gambar: s3-ap-southeast-2.amazonaws.com |
“Ia tidak percaya manusia. Wajah, fakta, dan kalimat semanis apa
pun tidak dapat dipercaya. Ia tahu harus keluar dari dalam
pertanyaan-pertanyaan dingin dan rasa curiga yang kental”
(Mata Malam, 2017: 115).
(Mata Malam, 2017: 115).
Seoul, Korea
Selatan, 1982. Di sebuah malam musim panas yang gerah, seorang gadis kecil membuka
selembar halaman buku yang belum selesai dari sejarah negaranya. Bukan hanya
belum selesai. Halaman hitam itu tengah ditulis oleh seorang presiden keji, juga
derap sepatu para serdadu, kepalan tangan para pelajar, dan air mata setiap Ibu
yang anaknya tak berkabar berhari-hari.
Han Kang, gadis
12 tahun yang kepalanya ditumbuki banyak pertanyaan, merangkak naik ke rak buku
ayahnya ketika seisi rumah tengah menonton teve di dapur. Diam-diam ia meraih
sebuah album foto yang dibeli ayahnya di terminal Gwangju – kota yang terhampar
268 km di sebelah selatan Seoul. Celaka. Han Membuka album terkutuk itu.
“Aku ingat
ketika membuka halaman terakhir album itu, ketika aku melihat wajah anak
perempuan yang tubuhnya hancur akibat tusukan pedang yang dalam. Suatu bagian
yang lembut di dalam diriku, yang sebelumnya tidak kusadari ada di sana, pecah
tanpa suara” (Han Kang, 2017: 235). (Baca selengkapnya...)