Sebuah Perjumpaan dengan Eka Kurniawan Si Penulis Muda

09.09



Oleh: Satya Adhi

Oh, senangnya bisa berjumpa seorang penulis muda masa depan sastra Indonesia. Sepuluh cerpennya tercetak di sebuah buku 94 halaman. Terbitan tahun 2000 — tahun yang kata Nasida Ria adalah tahun harapan. Diterbitkan Yayasan Aksara Indonesia yang beradres di Yogyakarta.


Corat-Coret di Toilet tajuk kitabnya. Eka Kurniawan nama penulisnya. Bukan, bukan Eka Kurniawan pengarang empat novel fenomenal sekaligus peraih Prince Claus Award. Setidaknya belum. Ini Eka Kurniawan yang belum kamu lihat sebelumnya.


“Buku yang ada di hadapan pembaca sekarang ini adalah sebuah kumpulan cerita pendek karya seorang penulis muda. Eka Kurniawan, begitu nama penulis ini, setelah menerbitkan buku pertamanya berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis … kini memperkenalkan bukunya yang kedua, Corat-Coret di Toilet” (halaman ix).


Penulis muda! Aku membayangkan Eka baru mentas pendidikan dari Fakutas Filsafat UGM, mungkin masih sering ditanya orang tua “mau kerja apa?” lalu nekat saja menerbitkan 10 cerpennya ke buku tipis yang kovernya dibuat sekenanya. Corat-coret betulan. (Baca selengkapnya ....)

Lalu aku balik halaman kover menuju lembar ketiga. Halaman persembahan. “Untuk Elpiwin Adela, sebagai pengganti bunga.” Aku menebak-nebak siapa sang pengganti bunga ini. Mungkin Eka Kurniawan muda masih polos soal asmara. Nama Elpiwin Adela kini tak lagi tercetak di Corat-Coret di Toilet terbitan Gramedia. Elpiwin, bagaimana kabarmu?

Aku membaca pelan-pelan, satu per satu cerpen si Eka Kurniawan muda. Kisah Corat-Coret di Toilet aku baca pertama kali. Saat itu aku sedang mengerjakan naskah berita tentang revolusi toilet di China. Orang-orang di sana mencorat-coret dinding toilet dengan kata-kata protes. Tembok kakus jadi tempat paling aman dari pengawasan rezim Xi Jinping.


Apakah orang-orang China pernah membaca cerpen ini? Aku tentu tidak tahu. Yang jelas, aku merasa bahwa Corat-Coret di Toilet menjadi kisah terbaik di buku ini. Ia jadi rekaman khas situasi pasca-reformasi republik. Orang bebas bicara, apapun. Dari bicara soal ajakan kencan, protes ke pejabat negara, hingga olok-olok komunis. Semua terjadi di salah satu tempat paling bau di dunia, sekaligus paling banyak dikunjungi.


Selain itu, strategi penulisan si Eka Kurniawan muda di cerpen ini terasa empuk. Dia menggunakan tangan dan pikiran tokoh-tokohnya untuk menyebut kata-kata semacam “reformasi,” “revolusi,” “borjuis,” “reaksioner,” “PKI.” Kata-kata itu terlontar dalam cara komunikasi yang menggelikan di dinding toilet.


Soalnya, ada cerpen yang masih terasa belum dikemas dengan pengisahan yang asyik. Kata-kata khas demonstrasi jalanan dituliskan begitu saja sehingga cerpen terdengar seperti poster-poster protes. Itu aku temui ketika Eka Kurniawan muda mengisahkan tokoh Peter Pan dalam cerpen Peter Pan. Ia menulis, “Bagaimana pun semua itu terjadi karena aktivitas revolusionernya yang semakin menyita waktu sehingga ia tak sempat lagi masuk ke ruang kuliah.”


Beberapa cerpen lain bisa aku maknai sebagai rekaman peristiwa di akhir kekuasaan Orde Baru. Hikayat Orang Gila dengan lihai menceritakan kekacauan di sekitar referendum Timor Timur dari sudut pandang seorang gila. Kisah dari Seorang Kawan ditulis lewat gaya cerita-dalam-cerita ala Robohnya Surau Kami, menuturkan cerita perlawanan pedagang terhadap monopoli jual-beli.


Ada juga cerpen-cerpen percobaan Eku Kurniawan muda dalam menulis kisah berlatar historis. Kedua cerpen itu, Rayuan Dusta untuk Marietje dan Siapa Kirim Aku Bunga? Berlatar Hindia Belanda dan ditulis dari sudut pandang aparat kolonial. Tidak buruk. Siapa Kirim Aku Bunga? bahkan berhasil membenturkan sudut pandang kolonial dengan kenyataan pahit yang dialami orang-orang bumiputra.


Yang tak kalah menarik, kita bisa melihat bagaimana Eka Kurniawan muda menulis tentang perempuan. Tentu kamu tahu novel-novel si penulis muda mendatang akan erat jua dengan sudut pandang perempuan. Nah, bagaimana di masa yang lalu ia menulis tentang perempuan?


Aku membaca Dongeng sebelum Bercinta sambil ngakak-ngakak. Bayangkan, ada perempuan yang melawan perjodohan dengan mendongeng. Ia mengikat suaminya dengan sumpah, tak akan bercinta tanpa mendengar dongeng si istri sampai selesai. Duh, berahi si suami kudu terhalang dongeng Alice’s Adventure in Wonderland.


Sementara itu, di Teman Kencan, para perempuan adalah sumber kegagalan malam Minggu dari seorang aktivis. Nelangsakah selalu nasib asmara para aktivis itu? Sedangkan di Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam, perempuan digambarkan sebagai manusia yang berpindah dari satu kemalangan ke kemalangan lain.


Berakhirlah perjumpaanku dengan si penulis muda masa depan sastra Indonesia. Aku menutup buku, membaca sebentar sampul belakang. Pada bagian bawah paragraf, ada kata-kata langka yang sukar ditemui di tahun 2000. “www.ekakurniawan.com.” Aih, si penulis muda sudah punya website sejak tahun 2000. Media berita saja baru secuil yang punya – mungkin Detik, Tempo, dan beberapa yang lain.


Berkat website itu, pembaca tahu di mana bisa menjumpai lagi Eka Kurniawan si penulis muda.[]

You Might Also Like

0 komentar