Fakir Sastra, Fakir Asmara

20.29

Mimbar Mahasiswa Solopos, 27 Desember 2016
Melalui perkiraan kasar cenderung ngawur, saya mengira-ngira 95 persen buku sastra yang habis saya baca, mengandung kisah asmara di dalamnya.

Memangnya, kenapa sih cerita sastra hampir pasti ada kisah asmaranya, Sat?”

Saya menemukan jawaban pertanyaan ini di novel Siddhartha (Herman Hesse, 2014). Siddhartha yang sejak kecil hidup dalam ketenangan batin, menjadi pertapa, bahkan sempat bertemu Buddha Gautama, belum menemukan kebahagiaan hidup. Ia merasa, mematikan indranya melalui pertapaan bukanlah cara buat mencapai kebahagiaan.

Hingga akhirnya Siddhartha bertemu Kamala, seorang pelacur yang terhormat-dihormati. Siddhartha mempelajari cinta darinya. Kamala menjadi tokoh yang sungguh penting. Kalau tidak ada dia, tidak mungkin Siddhartha merasa penat dengan urusan duniawi, lantas ingin bunuh diri di tepi kali. Di tepi kali itulah Siddhartha mendengar suara yang membimbingnya menuju kebahagiaan, “Om...”

Nah, cinta nyatanya bisa menembus sekat-sekat rasionalitas, spiritualitas, apalagi cuma religiusitas.  Sastra pun demikian. Para mahasiswa dan dosen bisa saja berkelana mencari pengetahuan di buku-buku diktat dan teori. Namun bertemu sastra – seperti Siddhartha bertemu Kamala – akan menghidupkan indra-indra yang mati karena tuntutan rasionalitas. Baca selengkapnya...

Sastra dan asmara sama-sama tidak ngilmiah dan sering tidak masuk akal. Banyak unsur, terlalu  banyak bahkan, yang memengaruhi keduanya. Bahasa ngilmiah-nya, variabel.

Maka jangan heran kalau Rose DeWitt Bukater, gadis ningrat yang diperankan Kate Winslet dalam film Titanic (James Camero, 1997) itu, bisa-bisanya jatuh cinta dengan Jack Dawson. Memang sih, tampang Leonardo DiCaprio tak bisa dibilang tak menawan. Tapi kan dia cuma seniman proletar yang bisa numpang Titanic karena keberuntungan. Rose dan Jack baru pertama bertemu pula. Irasional.

Atau kisah asmara Cinta dan Rangga di Ada Apa dengan Cinta (Rudy Soedjarwo, 2002) dan Ada Apa dengan Cinta 2 (Riri Riza, 2016). Bayangkan saja, 14 tahun Rangga meninggalkan Cinta. Si Cinta akan menikah dengan lelaki lain pula. Mau-maunya Cinta balikan lagi dengan Rangga. Kalau kisah yang satu ini memang agak wagu, sih. Tapi kita tidak boleh mengabaikan variabel kerinduan masa lalu Cinta akan Rangga, variabel Rangga yang bersastra sementara calon suami Cinta tidak, hingga variabel-variabel lain yang remeh temeh. Rambut ikal Rangga yang menawan misalnya.

Jadi bila para mahasiswa masih mafhum bila mereka tidak membaca sastra, menjadi fakir sastra, saya curiga, jangan-jangan mayoritas mahasiswa adalah fakir asmara.

Kalau alasannya cuma perbedaan disiplin, sastra bisa lho menjadi bahasa aplikatif bagi bidang ilmu alam dan matematika. Coba diingat-ingat. Waktu SD dulu, ketika pelajaran matematika, ada sebuah soal aplikatif yang gampang-gampang susah untuk dikerjakan. Soal cerita.

Nah, cara menyajikan soal matematika melalui kisah adalah gebrakan bagi bahasa matematika itu sendiri. Tidak semua murid bisa mengerjakan jenis soal aplikatif semacam ini.

“Kok bisa gitu, Sat?”

Ya itu tadi. Bahasa kisah, bahasa sastra, menjadikan banyak unsur kehidupan masuk di dalamnya.

Selera Sastra dan Gaya Asmara
Hubungan sastra dan asmara tidak berhenti sampai di situ. Selera sastra, bisa jadi memengaruhi gaya dan kehidupan asmara seseorang.

Misalnya saja. Seorang mahasiswa yang keranjingan usai membaca The Old Man and The Sea-nya Ernest Hemingway. Novel yang mengisahkan pertarungan Santiago, seorang diri, melawan seekor ikan marlin raksasa. Usai membaca novel ini, pasti si mahasiswa langsung ingin memiliki kekasih. The Old Man and The Sea telah membuatnya alergi sendiri.

Para lelaki yang habis membaca Tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer juga terancam terpengaruh kisah asmara Minke. Bisa-bisa, populasi Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing meningkat pesat. Tidak heran kalau Orde Baru melarang peredaran novel ini. Kisah asmaranya Minke tidak nasionalis, sih.

Para mahasiswi, saya sarankan juga berhati-hati kalau membaca novel mahsyur Leo Tolstoy, Anna Karenina. Di situ, dikisahkan Anna Karenina, seorang perempuan yang sudah bersuami, lalu selingkuh dan tersiksa karena selingkuhannya selingkuh. Rumit kan? Makanya. Para perempuan, cerdaslah memilih lelaki yang cerdas.

Hubungan antara sastra dan asmara juga saya dapat dari riset kecil-kecilan yang saya lakukan. Kualitatif. Metode wawancara. Dua responden.

Begini. Saya punya dua teman. Teman saya yang pertama suka membaca buku-buku teori. Dia mahasiswa jurusan Sosiologi. Celakanya, dia tidak begitu menyukai bacaan-bacaan sastra. Tanpa ia sadari, ini berimbas ke kehidupan asmaranya.

Beberapa waktu yang lalu ia mendekati seorang gadis. Karena pemikirannya yang terkurung teori-teori, ia memandang semua persoalan menggunakan kaca mata kuda. Unsur-unsur lain tidak ia perhatikan. Imbasnya, “buruan” yang hampir ia taklukan malah kabur karena ketergesa-gesaannya dalam berasmara.

Teman saya yang kedua adalah seorang mahasiswi program studi Ilmu Komunikasi. Bagi yang belum tahu, Program studi Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret (UNS), adalah program studi yang ada di persimpangan antara sarjana dan diploma. Antara teoritis dan praktis. Parahnya, dengan keadaan yang seperti ini teman saya tadi tidak suka membaca sastra. Padahal dengan membaca sastra, teori-teori Ilmu Komunikasi yang minim diajarkan para dosen bisa dengan mudah dipahami. Baca saja novel-novelnya, Umberto Eco, George Orwell atau Seno Gumira Ajidarma.

Kehidupan asmaranya pun sebimbang program studinya. Pernah sekali ia mendapat kekasih sesama mahasiswa Ilmu Komunikasi, tapi kandas di tengah jalan.

Tapi para dosen juga kurang ajar. Masa para mahasiswa-mahasiswinya tidak pernah diminta membaca sastra. Tidak heran banyak dosen yang hingga kini masih jomblo. Eh.

“Sat, dari tadi kau mengoceh terus ihwal sastra dan asmara. Memangnya, dirimu yang membaca sastra sudah pernah berasmara?”


Ehm…[]

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook