"To a God Unknown" (John Steinbeck): Tiada Ilah selain Pohon-pohon
15.36
Oleh: Satya Adhi
DI BANYAK kebudayaan pohon itu sakral,
keramat. Orang-orang Jawa memberi sesaji di bawah pohon beringin. Suku anak
dalam di Jambi menganggap roh-roh penolong bersemayam di dalam pohon. Masyarakat
Kristiani menaruh pohon cemara saat malam kelahiran Kristus.
Joseph Wayne, yang jadi tokoh
pusat novel ini, punya semacam iman pada pohon. Tidak sepenuhnya menyembah, tapi
ia percaya kalau pohon ek raksasa yang tumbuh di tanah pertaniannya adalah jelmaan
roh sang ayah yang telat wafat.
Joseph mengajak pohon itu bicara,
memberinya anggur, membiarkan si pohon merengkuh putranya. Terlihat tak ada
yang masalah, memang. Namun salah satu saudara Joseph, seorang penganut Kristen
yang taat, menganggap Joseph murtad dan berpaling ke berhala. Burton,
saudaranya, membuat pohon itu mati. Masih berdiri tegak tapi tak lagi bernyawa. (Baca selengkapnya ....)
Ketika satu pohon mati, pelajaran
biologi mengajari kita bahwa satu sumber kehidupan telah musnah. Bagi Joseph, kematian
pohon itu adalah awal dari makin merosotnya kesuburan lahan pertanian, juga
lahan batin Joseph. Mirip pohon megah di planet Pandora dalam film Avatar-nya
James Cameron. Kalau pohon itu hancur, lenyap konektivitas antar-makhluk di
sana.
Dan Joseph Wayne berusaha
mengembalikan nyawa di tanah pertaniannya.
Novel ini punya latar yang
agaknya susah dibayangkan pembaca-pembaca dari kota era sekarang. Beruntung
deskripsi-deskripsi bentang alam bisa dihadirkan Steinbeck secara variatif. Selain
cerita keluarga Wayne, paragraf semacam ini dominan di To a God Unknown. Sungguh,
para penulis muda bisa belajar dari penggambaran-penggambaran semisal;
“Musim semi datang dengan indah,
dan perbukitan diselimuti rumput tebal – hijau zamrud, lebat dan kasar; lereng-lereng
tampak mulus dan empuk oleh rumput. Dalam guyuran hujan tak henti, sungai
mengalir deras, pohon-pohon peneduh di pinggirnya terbungkus saking sarat
dedaunan, dan merunduk bersama cabang-cabang pohon di atas sungai, membentuk
naungan remang-remang mengiringi aliran sungai hingga berkilometer jauhnya”
(hal: 173).
Saya membayangkan novel ini seperti
sebuah film yang dieksekusi lewat pendekatan artistik. Gambar-gambar alam
ditangkap lewat shot-shot jauh berkomposisi indah. Suara-suara desiran
angin dan daun didengungkan dengan sempurna. Dan di tengah semua itu adalah petualangan
batin Joseph Wayne untuk membuat tanah pertaniannya subur kembali.
Ini novel kedua Steinbeck yang
saya baca setelah Cannery Row (saya baca edisi terjemahan Eka Kurniawan terbitan
Bentang Pusataka). Berbeda dengan Cannery Row yang cenderung lugas, agak
kocak, dan premisnya sederhana, To a God Unknow terasa lebih personal, sensitif.
Di sini setiap tokohnya tunduk
pada musim nasib yang ditentukan alam. Masyarakat pertanian totok. Kalau orang-orang kota melakukan apapun
demi uang dan gengsi, tokoh-tokoh di novel ini melakukan apapun demi kesuburan sapi-sapi
dan gandum mereka. Hingga saat tanah pertanian gersang, Joseph Wayne rela melakukan
… yang ini tidak akan saya ceritakan.
Tapi jangan membayangkan
pembacaan yang serta merta gamblang soal pentingnya pohon bagi kehidupan atau
serupanya. Betapapun ekologisnya novel ini, tahun 1933 saat pertama kali To
a God Unknown terbit belum dipenuhi kampanye-kampanye peduli bumi. Belum
ada bisnis sedotan besi atau tas belanja multi pakai. Steinbeck nampaknya hanya
ingin bercerita. Itu saja.
Dan terima kasih buat Tanti
Lesmana, penerjemah novel yang memilih “Ilah” alih-alih “Tuhan” sebagai judul. Kepada
Tuhan yang Tak Diketahui. Aduh, kurang sedap. Kepada Ilah yang Tak
Diketahui. Nah, itu baru bernyawa. Semoga dirimu diberkati … oleh
pohon-pohon. []
Judul: To
a God Unknown (Kepada Ilah yang Tak Diketahui)
Penulis:
John Steinbeck
Penerjemah:
Tanti Lesmana
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2019
Tahun terbit: 2019
0 komentar