Dari Sensor ke Sensor: Bagaimana Industri Film Korea Bertahan dan Melawan

22.44


Protes di depan sebuah bioskop di Myongdong, Seoul, pada September 1988, terhadap distribusi langsung film Hollywood ke Korea (sumber: popupargusts.blogspot.com).

Oleh: Satya Adhi

Sejarah film Korea adalah sejarah perlawanan. Ini yang jarang dibahas ketika Parasite-nya Bong Joon-ho menjadi film Korea pertama yang raih piala Oscar untuk kategori film terbaik di Academy Awards 2020.

Nyaris semua orang membicarakan bagaimana Parasite sukses membikin sejarah; bagaimana film tersebut akan mengubah lanskap perfilman global. Kita agaknya lupa kalau film sekelas Parasite tak mungkin lahir dari situasi sosial-politik yang biasa-biasa saja.

Korea -- seperti negara dunia ketiga lainnya -- punya sejarah panjang tentang represi dan sensor terhadap karya seni. Mengetahui bagaimana para produser dan pembuat fIlm Korea merespons kebijakan penguasa dari masa ke masa, akan membantu kita melihat apa yang tak tampak di layar sinema.

Korea di Bawah Rezim Sensor

Industrialisasi sinema Korea setidaknya bisa dilihat sejak 1960-an, saat rezim militer Park Chung-hee berkuasa. Di tengah hubungan yang panas dengan Korea Utara pasca perang 1950-1953, pemerintah Korea tak berminat tumbuhkan industri sinema yang semata datangkan cuan.


Lewat pembentukan Kementerian Informasi Publik dan Pusat Produksi Film Nasional, serta pengesahan UU Perfilman, rezim Chung-hee berambisi membuat industri film sebesar Hollywood, namun untuk tujuan propaganda (Yecies & Shim, 2016: 21).

Sensor ke produksi film berlaku sejak tahapan naskah. Tema-tema yang dianggap merongrong kekuasaan pemerintah, mengandung ideologi komunisme, serta mempertontonkan kecabulan akan dilarang. Pelanggarnya terancam dicap mata-mata dari utara, disiksa, dan dibui.

Dalam alam semacam ini, film-film perang dengan tema anti-komunisme adalah solusi. Selain membuat para produser bisa tunjukkan sikap kooperatif dengan pemerintah, film genre ini tergolong atraktif dan sukses secara komersial (Shim, 2010: 90). Selain film perang, genre laga dan melodrama juga banyak muncul di periode ini.

Yang pasti, film-film tersebut punya karakter seragam: orang selatan itu baik, sementara orang-orang komunis utara jahat. 

Film pertama yang jadi korban sensor rezim Chung-hee adalah Aimless Bullet (Yu Hyun-mok, 1961), mengisahkan sebuah keluarga dari Korea Utara yang menyeberang ke selatan dan mencoba bertahan hidup.

Film yang sebenarnya diproduksi sebelum rezim Chung-hee berkuasa ini dilarang beredar karena dua alasan. Pertama, salah satu dialognya, “Ayo pergi! Ayo pergi!” ditafsirkan oleh lembaga sensor sebagai ajakan menyeberang ke Korea Utara. Kedua, kondisi sosial Korea yang tergambarkan dianggap terlalu kelam dan hina (Yecies & Shim, 2016:48).

Yu Hyun-mok kemudian dikenal bukan hanya sebagai sutradara, tapi juga seniman yang berani suarakan kebebasan. Seolah tak kapok berhadapan dengan penguasa, pada 1965 ia merilis film baru, The Empty Dream. Karya ini adalah adaptasi dari film erotis Jepang Hakujitsumu (1964), berkisah soal fantasi seksual seorang pria dengan latar klinik dokter gigi.

The Empty Dream digarap oleh Hyun-mok dengan kemasan artistik dan disebut-sebut para kritikus sebagai film avant-garde pertama Korea. Namun pujian para kritikus tak bisa menahan represi rezim yang menimpa Hyun-mok usai film ini dirilis.

The Empty Dream dianggap melanggar UU Perfilman karena mempertontonkan kecabulan. Meski demikian, banyak yang menganggap tuduhan itu hanya dalih untuk menjerat Hyun-mok dengan pasal yang lebih berat, yakni pelanggaran atas UU Anti-Komunisme.

Semua bermula saat Hyun-mok membacakan pidato berjudul Kebebasan di Layar Perak (Eunmak-ui Jayu) dalam sebuah seminar publik yang dihelat International Conference for Cultural Freedom. Hyun-mok berpidato, menyuarakan bahwa kebijakan nasional Korea seharusnya mendukung kebebasan, bukan anti-komunisme, dan setiap seniman harus bebas dari segala aturan dalam meraih pencapaian seninya (Shim, 2010: 200). 

Setelah 18 bulan pengadilan, jaksa membatalkan dakwaan soal pelanggaran UU Anti-Komunisme. Namun Hyun-mok dijatuhi hukuman denda 30 ribu won karena mempertontonkan kecabulan dalam The Empty Dream

Kasus semacam ini membuat sineas dan produser yang dekat dengan pemerintah akan tempuh jalan lebih mulus buat memproduksi film. Inilah yang dipahami betul oleh sutradara Korea paling produktif di era 1960-an, Shin Sang-ok, paham betul hal ini. 

Pada 1961, Sang-ok meluncurkan salah satu filmnya yang paling populer, Evergreen Tree. Sebuah film berlatar era penjajahan Jepang yang mengisahkan dua sejoli lulusan universitas yang kembali untuk membangun desa mereka. Aktivitas mereka mendidik warga desa kemudian dianggap membahayakan buat pemerintah Jepang.

Film ini membuat Presiden Chung-hee terkesan karena secara tidak langsung memromosikan program modernisasi oleh pemerintah saat itu. Sang-ok diundang ke istana presiden, lalu kedekatannya dengan rezim Chung-hee pun dimulai.

Perusahaan film milik Sang-ok yang berdiri tahun 1960, Shin Film, selamat dari kebijakan merger besar-besaran pada 1961; dari 65 jadi 16 perusahaan (Yecies & Shim, 2016: 23). Shin Film bahkan memonopoli produksi film Korea era 1960-an, memroduksi sekitar 300 film pada 1960-1970.

Setelah bertahan cukup lama, kedekatan Sang-ok dengan rezim perlahan luruh. Puncaknya saat film Sang-ok The Rose and the Wild Dogditayangkan pada 1976. Trailer film mempertontonkan adegan ciuman yang tak disertakan saat pendaftaran sensor film. Alhasil, pemerintah mencabut izin perusahaan Shin Film.

Setelah Park Chung-hee dibunuh pada 1979 dan digantikan oleh Chun Doo-hwan, kondisi industri perfilman tak banyak berubah. Korea tetap dipimpin sebuah rezim militer yang memberlakukan sensor ketat terhadap produksi film.

Tantangan baru justru datang dari luar. Ini bermula pada 1986, saat pemerintah merevisi UU Perfilman sehingga film-film luar negeri -- terutama Hollywood -- dengan mudah membanjiri pasar sinema Korea. 

Era Baru Kebebasan

Pada September 1988, tujuh bulan setelah Chun Doo-hwan jatuh dan keran demokratisasi mulai terbuka, Fatal Attraction (Adrian Lyne, 1987) jadi film Hollywood pertama yang diuntungkan oleh revisi UU Perfilman dan langsung didistribusikan ke Korea. Masyarakat industri film Korea merasa kebijakan ini akan mengancam pasar film lokal.

Mereka pun melakukan boikot terhadap penayangan Fatal Attraction. Ratusan pembuat film, aktor dan aktris, pengacara pembela kebudayaan, anggota partai oposisi, akademisi, dan mahasiswa film, berdemonstrasi di distrik Myongdong, Seoul. Demonstrasi ini jadi gerakan protes awal yang dimaksudkan untuk melindungi industri film Korea (Yecies & Shim, 2016: 118).

Gejolak pada masa itu turut berpengaruh pada topik cerita sutradara Korea. Mereka berusaha merekam ulang hubungan antara masyarakat dan film. Ini tergambar dalam film-film semisal The Black Republic (Park Kwang-su, 1990) dan Hwaomkyung (Jang Sun-woo, 1993).

Pergantian rezim juga membuat pemerintah perlahan mengurangi sensor terhadap karya seni, termasuk film. Pada akhir 1990-an lalu awal 2000-an, dalam UU Promosi Film dan Produk Video, sensor dihapus dan diganti klasifikasi umur. Film-film dengan muatan politis seperti A Petal (Jang Sun-woo, 1996) dan Peppermint Candy (Lee Chang-dong, 1999) mulai bermunculan. 

Namun transisi dari rezim sensor ke rezim yang melindungi kebebasan berekspresi bukannya tanpa sandungan. Pada 2002, film garapan sutradara Park Jin-pyo, Too Young To Die, jadi salah satu karya yang terpaksa menelan pahitnya sensor di masa demokrasi.

Too Young to Die adalah film dokumenter yang mengisahkan percintaan masa tua Park Chi-gyu dan Lee Sun-ye. Film yang masuk nominasi Grand Prize Cannes Film Festival ini sempat tak bisa diputar di Korea karena mempertontonkan adegan seks secara eksplisit. Dewan Rating Media Korea memutuskan Too Young to Die hanya bisa diputar di bioskop terbatas.

Sang sutradara berargumen, “lewat adegan seks, aku ingin penonton melihat dengan jelas bahwa pasangan lanjut usia masih punya kehidupan dengan segala maknanya.” Pembatasan terhadap Too Young to Die juga sempat mendapat kecaman dari beberapa sutradara Korea.

Setelah bolak-balik mengirim ulang filmnya ke Dewan Rating, Park Jin-pyo akhirnya harus merelakan adegan seks -- yang jadi fokus penting dalam cerita -- dipotong. Too Young to Die diputar di bioskop-bioskop Korea pada akhir 2002.

Usai kasus itu sineas Korea cenderung mendapatkan jaminan kebebasan ekspresi yang oke. Film dengan muatan cerita sejarah kediktatoran Korea seperti The Old Garden (Im Sang-goo, 2006), May 18 (Kim Ji-hoon, 2007), serta yang lebih mutakhir semacam 1987: When the Day Comes (Jang Joon-hwan, 2017) dan A Taxi Driver (Jang Hun, 2017) sukses tayang, bahkan mendulang banyak penghargaan.

Juga film-film dengan tema dan/atau adegan seks, misal karya-karya sutradara Kim Ki-duk -- 3 Iron (2004); Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring (2003) -- dan Park Chan-wook -- Oldboy (2003); Thirst (2009).

Ekosistem bisnis juga mulai dibangun. Pada 1995, UU Promosi Perfilman disahkan. Pemerintah memberi insentif pajak untuk produksi film. Ini mendorong perusahaan-perusahaan tajir seperti Samsung (saudara perusahaan CJ Entertainment, rumah produksi terbesar Korea), untuk menanam modal di industri perfilman (Shim, 2008:17)

Pemerintah yang responsif membuat industri film Korea cepat pulih saat diterpa krisis ekonomi 1997-1998. Revisi UU Promosi Perfilman pada 1999 mempermudah suntikan modal lewat investasi. Hasilnya, awal dekade 2000 jadi mula bangkitnya perfilman Korea. Joint Security Area (Park Chan-wook, 2000) jadi pembuka gebrakan dengan raihan 5,8 juta penonton di dalam negeri. 

Capaian berlanjut saat Painted Fire (Im Kwon-taek, 2002) meraih penghargaan sutradara terbaik di Festival Film Cannes 2002. Dua tahun berselang, giliran Park Chan-wook mendapat Grand Prize di festival serupa lewat Oldboy (2003) -- film yang juga membuka jalan Korea ke pasar internasional.

Dari segi ekonomi, dalam kurun 2010-2018 nilai ekspor film Korea dan konten media lainnya terus meningkat, mencapai lebih dari $950 juta pada 2018. Namun, kedigdayaan industri budaya Korea nyatanya belum mampu secara utuh menghapuskan sensor dan pelarangan terhadap film.

Pada 2014, film dokumenter The Truth Shall Not Sink With Sewol (Ahn & Lee, 2014), mengisahkan tentang tenggelamnya kapal MV Sewol pada 2014 yang jadi sebab 304 korban tewas, diputar di Busan International Film Festival (BIFF).

Saat itu pengusutan kasus tenggelamnya MV Sewol yang tak kunjung menemui titik terang, membuat kritik ke pemerintah berdatangan. Ketika rencana pemutaran film dokumenter garapan Ahn dan Lee muncul, penolakan datang dari Walikota Busan, Seo Byung-soo. 

Byung-soo meminta Kepala BIFF, Lee Yong-kwan, mencoret The Truth Shall Not Sink With Sewol dari daftar tayang. Tekanan ini dianggap sebagai upaya penyensoran dan sontak mendapat banyak kecaman. Meski demikian, The Truth Shall Not Sink With Sewol akhirnya sukses diputar.

Persoalan datang dua tahun kemudian. Walikota Busan meminta Lee Yong-kwan mengundurkan diri. Sembilan organisasi perfilman terbesar Korea kemudian menyampaikan sikap tegas: memboikot BIFF 2016 sampai ada jaminan bahwa festival ini bebas dari intervensi politik.

Pelajaran untuk Indonesia

Memahami bagaimana industri Korea melawan sensor dari masa ke masa, membuat saya menoleh ke jagat perfilman Indonesia dengan mengelus dada.

Indonesia sebenarnya punya sejarah sosial-politik yang mirip dengan Korea. Pernah diduduki Jepang pada Perang Dunia II, berada di rezim militer otoriter pada 1960-1990-an, serta sempat diterpa krisis ekonomi pada akhir abad 20. 

Indonesia juga sempat punya sineas-sineas kesohor seperti Usmar Ismail, Teguh Karya, dan Sjumandjaja. Gebrakan baru dunia perfilman tanah air pada 1990-an pun sudah dimulai sejak Kuldesak (Mira Lesmana, dkk, 1998) muncul dan melahirkan gaya baru perfilman yang emoh dengan warisan sensor-birokrasi Orde Baru; film independen.

Sayangnya, gebrakan ini tidak didukung kebijakan perfilman yang responsif terhadap zaman. Di tengah gairah baru sineas muda awal 2000-an, pemerintah masih mempertahankan UU Perfilman 1992 warisan Orde Baru.

Pasal 3 UU Nomor 1992 tentang Perfilman (yang baru direvisi tahun 2009) misalnya, menyebut bahwa perfilman Indonesia diarahkan kepada “penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan negara.”

Di pasal selanjutnya, UU tersebut menyebut “Film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar mempunyai fungsi penerangan, pendidikan, pengembangan budaya bangsa, hiburan, dan ekonomi.” Lembaga Sensor Film (LSF) menjadi institusi negara yang berhak menentukan apakah sebuah film memenuhi arahan dan fungsi tersebut.

Persoalan muncul karena LSF terkenal ultra-konservatif dan sewenang-wenang. “Kriteria sensor yang dikenakan oleh dewan sangat kabur. Penjelasan utama yang diberikan untuk keputusan yang diambil oleh lembaga sensor negara adalah rasa takut akan kerusuhan sosial, yang berarti menerima protes dari kelompok-kelompok agama, birokrat, dan orang-orang di posisi yang kuat” (van Heere, 2009: 126-127).

Kekaburan kriteria sensor dengan cepat jadi problema. Tidak seperti Korea yang hanya menghadapi sensor dari negara, film-film Indonesia juga menghadapi sensor jalanan dari masyarakat sipil.

Beberapa kasus sensor jalanan yang pernah terjadi, misal: Buruan Cium Gue (Findo Purwono, 2004), film tentang seorang cewek ABG yang mengidam kecupan dari pacarnya, mendapat protes dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dai berpengaruh saat itu, Aa Gym, karena dianggap mengandung ajakan zina. Lalu ada ML (Mau Lagi) (Thomas Nawilis, 2008) yang mendapat protes keras MUI dan akhirnya mengganti judul menjadi Cintaku Selamanya

Tak hanya film dengan konten seks yang mendapat cekal. Mengaku Rasul: Sesat (Helfi Kardit, 2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (Hanung Bramantyo, 2009) juga dicekal MUI karena nilai-nilai yang ditampilkan dianggap tak sesuai dengan nilai Islam yang sesungguhnya.

Kasus-kasus tadi menjadi contoh lemahnya LSF sebagai perpanjangan tangan negara dalam melindungi kebebasan berekspresi para sineas. Revisi UU Perfilman pada 2009 juga tak banyak menjamin kebebasan berkesenian para pembuat film.

Lemahnya jaminan kebebasan dan maraknya sensor jalanan, saya rasa akan menyulitkan Indonesia untuk bisa bicara banyak di kancah perfilman global. Barangkali dalam 1 dekade ke depan, setiap tahun saya harus menengok jagat perfilman Indonesia, masih dengan mengelus dada.[]



You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook