Han Kang Berbisik Pertanyaan
05.59
gambar: s3-ap-southeast-2.amazonaws.com |
“Ia tidak percaya manusia. Wajah, fakta, dan kalimat semanis apa
pun tidak dapat dipercaya. Ia tahu harus keluar dari dalam
pertanyaan-pertanyaan dingin dan rasa curiga yang kental”
(Mata Malam, 2017: 115).
(Mata Malam, 2017: 115).
Seoul, Korea
Selatan, 1982. Di sebuah malam musim panas yang gerah, seorang gadis kecil membuka
selembar halaman buku yang belum selesai dari sejarah negaranya. Bukan hanya
belum selesai. Halaman hitam itu tengah ditulis oleh seorang presiden keji, juga
derap sepatu para serdadu, kepalan tangan para pelajar, dan air mata setiap Ibu
yang anaknya tak berkabar berhari-hari.
Han Kang, gadis
12 tahun yang kepalanya ditumbuki banyak pertanyaan, merangkak naik ke rak buku
ayahnya ketika seisi rumah tengah menonton teve di dapur. Diam-diam ia meraih
sebuah album foto yang dibeli ayahnya di terminal Gwangju – kota yang terhampar
268 km di sebelah selatan Seoul. Celaka. Han Membuka album terkutuk itu.
“Aku ingat
ketika membuka halaman terakhir album itu, ketika aku melihat wajah anak
perempuan yang tubuhnya hancur akibat tusukan pedang yang dalam. Suatu bagian
yang lembut di dalam diriku, yang sebelumnya tidak kusadari ada di sana, pecah
tanpa suara” (Han Kang, 2017: 235). (Baca selengkapnya...)
Dalam
kesempatan lain, Han berkisah soal pengalaman tersebut. Pengalaman pertamanya menjumpai
ke(tidak)manusiaan. “Jika aku berusia 20 tahun ketika pertama kali melihatnya
mungkin aku akan sangat membenci rezim militer, tapi aku masih sangat kecil, aku
hanya merasa kalau manusia sangat menakutkan dan aku jadi bagian dari manusia-manusia
itu” (theguardian.com, 5 Februari 2016).
Pengalaman
pertama hanya datang sekali. Han tumbuh jadi remaja yang penuh dengan
pertanyaan. Mengapa manusia hidup? Mengapa menderita? Mengapa harus ada
kematian? Mengapa kita tidak boleh mati?
Han kira,
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu bisa ditemui di buku-buku yang ia baca. “Tapi
aku sadar kalau buku-buku juga hanya berisi pertanyaan. Para penulisnya juga
lemah dan rapuh, persis seperti kita” (ibid.).
Umur 14
tahun, Han tahu kalau dia ingin jadi penulis. Ia ingin membisikan
pertanyaan-pertanyaan yang sudah membuncah di kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan
soal manusia, pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuat Han membalaskan “han”-nya kepada setiap manusia yang
tidak tahu caranya menjadi manusia.
Mimpi-mimpi
Ada mimpi di
setiap karya Han. Mimpi yang mengisi tidur Han Kang setiap malam yang memengaruhi
proses kreatifnya, selain tentunya hal-hal yang ia lihat, dengar, cium, sentuh,
dan rasa. “Ada juga mimpi-mimpi – terkadang mimpi buruk – dan lamunan. Lalu ada
juga kenangan pribadi, yang sulit untuk tidak muncul secara langsung di karya
fiksiku” (Ideal Syllabus: Han Kang, frieze.com,11 September 2017).
Membaca paragraf
tersebut, akan ada kecurigaan kalau sebagian besar diri Yeong Hye, tokoh
protagonis dalam Vegetarian (Changbi
Publishers, 2007; Portobello Books, 2015; Penerbit Baca, Februari 2017), adalah
diri Han Kang yang tengah bergejolak.
Yeong Hye
adalah seorang perempuan sekaligus seorang istri yang memutuskan untuk berhenti
makan daging. Penyebabnya adalah mimpi. Ia punya mimpi-mimpi aneh tentang
darah, daging, dan pengalaman brutal masa kecilnya. Yeong Hye pikir, dengan
berhenti makan daging, mimpi-mimpi buruk akan berhenti mendatanginya. Bukan
tidak mungkin, beberapa mimpi yang dikisahkan dalam Vegetarian adalah mimpi Han Kang; si penulis yang didatangi
mimpi-mimpi aneh sejak dia mencuri lihat sebuah album foto milik ayahnya.
Tapi mimpi-mimpi
terus mendatangi Yeong Hye – atau Han Kang (?) – meski ia sudah berhenti makan
daging. Mimpi-mimpi itu baru berhenti ketika saudara ipar Yeong Hye melukis
sekujur tubuhnya dengan lukisan bunga dan tanaman, lalu mereka bercinta
berpeluh-peluh. Sejak itu, Yeong Hye ingin berhenti jadi manusia. Ia ingin jadi
tanaman saja. Menurutnya, itu adalah satu-satunya cara untuk berpisah dari
koloni manusia yang makin menakutkan.
“‘Kakak
benar. Perkataan dan pemikiranku akan segera lenyap. Segera’” (hal. 186). Pernyataan
Yeong Hye tersebut adalah perkataan paling mengerikan dalam 222 halaman Vegetarian. Bahkan lebih mengerikan dari
pertanyaan, “‘Kenapa? Apa aku tidak boleh mati?”’ (hal. 190). Tidak hanya
karena dikatakan dengan riang gembira oleh Yeong Hye, namun juga menjadi penegasan
Han Kang yang sudah jenuh akan perang dan kekacauan manusia.
Gejolak-gejolak
macam ini berlanjut ketika Han Kang menulis Mata
Malam [diterbitkan Changbi Publishers dengan judul Soenyeon-i Onda, 2014; Portobello Books dengan judul Human Acts, 2016; Penerbit Baca, Oktober
2017). Dari personalitas tubuh Yeong Hye, pertanyaan-pertanyaan Han Kang
bergerak ke tubuh-tubuh massal yang dibantai negara secara kejam.
Human Acts berkisah tentang peristiwa berdarah Mei 1980 di Gwangju, yang membuat
Han kembali ke pengalaman masa kecilnya. Gwangju bukan hanya kota kelahiran
Han. Ia kota yang menjelma jalanan ricuh penuh darah dan jenazah, album foto
monokromis yang ironis, juga ingatan tentang nyanyian-nyanyian perjuangan –
tentang Aegukga dan Arirang.
“‘Gwangju’
adalah nama lain untuk yang dikucilkan, diinjak-injak, dihancurkan, secara
paksa…. Gwangju terus dilahirkan dan dibunuh lagi. Diledakkan lagi setelah
pulih, dibuat berlumuran darah lagi setelah dibangun” (Mata Malam, hal. 246).
Melalui Mata Malam, Han Kang mencoba mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang lebih politis soal kemanusiaan. Dong Ho, protagonist
dalam Mata Malam yang tewas karena
pelor tentara meski sudah mengangkat tangan tanda menyerah, sempat berkata
demikian: “Kenapa mereka menyanyikan lagu kebangsaan untuk orang-orang yang
dibunuh oleh tentara? Kenapa mereka menyelimuti peti mati dengan bendera Korea?
Seolah-olah yang membunuh mereka bukan negara” (hal. 18).
Sebelum
menulis Mata Malam, Han Kang menemui
para korban, termasuk kakak Dong Ho. Darinya, Han mendapat kata-kata yang
menghujam batin. “Izin? Tentu saja saya
izinkan, tapi Anda harus menuliskannya dengan baik, ya. Harus ditulis dengan
benar. Tulislah agar tidak ada yang menistakan adik saya lagi” (hal. 251).
“Tulislah
agar tidak ada yang menistakan adik saya lagi.” Han sadar kalau ia tidak bisa langsung
mengubah keadaan dengan menulis. Ia hanya bisa bertanya, kemudian berharap para
pembacanya ikut bertanya pada diri sendiri, kemudian perang dan pertikaian bisa
ikut dipertanyakan, kemudian satu jawaban yang nyaris mustahil akan muncul:
perdamaian.
Pasalnya, di
Korea pikiran manusia masih terancam oleh kekejaman perang. “Di Chuseok,
festival panen kami, beberapa orang bahkan menyiapkan hadiah untuk keluarga mereka
– bukan hadiah biasa seperti buah, tapi “ransel survival,” dipenuhi dengan senter, radio, obat-obatan, dan biskuit”
(Han Kang, nytimes.com, 7 Oktober2017).
Penuntun Memasuki Korea
Suatu hari
Han Kang membaca sebuah berita di surat kabar. Seorang lelaki 70 tahun
menjatuhkan dua bundel tebal, isinya duit. Dua orang yang tanpa sengaja
menemukan uang si lelaki, ditangkap polisi dan didakwa pasal pencurian. Sampai
di sini, ceritanya masih biasa-biasa saja.
Si lelaki
berkisah kepada polisi, kenapa ia membawa dua bundel tebal berisi duit di
jalanan. “Saya khawatir kalau perang akan datang,” katanya pada polisi, “jadi
saya mengambil semua simpanan saya di bank dan baru saja akan pulang ke rumah.”
Uang itu adalah uang yang dia tabung tiap bulan selama empat tahun untuk
membiayai kuliah cucunya.
“Sejak
Perang Korea pecah pada 1950, perang adalah pengalaman melelahkan dari
kehidupan remaja lelaki ini. Aku membayangkan apa yang akan dia rasakan,
seorang pria kelas menengah biasa, dalam perjalanan ke bank untuk mengambil
simpanannya. Teror. Kegelisahan. Ketidakmampuan. Kegugupan” (ibid.).
Dari sebuah
album foto, lari ke buku-buku, Han Kang terus melahirkan pertanyaan-pertanyaan
tentang kemanusiaan. Pada 2016, buku Han berjudul The White Book terbit. Greek
Lessons (Munhakdongne Publishing, 2011) yang berkisah tentang seorang
lelaki yang kehilangan penglihatannya, dan seorang perempuan yang kehilangan
suaranya, kiranya juga menjadi buku Han Kang yang layak dibaca.
Orang-orang
yang sudah membaca Vegetarian dan Mata Malam, mau tidak mau akan didera kompleksitas
rasa rindu dan penasaran yang menggebu. Apakah seorang perempuan Korea yang
memutuskan untuk menjadi penulis di usia 14 tahun, menerbitkan novel pertamanya
di usia 24 tahun, dan meraih Man Booker International Prize di usia 46 tahun, adalah
benar seorang penulis yang mampu bertahan di tengah mesin sejarah yang tak
pernah berhenti?
Para
penerjemah dan penerbit di Indonesia kiranya punya tanggung jawab buat menjawab
pertanyaan itu. Tanggung jawab yang akan menuntun pembaca untuk memasuki Korea
melalui sastra dan pertanyaan-pertanyaan tentang kemanusiaan.[]
Solo, 1 Januari 2018
0 komentar