Babad Perjalanan, Kuliner, dan Erotisisme Dua Raden

12.26


Oleh: Satya Adhi

Aku sering bertanya-tanya, akankah muncul cerita fantasi-kolosal dari Indonesia yang memukau dan benar-benar memikat. Apalagi, akhir-akhir ini aku sedang mengikuti serial House of the Dragon di HBO dan The Lord of the Rings: Rings of Power di Prime Video. Pikirku, karena Indonesia punya sejarah kerajaan-kerajaan masa lampau di kepulauan Nusantara, harusnya kisah-kisah fantasi macam itu sangat mungkin diciptakan.


Pertanyaan itu akhirnya terjawab di buku maha asyik karya Yusi Avianto Pareanom, Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi (selanjutnya disebut Raden Mandasia). Ini pertemuan yang cukup terlambat antara aku dan si buku. Kemasyhuran Raden Mandasia sudah aku dengar sejak berkuliah. Namun entah kenapa tangan dan dompetku belum tergerak untuk membeli-membaca Raden Mandasia waktu itu.


Paman Yusi membagi Raden Mandasia setidaknya menjadi 3 bagian. Bagian pertama menuturkan latar belakang Sungu Lembu dan bagaimana ia bertemu Raden Mandasia. Bagian kedua menceritakan perjalanan Sungu Lembu dan Raden Mandasia ke Gerbang Agung. Kemudian bagian ketiga adalah yang paling raya, ihwal peperangan antara Kerajaan Gilingwesi dan Gerbang Agung.


Di awal buku, yang ada di imajinasiku adalah kisah-kisah ala Angling Dharma dan Saur Sepuh. Ada malam yang keparat, prajurit-prajurit kerajaan berlarian mengejar 2 pencuri yang ternyata sepasang raden berbeda negeri, lengkap dengan imaji tentang kostum, tombak, panah, dan bagaimana para tokoh berbicara dengan bahasa Indonesia baku. (Baca selengkapnya ...)

Meskipun karakter Raden Mandasia menjadi judul buku, protagonis yang sesungguhnya adalah Sungu Lembu. Paman Yusi meletakkan pondasi latar belakang karakter yang begitu kuat untuk tokoh ini. Di bagian-bagian awal, pembaca tahu siapa dia, bagaimana ia tumbuh, siapa orang-orang yang ia kasihi, serta apa yang mendorongnya melakukan perjalanan bersama Raden Mandasia.


Banyak Wetan menjadi karakter favoritku. Ia paman sekaligus guru Sungu Lembu. Peran guru kerap dikisahkan dengan porsi yang penting dalam cerita-cerita silat. Itu pula yang dilakukan Paman Yusi di novel ini. Pembaca wajib tahu, setiap tubuh dan pikiran pendekar yang terlatih adalah hasil pengajaran guru yang sakti pula. Banyak Wetan menjadi karakter yang menyediakan itu. Bukan hanya soal latihan fisik dan kekebalan, tapi juga perihal martabat dan pikiran.


“Ketidakadilan dianggap garis tangan. Ini yang harus kita ubah …. Kita sebar gagasan tentang bangsa yang berdaulat. Bisa lewat padepokan-padepokan, perkumpulan-perkumpulan, atau yang sejenisnya” (halaman 97).


Kalau Banyak Wetan adalah seorang patih atau raja, gagasan itu wajib diabadikan dalam kitab atau prasasti.


Pertaruhan Paman Yusi yang tak kalah besar adalah ketika ia memutuskan menciptakan karakter Raden Mandasia yang gemar mencuri daging sapi, memotong-motong, dan memasaknya, dan bahkan tabiat ini diabadikan menjadi judul. Kemampuan riset perkulineran Paman Yusi diuji di sini.


Aku tidak tahu apakah Paman Yusi memang gemar memasak sehingga ingatannya tentang makanan begitu jeli, atau ia jenis orang yang betul-betul melakukan riset kuliner dari nol. Yang pasti, pembaca tak akan menyelesaikan Raden Mandasia tanpa lidah yang merindu panganan lezat pembuat tubuh melayang ke jagat adikodrati. Bagian-bagian awal serta bab Sang Juru Masak jadi bagian yang cukup mewakili hal ini.


Sependek bacaanku, ini novel kedua yang membuat air liurku sempoyongan setelah Pulang karya Leila Chudori. Bedanya, Pulang menghadirkan kuliner-kuliner Indonesia yang cukup aku kenal, sementara Raden Mandasia mengisahkan kuliner negeri dongeng – yang aku yakin benar-benar ada di dunia nyata – semacam babi panggang si Loki Tua, masakan daging ayam bikinan Raden Mandasia, juga aneka rupa makanan dari negeri-negeri sepanjang perjalanan Raden Mandasia dan Sungu Lembu ke Barat.


Nah, ihwal perjalanan, para pelancong dan penulis catatan perjalanan tampaknya bisa belajar dari bagaimana Paman Yusi menulis kisah perjalanan Raden Mandasia dan Sungu Lembu ke Gerbang Agung. Paman Yusi melakukan riset yang luar biasa, sehingga pembaca akan mengira dia benar-benar melakoni petualangan tersebut. Pembaca dibuat percaya bahwa dua raden dari sebuah negeri dan masa yang fantasi – latar dalam novel ini meminjam latar waktu ketika Nusantara masih dikuasai banyak kerajaan – berpetualang menaiki kapal layar bersama para awak perkasa, melawan badai di lautan, menghajar para lanun alias bajak laut, bergaul bersama orang-orang di negeri asing, dan bertemu nabi.


Kalau ditanya ada tidak hal yang menggangguku di novel ini, jawabanku adalah tentang proporsi laki-laki dan perempuan yang terasa tak imbang. Dalam Raden Mandasia, semua tokoh perempuannya bernasib malang. Peran mereka juga tak jauh dari kekasih yang dicintai si tokoh lelaki atau pemuas nafsu para karakter laki. 


Selain kisah Nyai Manggis, cerita melulu berpusat pada karakter laki-laki dan cara pandang laki-laki. Pembaca perempuan pun pada akhirnya dipaksa menerima kisah bagaimana laki-laki melihat dunia, melihat peperangan, memandang gagasan tentang keadilan, dan tentu tentang bagaimana laki-laki melihat perempuan. Aku bisa membayangkan betapa para perempuan (dan laki-laki) – terutama yang progresif – akan agak terganggu ketika membaca beberapa bagian di novel ini.


Soalnya, unsur erotisisme versi laki-laki sangat kental di Raden Mandasia. Aku tidak mau bercerita banyak tentang yang satu itu. Biar kau baca sendiri. Buat bocoran sedikit, begini kata Paman Yusi ketika seorang jurnalis bilang bahwa bab Rumah Dadu Nyai Manggis adalah bab yang asyik.


“Kenapa? Karena bikin kau terangsang?” Begitu kata Yusi Avianto Pareanom.[]

You Might Also Like

0 komentar