97 halaman pengepul duka. Pembaca akan disuguhi beragam cara mati ala Indah Darmastuti. Nyaris 13 cerpen dalam buku mempertontonkan kematian secara warna-warni.


Baca Selengkapnya ....

Di cerpen Portal misalnya, kematian terasa biasa dan terlalu mudah dilakukan. Mirip dengan Perdebatan sebelum Senja, saat maut dipertontonkan begitu saja, ujug-ujug, terasa cepat dan keliru namun terjadi juga.


Dalam Pengukur Bobot Dosa, cerpen yang dipilih Indah sebagai judul antologinya, kematian menjadi premis utama penggerak cerita. Seorang tukang gali kubur yang kecepatan menggalinya bakal menunjukkan bobot dosa si mayat. Ini cerita yang merangkum tema utama antologi ini: kematian, derita, cinta dan khianat. 


Cerpen paling “riang” terbaca dalam Tiga Lansia. Seorang nenek tak mau balik ke rumah anaknya dan justru betah di panti jompo. Itu pun Indah masih memasukkan unsur derita; keriangan si nenek adalah akibat dari derita tokoh lainnya. 


Cerpen punya kekuatan dalam menampilkan dongeng orang-orang biasa dengan cerita biasa. Biarlah kisah “penting” para priyai jadi santapan media massa. Asal lihai, seorang cerpenis mampu mengubah benda-benda sederhana seperti sepatu, piring, topeng, menjadi guliran cerita yang punya bobot personal.


Tentu dalam banyak kasus sekian cerpenis berambisi bicara soal isu sosial dalam cerita-ceritanya. Ini bisa jadi jebakan. Kalau tak pandai mengolah, cerita bisa terasa seperti narasi berita yang sekadar dibumbui kisah-kisah personal. 


Dalam cerpen-cerpen Indah, kisah-kisahnya dibangun dari hubungan personal antar-karakter dan agak mengabaikan latar sosial. Ketika Indah berbunyi soal isu sosial, justru ceritanya gagal. Dalam Di Bawah Bantal, Indah berkisah seorang bocah yang mimpinya adalah tanda bencana di lingkungannya. Bencana yang disebabkan oleh negara. Namun relasi mimpi dan realitas serta alur yang disusun terasa tidak solid, tidak utuh, dan sekali lagi, ujug-ujug.


Untungnya Indah tidak banyak memilih tema-tema “perempuan.” Ini jebakan juga. Tema semisal ketidakadilan terhadap perempuan, rentan jatuh pada kisah-kisah pamflet yang lebih bagus jadi narasi kampanye gerakan. Memang tidak salah mengambil tema ini, tapi cerita soal isu perempuan biasanya berangkat dari konsep hitam putih yang membosankan. Toh Sentilan Indah soal isu perempuan tetap bisa dinikmati dalam cerpen Dalam Tubuhku dan Seroja. 


Satu lagi yang pekat dalam kisah-kisah Indah adalah hubungan masa lalu dan masa kini. Masa lalu kerap digambarkan sebagai kenangan traumatis penyebab nyeri yang masih terasa hingga masa sekarang.


Yang paling dahsyat adalah Seroja. Cerpen ini punya pemilihan kosakata yang puitis, teknik penulisan penuh selubung yang membuat pembaca tak secara gamblang tahu isi ceritanya secara langsung, dan penggerak derita masa lalu yang kuat.


Hari ini, ketika orkestra penderitaan dilantunkan tiap detik, antologi cerpen Indah Darmastuti pada akhirnya membawa pembaca pada satu dari dua kemungkinan: membiasakan diri pada maut dan derita, atau membawa efek trauma ke puncak sihirnya.[]


Judul: Pengukur Bobot Dosa: Kumpulan Cerita

Penulis: Indah Darmastuti

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun Terbit: Oktober 2020

 

You Might Also Like

0 komentar