Koleksi Terpenting Perpustakaan Batoe Api adalah Kliping
04.27Oleh: Satya Adhi
Aku melangkah ke kebun buku mungil di pinggiran Jalan Raya Jatinangor yang macet. Sebuah perpustakaan dengan aroma kertas menembus masker KN95, wangi. Aku kira, ada belasan ribu buku di sini. Tersusun berkelompok sesuai tema meski di rak tak ada kartu petunjuk. Jurnalistik dan ilmu komunikasi, sastra, sejarah Indonesia, gender dan feminisme, tentu masih banyak lagi, tapi yang membuat mataku melotot adalah deretan map tebal di bawah jendela yang menghadap jalan.
Tanpa membuka map-map itu, aku tahu apa isinya. Kliping. Tersusun menurut tiap topik yang dikipling. Sastra dunia, sastra Indonesia, Revolusi Kemerdekaan, G30S & PKI, Pramoedya Ananta Toer, dan banyak lainnya. Aku tarik satu kliping tentang gaya hidup dan posmo, membaca esai Arief Budiman tentang Jakarta, lalu buru-buru memberi vonis: kliping adalah koleksi terpenting perpustakaan Batoe Api. (Baca selengkapnya ...)
“Seingat saya selama ini enggak banyak orang yang ngeh [sama kliping]. Satu-dua, lah, ada,” Anton Solihin berucap setelah beberapa menit sibuk ngobrol dengan tiga-empat pengunjung. Kaca matanya agak turun. Rambutnya yang gondrong juga turun. Keduanya pasrah pada gravitasi.
Anton melakukan kerja kliping sejak kuliah, tahun 1980-an kira-kira. Ini dia lanjutkan ketika mendirikan Batoe Api pada 1999. Kata Anton, kerja kliping ia lakukan sendiri. Acak saja topik-topik yang dikliping. Satu waktu mengkliping sastra Indonesia misalnya. Eh, tiba-tiba banyak topik tentang N.H. Dini yang terkipling. Jadilah satu topik baru kliping tentang N.H. Dini.
Dari tumpukan kertas ingatan yang ia tumpuk ala kadarnya, Anton akhirnya sadar kliping-kliping itu berharga. Beberapa mahasiswa yang mau penelitian menemukan kepingan-kepingan arsip itu di kliping Batoe Api.
Batoe Api adalah tempat kedua yang membuat mataku melotot melihat tumpukan kliping. Yang pertama adalah Warung Arsip punya Muhidin M. Dahlan di Bantul, Yogyakarta. Aku beberapa kali ke sana. Gairah Muhidin, dkk, dalam mengkliping sungguh edan. Sampai-sampai, beberapa karya penting berhasil ia susun dari kliping-kliping yang dibuat. Lekra Tak Membakar Buku — disusun dari kliping Harian Rakjat — dan Aku Mendakwa Hamka Plagiat adalah salah dua yang paling menggemparkan.
Pada 2017, saat aku dan seorang kawan ke Warung Arsip, kami menyaksikan kegilaan Muhidin dan seorang arsiparis mengelola ribuan kertas berisi laporan surat kabar dan artikel-artikel majalah. Muhidin sempat berseloroh, “mengkliping itu lama-lama bisa bikin jiwa terganggu.” Memang edan.
Keedanan Muhidin terinspirasi dari kerja kliping Pramoedya Ananta Toer. Dalam Praktik Kliping dan Daya Budi Kultural (2014), begawan Warung Buku itu mengisahkan satu percakapannya dengan Pram.
“Gaji saya 30 perak sebulan. Itu untuk makan, sekolah. Juga saya belikan kemeja warna biru untuk kuliah di Sekolah Tinggi Islam. Harganya 75 perak. Saya ngutang untuk itu dan bayar dengan tulisan… hahahaha. Dari sana pengalaman saya mengkliping. Sampai sekarang. Tak berhenti,” ujar Pram.
Anton juga tergerak mengkliping gara-gara Pram. Kegilaan mengepul ingatan ternyata bisa menular. Anton bahkan menamai Jalan Raya Jatinangor tempat Batoe Api beradres dengan nama imajiner yang layak diakui: Jalan Pramoedya Ananta Toer.
Sekarang, laku kliping Batoe Api terhenti. Anton bilang, banyak koran dan majalah tak lagi sampai ke Jatinangor. Ia hanya bisa beli koran Minggu yang datangnya hari Senin. Aneh. “Sudah sekian tahun ini enggak ada lagi Tempo. Tempo itu enggak pernah datang lagi ke Jatinangor. Terus terakhir akhirnya saya berhenti pas pandemi kemarin.”
Sungguh sayang memang. Dalam kliping, ada kerja pemilahan informasi yang berbuah pengetahuan. Setumpuk majalah dan surat kabar akan dikliping secara berbeda oleh seorang agamawan dan politikus. Yang agamawan mungkin akan memilih kabar-kabar rohani, sementara yang politikus memilih laporan survei sebelum pemilihan umum. Namun satu yang pasti, para pengkliping akan punya amal jariyah yang terus mengalir karena klipingnya memudahkan para pembaca dan peneliti mengakses tulisan dan laporan dengan topik tertentu.
Belasan ribu buku di Perpustakaan Batoe Api memang koleksi berharga. Terutama buku-buku dan arsip tua yang jadi saksi jatuh bangun republik. Namun barangkali buku-buku itu akan kamu temui di toko buku lawas atau lokapasar daring. Sementara lewat kliping seorang penulis mendapat sumber laporan tulen suatu peristiwa atau isu. Memungkinkan si penulis membikin karya yang orisinal alih-alih sekadar mengutip penulis lain.
Kliping-kliping Batoe Api tak bisa ditemui di tempat lain. Deretan kliping di kebun buku itu khas, menunjukkan sikap intelektualitas si pengkliping. Maka, mengkliping itu pekerjaan politis. Jika sebuah mikroskop sakti milik CIA diletakkan di atas kertas-kertas kliping itu, aku yakin bakal ditemukan sidik jari dan peluh susah-payang Anton Solihin dalam memilah, menggunting, dan menempel kliping. Indah sekali.[]
0 komentar