Kematian Singkat Seorang Penyamun
22.41
SEPOTONG
malam, di sini aku akan mati. Jidat langit melompong
tanpa gemintang. Gelap. Bubuk tanah hambar tak menguarkan bau. Satu-satunya
aroma yang kuhirup memancar dari tubuhku. Anyir.
Dadaku
sakit sekali. Merah. Beruntung angin bernapas sejuk. Suara daun-daun tebu
bercumbu menenangkan. Udara semacam ini biasa membuatku masuk angin. Tapi
kali ini embusannya cukup buat menghibur sakit di dadaku.
Oi!
Menyingkir dari kakiku, tikus sialan. Belum saatnya kau makan malam.
Menyingkir, kubilang! Asu. Oh, jangkrik … ya, teruslah nembang seperti itu. Para
daun, bercumbulah lebih semangat. Rancak. Nah, seperti itu. Tidak, jangan
kalian, para tikus! Diam! Kalian merusak tabuhannya.
Ada
suara motor berderu. Suaraku tertahan, sial. Tolong … tol …. Keluarkan suara
lantangmu wahai tenggorokan terkutuk! Suara motornya menghilang. Aku harus
bertahan. Aku akan menunggu motor selanjutnya lewat. Iya, aku akan menunggu.
Apa
Bapak merasa ini juga, sama seperti yang kurasakan sekarang? Setidaknya,
bisakah seseorang menyalakan saklar agar gemintang di sana menyala. Agar
tabuhannya lebih semarak dan raya. Bapak, Bapak di sana, kan? Nyalakan
saklarnya, Pak. Di sini gelap sekali. Lebih gelap dari tadi. Makin gelap tiap
cairan merah mbludak
dari dadaku.
Sebentar
lagi aku mati dan aku tahu tak ada yang akan menangisiku. Aku hanya penyamun
jalanan tukang onar, bukan artis atau selebritis. Kau tahu, tiap orang-orang
yang mati ditangisi, digunjingkan kebajikannya semasa urip, aku selalu
bertanya-tanya apakah akan ada yang menangisiku kelak. Apakah akan ada
kawan-kawan maya yang menempel potretku di status mereka sambil memajang ikon
duka cita. Bagiku, kematian adalah penegasan atas hidup panjangku yang sia-sia.
Tapi
setidaknya daun-daun tebu dan para jangkrik pesinden menemani kedip terakhirku.
Oh, angin, andai kau bisa tiup dadaku sehingga masuk lagi getih-getih yang mbludak
dari sana. Tunggu, kenapa suara kalian makin parau? Jangan dahulu berhenti
bertabuh. Kematianku harus kalian rayakan.
Kawanku,
aku kan tadi bersama dia. Ke mana dia lari? Kawanku yang baik, tolong ke sini
dan nyalakan saklarnya. Jangan kau takut. Malaikat maut hanya akan mengincarku,
bukan yang lain, bukan dirimu. Belum, belum saatnya kau mati – mungkin.
Lalu
bocah sialan tadi. Ah, ke mana dia? Ha-ha-ha, ternyata dia staf khusus malaikat
maut yang bertugas mempercepat kalaku. Tapi memang berengsek dia. Cerdik bisa mengambil
lading sepanjang itu, padahal aku bersumpah telah menggeledahnya sebelum
kugiring ke sini.
Makin
gelap. Mbludak
lagi cairan di dadaku.
Tetabuhan
jangkrik makin berbisik.
Daun-daun
bosan bercumbu.
Lalu
sunyi.
Gelap.
Asu.
*
TUBUHNYA
ditemukan tergolek saat pagi mekar di sebuah ladang tebu tak jauh dari
permukiman. Sekujur badannya dikitari suket yang menghambur di setapak jalan. Dadanya
menganga memamerkan sebait luka tusukan. Wangi bangkai mengundang lalat-lalat terbang
berebut gubuk. Seekor hinggap manja di kelopak matanya yang enggan menguncup.
Seorang
petani tebu yang menemukan si penyamun berteriak berlari ke rumah-rumah.
Lolongannya membuat pagi yang normal melahirkan kerayaan yang getir. Seharusnya,
pagi ini musik-musik dangdut meraung-raung dari rumah-rumah empunya pengeras
suara. Ibuk-ibuk repot memandikan bocah kecilnya. Remaja ABG siap trek-trekkan
menjajal aspal baru. Para bapak mengajak burung-burungnya bersiul sebelum
bising siang tiba.
Namun,
tewasnya si penyamun kondang membuat ritual-ritual tadi kehilangan para jemaat.
Upacara pagi hari dimulai ketika para warga berkerumun dan si mayat dibopong
beramai-ramai. Tak ada tangis pecah. Hanya liur-liur gunjing menetes dari satu
moncong ke moncong yang lainnya.
“Badalah!
Bisa mati juga Si Pencong sialan itu. Kukira yang bisa membunuhnya hanya
dirinya sendiri. Atau memang ia bunuh diri?” Menoleh ke sebelahnya.
“Tak
mungkin. Lihat luka di dadanya. Mana ada manusia bunuh diri dengan menusuk
dadanya sendiri.”
“Siapa
yang bisa menghabisi nyawa jagoan itu, ya?” Kata seorang lagi sambil menyumpal
hidung.
“Hus!
Jangan keras-keras. Arwah jago yang baru meninggal masih ada di sekitar
jasadnya, masih bisa mendengarmu.”
Yang
jadi bahan omongan hanya bergerak tergontai mengikuti irama para pembopong. Memamerkan
kain atasnya yang seperti jatuh ke adonan jus stroberi. Iring-iringan berhenti
di balai desa. Di sana, wajah si mayat disampuli beberapa lembar daun pisang.
Rombongan lalat berwajah manyun harus minggat dengan kecewa.
Si
Pencong laki paling disegani di desa itu. Bersama gerombolannya, ia biasa
menghentikan para pengendara motor di malam hari, meminta duit dan barang
apapun yang bisa dijual. Kadang motor si pengendara juga ia sikat. Kalau sedang
bersuasana hati baik, dilepaskannya si pengendara motor. Kalau sedang suntuk,
ia akan mencari siapapun untuk dipukuli, meski tak tahu apa masalahnya dengan
orang itu.
Berkali-kali
warga melaporkannya ke polisi, tapi tak pernah diciduk ia. Pernah sekali
ditangkap, namun dilepas keesokan sorenya. Tak cukup barang bukti, kata aparat.
Keparat. Warga hanya bisa pasrah karena tahu siapa bekingan Pencong.
Dengar-dengar, ia punya kawan anggota dewan. Dari situlah ia menguasai
proyek-proyek parkir se-kecamatan.
Di
usia sepuluh Si Pencong membunuh ayahnya dalam pembelaan diri yang berujung
kecelakaan. Kala itu sang ayah meminta jatah pada ibu Pencong, namun sang istri
menolak karena sedang gusar tubuhnya. Sang ayah yang kesal sebab berahi sudah
sampai di ubun-ubun, mulai menampari istrinya saat Pencong menubruk ayahnya dan
memukul-mukul dengan tinjunya yang masih lugu.
Sang
ayah mengejar Pencong sampai ke dapur. Pencong bertahan dengan melempar apapun
yang bisa ia raih. Muntu, panci, irus, mangkok plastik, bahkan andai kuat
mengangkat tabung elpiji, mungkin benda hijau itu juga akan dilemparnya ke sang
Ayah.
Saat
berlari hendak menangkap Pencong yang sudah kehabisan material katapel, Pencong
menunduk dan menerjang kaki bapaknya yang tak siap kuda-kuda. Ayah Pencong
terjerembab. Adegan selanjutnya mirip seperti kecelakaan rumah dalam sebuah
episode sinetron. Terbantu gaya gravitasi, jidat ayah Pencong membentur
pojokkan meja dengan kasar.
Ketika
jempol kaki tak sengaja terantuk kaki meja, kau akan bersuara mengaduh dan
kesal bukan main dalam hati. Itu jempol kaki. Ini jidat. Lebih mengaduh lagi sakitnya
hingga ayah Pencong tewas seketika. Itulah pembunuhan pertama yang dilakukan
Pencong.
Tetiba
seorang laki datang membelah kerumunan di balai desa. Lengan bajunya dilinting
sebelah. Bibirnya mengapit sebatang kretek harum. Itu Joko Bledug, rekan
berandalan paling setia Si Pencong.
“Aku
tahu siapa yang membunuh Si Pencong.”
Selesai
berucap, Joko Bledug membuang kreteknya yang masih menyala.
*
“AKU
tak lagi mencintaimu,” kata Irul pada bininya.
“Kau
buntingi aku, anak kita pun kini telah beberapa bulan tumbuhnya, dan kau bilang
sudah tak cinta lagi denganku? Laki tak tahu diuntung! Begundal kembagus!”
Istrinya mendelik.
“Membuatmu
bunting pun aku tak sengaja.”
“Goblokke!
Aku sudah bilang waktu itu, cabut batang sialanmu sebelum muntah!”
“Aku
tak tahu kapan ia akan muntah.”
“Tolol!
Tak pernah kau perhatikan ketika Ibu Guru Sumi mengajar biologi?!”
Irul
hanya terdiam. Ia memang selalu tertidur saat mata pelajaran membosankan itu. Tapi
yang membuatnya menerawang adalah hal lain. Diperhatikannya darah daging hasil
persenggamaanya – kalau itu bisa disebut bersenggama – dengan sang bini. Makin
berusaha ia konsentrasi, makin lari pikirannya ke seorang gadis yang berumah di
perempatan sana.
Sedetik
dua detik kemudian, ia mengeluyur ke depan, mengambil motor matic dan
pergi meninggalkan istrinya yang menyumpahi angin. Laki itu berkendara menuju
stadion kabupaten. Di tengah perjalanan, Irul menjemput gadis yang sejak tadi
ber-kitiran di alam pikirnya.
Irul
adalah bocah kelas tiga yang karena lakunya sendiri, terpaksa jadi ayah di usia
belia. Ia kelas satu SMP saat pertama menonton video bugil. Di pojok gang
bareng konco-konconya, Irul melongo melihat seorang gadis mengerang saat
diserang dari belakang oleh seorang kakek tua. Bukit-bukit kencana sang gadis
bergoyang minta disetop. Top, lah, pokoknya. Kata seorang konco, itulah puncak
kenikmatan yang sanggup diikhtiarkan seorang perempuan dan laki.
Adegan
penyerangan terhadap si gadis tertanam di kepala Irul sejak saat itu. Dari
semua teman-teman sekolah dan desanya, hanya satu gadis yang ingin ia serang.
Dialah Wangi, anak kepala desa incaran pemuda satu kecamatan.
Irul
yang hanya berkasta papa baru bisa mendekati Wangi saat kelas dua SMA. Irul dan
Wangi jadi teman sekelas. Suatu hari, lewat hitung-hitungan probabilitas yang
muskil, pengacakkan tempat duduk membuat keduanya duduk semeja. Jam pertama
adalah mata pelajaran seni rupa. Wangi yang hanya pintar matematika dan
pelajaran eksakta kelabakan.
“Kenapa
kertasmu masih kosong?” Tanya Irul pada gadis manis di sebelahnya.
“Aku
tak tahu harus menggambar apa.”
“Gambarlah
hal yang paling kau takutkan. Itu hal paling mudah yang bisa digambar seorang
manusia.”
“Aku
takut mati.”
“Maka
gambarlah kematian.”
“Aku
kan belum pernah mati. Bagaimana aku bisa menggambar kematian?”
“Apa
yang kau ketahui soal kematian?”
“Surga
dan neraka.”
“Hmm,
coba gambar taman surga di sebelah kiri. Lengkap dengan rimbun pohon dan
kali-kalinya yang jernih. Di sebelah kanan, lukis jilatan-jilatan api yang
meriah.”
“Ha?
Bukankah surga harusnya di kanan dan neraka di kiri?”
“Tuhan
tak mengenal kanan dan kiri. Ia hanya mengenal baik dan buruk.”
Wangi
terdiam sejenak, beberapa kedip setelahnya ia mulai melukis.
“Kalau
kau menggambar apa?” Wangi balik bertanya pada cowok di sebelahnya.
“Aku
menggambar seorang gadis yang akan bersiap pergi dari desa ini dan tak kembali
lagi.”
Wangi
mendekatkan lehernya ke kertas kanvas Irul. “Kok mirip aku?”
“Ini
memang kau,” Irul menimpali.
“Apa
maksudmu? Kenapa melukisku dan kenapa seperti itu?”
“Itu
hal yang paling kutakutkan, Wangi. Aku takut kau pergi dan tak kembali lagi.”
Wangi
berkedip cepat. Pipinya memerah bata.
*
SAAT
tirai mata kucoba buka, sebersit sinar membuatnya tertutup lagi, terkejut. Aku
buka lagi, kali ini dengan kesiapan yang lebih mungkin, kulihat gemintang masih
tak ada. Namun keseluruhan langit bukan gelap, justru sangat terang birunya,
biru keputih-putihan yang menyenangkan retina.
Aku
meraba tanah mencoba berdiri. Aku tugur pada dua batang kakiku di sebuah padang
rumput maha luas. Semilir angin membuat tirai mata ingin tertutup lagi.
Silirnya membuatku sadar kalau tak sepenggal kain pun menutup badanku.
Ada
suara bergema menodong gendang kuping. Itu suara Bledug. Ramai. Ada juga
suara-suara manusia seperti berkumur bebarengan mereka. Menyebut-nyebut namaku.
Menyebut-nyebut nama pembunuhku. Kutengok segala penjuru mata angin tapi tak
tampak ujud mereka.
Lalu
aku teringat Ibuk.
Waktu
aku kecil, Ibuk sering berkisah tentang kehidupan setelah mati. Kata Ibuk,
setelah mati manusia akan hidup sebagai hewan. Kenapa hewan, Buk? Kenapa bukan
menjadi tebu atau pohon jati? Sambil nggelendot di pangkuannya, aku
bertanya.
Karena
manusia pun sebenarnya hewan, Le. Kehidupan para hewan itu bagaikan lingkaran
besar dari karet-karet gelang ….
Yang
sambung-menyambung seperti yang biasa kumainkan untuk lompat tali, Buk?
Nah,
iya, seperti itu, Le. Pandai nian, anak Ibuk. Tapi lingkaran kehidupan para
hewan ini besar sekali. Lebih besar dari baskara, bahkan. Dan kau tahu, Le,
kita bisa memilih jadi hewan apa sehabis mati kelak.
Aku
bangkit dari paha Ibuk, mendelik melihat matanya. Ibuk mau jadi apa setelah mati?
Ibuk
tersenyum pelit. Ibuk mau jadi cicak, Le.
Kenapa
cicak, Bu?
Biar
bisa memangsa nyamuk-nyamuk di kamarmu. Biar tidurmu pulas tak terganggu.
Aku
tertawa dan melingkarkan lengan ke leher Ibuk.
Melirik
ke atas aku berpikir. Kalau aku mau jadi asu.
Ibu
berubah ronanya mendengar ucapanku. Kenapa asu, Le?
Agar
tetap diingat orang, Buk. Aku sering mendengar orang-orang memanggil asu, walau
tak ada gukguk di sekitar mereka. Ibu cuma tersenyum sambil mengusap
kepalaku.
“Asu!”
Kudengar suara Bledug.
Suara
bising di sana makin menderu. Di alam antara seperti ini, aku berharap bisa
menyebarang ke mana saja. Tapi tak kutemukan jembatan, jurang, atau sungai
barang satupun.
Bagaimana bisa menentukan tujuan bila ada tidaknya tujuan pun kita tak tahu.
Aku
mendengar Joko Bledung terus menyebut-nyebut nama pembunuhku. Suaranya nyaris
kalah dengan protes orang-orang yang menganggapnya mengibul. Aku
mengingat-ingat kejadian malam kemarin. Tersadar tentang yang sesungguhnya
terjadi. Oh, Bledug. Betapa kawan penyamunku itu telah dikuasai kesumat.
*
JOKO BLEDUG dulunya
santri di sebuah pondok pesantren yang berjarak satu jam dari desa mereka. Bledug
pemuda gempal – itulah mengapa ia dipanggil “Bledug,” anak gajah – nan
alim yang berpegang teguh pada Al-Qur’an. Orang-orang desa sering menyebut
kalau Bledug punya pancaran kenabian – meski mereka sebenarnya tak tahu seperti
apa pancaran kenabian itu.
Pada kelas dua
SMA, ia keluar dari sekolah karena berniat belajar agama lebih dalam. Ia ingin nyantri
di pondok Pak Kyiai. “Aku berpegang teguh pada kitab kebenaran dan ingin
mengajinya lebih dalam,” kata Bledug pada dia punya orang tua.
Kabar
keberangkatan Bledug sampai di telinga seorang perempuan anak kepala desa,
gadis yang wangi rupa dan hatinya. Ia terkejut dengan kabar kepergian Bledug, lelaki
yang ia cintai. Wangi yang saat itu masih kelas satu putih abu-abu menghampiri Bledug
di rumahnya yang terletak notog di jalan buntu.
“Tak cintakah
lagi kau denganku, Mas?” Jiwa Wangi yang masih puber berhambur ke pelukan Bledug.
Tubuh gempalnya selalu nyaman buat dipeluk.
“Dik …” Bledug
memisah pelukan mereka, menggenggam bahu Wangi dengan lembut, dan tersenyum
sejuk. Bak memeragakan akting yang sering ia lihat di lakon-lakon teve. Menatap
wajah Wangi yang dibanjiri eluh.
Dia lanjut
bicara. “Aku mencintaimu, tapi aku lebih cinta pada Allah dan utusannya. Aku
pergi cuma sebentar, aku ingin mengaji ilmu-ilmu Allah. Aku tak akan
melupakanmu. Setelah khatam pelajaranku, aku akan menemuimu lagi. Saat itu
terjadi, pasti kau sudah selesai juga belajar di sekolahan dan kita bisa
menyempurnakan agama kita bebarengan.”
Makin deras
tangis yang merembes dari bola mata Wangi. Baru dua bulan mereka terbuai dalam lakon
asmara yang membikin kala terhenti. Eh, kini Mas Bledugnya terkasih harus pergi
bertahun-tahun buat mengaji.
Tapi wangi
ikhlas, sebab ia tahu betul watak kekasihnya. Tak bisa dihentikan kalau sudah
punya keinginan. Setelah dua menit pelukan yang begitu khusyuk, akhirnya Wangi
rida melepas Joko Bledug pergi.
“Mas, aku
akan menunggumu lulus. Aku janji akan menunggumu,” bisik Wangi.
Satu tahun
setelah janji itu terucap, pipi Wangi memerah bata karena seorang laki yang
duduk semeja dengannya.
*
KABAR
pernikahan Wangi dan Irul membuana ke satu kecamatan. Gunjing-gunjing mengalir
deras bagaikan sengaja diproduksi oleh pabrik buah bibir yang asap hitamnya tak
henti mengangkasa. Anak kepala desa yang terhormat, Wangi yang wangi hati dan
rupanya itu, diam-diam akan menikah dengan seorang laki satu sekolahnya. Juh
… juh … juh ….
“Oalah
perempuan sundel. Cantik cantik, kok, mbeling,” seorang ibu yang tengah
memandikan anaknya di keran depan rumah bersuling gunjing bersama sekawan
tetangga.
“Memang,
ya, perempuan cantik itu kalau sudah baik, baik betul. Tapi sekali menyeleweng,
badalah, tak segan-segan ia berbuat yang … astagfirullah, jangan
sampailah gendukku berbuat begitu. Amit-amit!”
“Loh,
loh … itu kan si Bledug santrinya Pak Kyiai. Sudah pulang mondok, tha, dia?”
Memberi kode pada lawan bicaranya untuk mingkem.
Kedatangan
Joko Bledug ke desa itu tentu bukan karena pelajaran agamanya di pondok
pesantren telah khatam. Warta pernikahan Wangi dan Irul sampai di kupingnya
sebelum sempat dibelokkan oleh angin. Angin yang justru makin mengipasi amuk
dendam dalam dada Bledug.
Dengan
berbaju gamis bersandal sualo tanpa kopiah di kepala, ia naik ojek dari
pesantren lalu berjalan dari gapura dusun ke rumah Wangi. Bersiap menagih
sumpah yang diucap gadis itu sebelum ia pergi belajar kitab suci.
Tinggal
serumah lagi harus Bledug lewati dan gadis ayu puan hatinya sudah tampak di
teras rumah. Seolah sudah dapat wahyu kalau Joko Bledug kekasihnya akan datang.
Naik ia ke teras setelah melepas alas kaki dan bertanya pada Wangi.
“Benarkah
berita itu?” Langsung Bledug berucap tanpa basa-basi.
“Mengapa
kau tanyakan lagi kabar yang sudah pasti kebenarannya, Mas?”
Bledug
mendekat ke wajah Wangi.
“Tak
ingatkah kau dengan prasetyamu sebelum aku pergi?”
Selarik
kalimat itu membuat Wangi sesak. Membuatnya mengingat rasa sakit di antara
lututnya yang bertahan berhari-hari. Ia berusaha menahan tangis yang tak kuasa
lagi disumpal.
Sepetak
jalan setapak di ladang tebu adalah wahana berkasih favorit Wangi dan Irul. Pada
suatu libur yang mungil, berhamburlah mereka ke sana. Terik surya tak begitu
ganas, setidaknya tak seganas apa yang terjadi pada Wangi – oh perempuan malang
– setelah itu.
Wangi
tak ingat betul apa yang dia bincangkan dengan Irul. Yang ia ingat, saat itu
Irul merangkulnya dekat seperti yang biasa mereka rituskan. Sekejap lalu,
rangkulannya dilepas. Irul bangkit duduk agak tegak dan menatap Wangi
lekat-lekat. Si gadis belia yang masih manja itu tersenyum. Berharap ada yang
terucap untuk memecah satu alinea sunyi yang memisah mereka. Tapi yang Wangi
dapatkan bukan kata-kata.
Jemari
Irul terangkat setinggi rusuk, lalu didansakan ke sepasang buah muda yang
tergelantung di dada Wangi. Tersentak sejenaklah gadis muda itu, namun tak
keluar sepatah bunyi pun dari lisannya. Sementara hening berjalan, makin lihai
tapak tangan Irul menjelajah tubuh gadis di depannya.
Hingga
suatu kata terlepas memotong adegan. “Jangan!”
Layaknya
aktor film yang terkejut karena ucapan “cut!” dilontarkan sebelum
waktunya, Irul bengong sesaat, sebelum dengan kesal melanjutkan adegan yang
tertunda sebab puncak cerita belum tercapai. Dia membalikkan Wangi, sekali.
Wangi mencoba berbalik. Dia balikkan lagi tubuh gadis yang mencoba berdaya itu,
dua kali. Si gadis menyerah.
Beberapa
“jangan” terlontar lagi tiap Irul coba menembus benteng akhir si gadis. Beberapa
“jangan” terlepas, namun yang keluar selanjutnya dari tenggorokan Wangi adalah
erang kesakitan yang luar biasa kerasnya. Benteng tipisnya telah ditembus oleh mitraliur
berpeluru hasrat dan nafsu. Segera Irul benamkan kepala Wangi ke tanah agar tak
lanjut ia teriak meronta.
Tetesan
getih mengalun dari paha Wangi. Rumput-rumput di bawahnya menjilat darah
segar dengan penuh gairah. Sedang rumput di depan sana mencumbu wajah Wangi
amat rakus. Di tengah semua itu, batang kemaluan Irul bak muntu yang tengah
menghaluskan adonan lombok merah di liang kenikmatan gadisnya. Memerah panas. Terus
menggerus sampai halus.
“Jangan,
Irul! Setidaknya, cabut batangmu sebelum ia muntah,” Wangi masih usaha
berkata-kata meski jiwanya telah bablas ke alam baka.
Sisa-sisa
tenaga Wangi masih coba membalikkan keadaan. Cukup merepotkan si laki di belakang
sana. Irul lupa kalau gadis betulan bukan artis porno yang tak bisa melawan. Makin
pedaslah batang muntu si laki. Dua tiga ketukan berlalu hingga sebuah ledakan mendesak
selangkangannya. Buyar. Rumput-rumput di bawah menjilati lagi getih yang
kini campur dengan mani. Menetes hangat dari antara sisa-sisa benteng yang
porak-poranda.
“Katakan
kau tak mencintainya, Wangi,” sentakan Joko Bledug memecah rasa sakit di antara
lutut gadis itu.
Dilihatnya
laki yang tak kurang baiknya tersebut. Hati wanitanya remuk karena harus
melepas laki alim yang dicintai. Lebih remuk lagi karena ia menganggap diri
sendiri genangan air kotor yang harus segera diplester oleh tumpukan semen.
“Mas,
kini tubuhku bukan lagi hanya punyaku. Tubuhku telah dititipi nyawa seorang
kelak manusia. Aku akan membesarkannya dengan penuh kasih.”
Mendengar
jawaban itu, Joko Bledug gugur jiwanya. Hilang segala ilmu yang ia pelajari,
hilang pakaian kealimannya, hingga yang tersisa hanya amarah dan dendam menari
berkecamuk. Bergeming Bledug di hadapan gadis yang sudah milik laki lain. Sejak
hari itu, ia bukan Joko Bledug si laki alim yang dikenal orang-orang desa.
Dan
perjumpaan dua manusia saling sakit hati tadi berakhir dengan pelukan perpisahan
yang tak pernah mereka niatkan.
Dan
dua lusin langkah dari rumah Wangi, Irul menyaksikan kejadian itu. Ia berbalik
memunggungi rumah lalu melangkah pergi.
*
“APA
sih kurangnya istrimu? Ia cerdas dan cantik. Ia bahkan rela meninggalkan
sekolahnya walaupun batangmulah yang harusnya bertanggung jawab. Aku yakin
hatinya remuk saat mengambil putusan itu,” Mirah menasihati laki yang rebah di
pangkuannya.
“Tapi
kini aku tak lagi mencintainya,” si laki berkilah.
“Kata
ibuku, tak perlu cinta untuk sebuah pernikahan. Banyak pasutri tak saling
cinta, hubungan mereka subur-subur saja. Dalam pernikahan, katanya, yang
penting adalah bertahan hidup.”
“Tapi
aku masih butuh cinta untuk bertahan hidup, Rah. Dan kini aku tak bisa bertahan
hidup tanpa kamu,” si laki merajuk.
“Haissh,
dasar fakboi ndesa. Ada saja jurusnya. Kalau istrimu tahu bagaimana,
hayo?” Mirah mencubit hidung yang laki. Yang dicubit nyengir segigi.
Stadion
kabupaten memang papan paling asyik buat muda-mudi ber-kelangenan. Kalau Sabtu sore seperti ini, anak-anak desa
ke sana naik motor pretelan. Bakul jajanan tersebar di sekeliling, tinggal
pilih; siomai, gorengan, cilok-cilokkan, atau kebab sok Turki. Bocah-bocah bisa
pacaran murah meriah. Terkadang beberapa pasang ngeluyur ke balik pepohonan,
entah.
Mirah
bertemu si laki belum ada dua bulan kemarin. Saat itu ia sedang jajan es teh
dan gorengan di kantin sekolah. Duitnya kurang dua ribu dan kantin sekolah tak
menerima gopey atau opo. Saat itulah si laki muncul menawarkan
dua lembar seribu – duit kertas teramat langka – pada Mirah.
“Mas!”
Mirah memanggil kakak kelasnya yang menyelonong kabur setelah memberi dia
pinjaman.
“Ada
apa? Duitmu kurang lagi?”
“Bukan,
bukan itu. Besok aku bayar utangku. Tak enak rasa aku merepotkan Mas.”
“Tak
usah, Dik. Anggap saja dua ribu itu cicilanku untuk mas kawinmu,” Si laki
tertawa manis lalu pergi meninggalkan Mirah yang berdebar dadanya. Mirah tahu, peristiwa
cicilan itu membuatnya kesengsem pada si laki.
Stadion
makin ramai. Tak tahu kenapa suasana ini justru buat perasaan makin tak tenang.
Agak berkurang hawa intim yang terasa tadi sore. Kini lampu-lampu jalan
dinyalakan dan para tukang parkir makin sibuk menggoyang motor untuk ditata.
“Ibuku
menelepon,” si laki berucap. “Anakku sakit. Harus lekas balik agar istriku
lebih tenang.”
Mirah
rela walau sesak dalam hati. Ia paham risiko yang harus ia tanggung sebagai
gadis nomor dwi. Adonan perasaan harus tetap terkepul dari pawon asmara, namun
yang dimasakkan sering memilih makan di warung tetangga.
Maka
pulanglah mereka, berboncengan sebagaimana tadi datang. Keduanya berkendara ke
arah timur, ke arah desa mereka terhampar. Mirah mendekap si laki erat hingga
terasa tulang rusuknya yang melengkung. Si laki bisa merasa buah dada Mirah
yang masih tunas terhempas manja ke punggungnya yang tipis.
Si
laki belok kiri di perempatan keempat karena kendaraan menumpuk di situ. Ia
coba mencari jalan yang lebih ringkas. Setelah berbelok menikung melewati
perkuburan, seekor sepeda motor membuntut keduanya. Hanya dua ekor motor itu
yang melintas di sana.
Motor
yang dibonceng Mirah hendak belok ke kanan menjelang pertigaan ladang tebu,
ketika motor di belakang seketika mencegat Mirah dan kusirnya. Jalan tersebut
makin senyap. Mirah mendekap si laki lebih erat. Mereka berdua digeledah,
dirampas dompet dan ponselnya. Digiring ke tengah ladang tebu yang
tinggi-tinggi hendak dipanen.
Sepukul
dua pukul dilayangkan kepada Irul. Terjerembab ia hampir pasrah, sampai sebuah
kalimat membangkitkan keberaniannya.
“Biar
kupakai gadismu dan kau harus melihatnya dengan dua mata telanjangmu!”
*
AKU
tak berniat memperkosa anak gadis itu.
Peristiwa
itu malam terjadi sejak aku dan Bledug memarkir motor di pinggir makam, kami
menunggu mangsa di sana. Hingga azan isya dinyanyikan, tak kami dapati motor
yang melintas sendiri. Selalu ramai atau setidaknya dua melintas beriringan.
Malam Minggu, pikir kami. Pantas pantang sepi.
Lalu
beberapa detik setelah ikamah bersenandung dari masjid, motor yang membawa
pembunuhku melintas. Seorang gadis mungil nemplok di punggungnya. Aku melirik Bledug
sekilas lalu segera tancap gas.
Bledug
di depan. Ada yang aneh dari dia. Saat motor tadi lewat, mendadak beringas
wajahnya tak sabar mengejar. Biasanya ia penyamun yang tenang. Tak banyak
cincong tapi sekali sabet dua tiga hape sukses berpindah tangan.
Namun
kali ini ia begitu beringas, sehingga dikebut motor kami mencegat dua orang itu
di pertigaan ladang tebu. Begitu berhenti, langsung diambil kunci motor yang
tergantung di depan yang laki. Aku sigap menggeledah keduanya, mencaplok ponsel
dan dompet. Kawananku yang lain datang kemudian membawa motor yang kami
tumpangi. Mereka pergi, lalu tanpa dikomando, Joko Bledug menenteng motor
mangsa kami ke dalam ladang. Aku di belakang berjalan mengawasi dua bocah ABG
yang berjalan gemetaran di tengah kami.
Sampai
di sebuah setapak yang cukup lengang dan memastikan tak terlihat siapa-siapa,
aku langsung menggebuk perut si laki sebab sudah gatal kepalku tak menjotos
orang dua hari lamanya. Ia terjatuh lalu kujorokkan bokongnya sehingga
terjerembab ia pada suket-suket di situ. Pada yang gadis, aku diamkan. Melihat
lakinya kesakitan sudah cukup membuat ia tersiksa.
Bledug
masih diam saja menonton. Setelah puas melampiaskan hasrat menjotos, aku
berjalan ke motor mereka, berniat membawa harta rampasan seperti yang biasa
kami lakukan. Namun ucapan Joko Bledug menghentikan tapak kakiku melangkah.
Dasar
bocah bajingan! Diikuti suara tendangannya ke perut si laki yang masih
terjatuh.
Aku
menengok sesaat sebelum berjalan lagi ke arah motor mereka. Namun ucapan kedua
yang terlontar dari mulut Bledug membuatku benar-benar terkejut.
Biar
kau tahu bagaimana rasanya remuk, terenggut harga dirimu sebagai lelaki. Biar
kupakai gadismu dan kau harus melihatnya dengan dua mata telanjangmu!
Aku
hanya penyamun, bukan penjahat. Tak pernah aku melakukan lebih dari mencuri dan
memukul. Baiklah, aku pernah beberapa kali mengirim orang-orang ke alam kubur.
Tapi tak pernah aku mencuri harga diri seseorang, apalagi seorang anak gadis. Seketika
setelah Bledug berkata, aku berbalik arah dan menyeretnya agak menjauh.
Apa
yang kau lakukan?! Kita tak pernah merencanakan ini. Kataku.
Kau
tak perlu tahu. Yang terpenting sekarang, aku harus memberi pelajaran pada bocah
tak tahu diuntung itu.
Melangkahlah
ia ke dua mangsa kami. Aku setengah berlari mengikuti. Ada yang aneh. Kulihat
jok motor matic-nya
terbuka. Si laki sudah berdiri meski wajahnya masih berantakan. Ia menutupi si
gadis dengan tubuhnya. Mukanya letih tapi ada uap keteguhan di situ.
Kau
tahu, orang-orang macam kami acap lengah dengan yang tak tampak. Kami terbiasa
hidup apa adanya tanpa ita-itu. Golok kami sarungkan di depan, cincin akik kami
pamerkan sejelas-jelasnya. Tak pernah kami sembunyikan amarah di wajah ketika
memang harus marah. Selalu kami tampakkan apa-apa yang kami rasakan. Dan malam
itu, pembunuhku memanfaatkan kelengahan yang kami punyai.
Joko
Bledug akan menyingkirkan bocah itu supaya si gadis kelihatan lebih jelas.
Gerakan tangan Bledug tanpa disangka dilawan si bocah laki dengan menodongkan
sebuah lading ke arah Bledug. Dengan cepat ia bergerak ke depan akan menusuk.
Bledug tersentak namun refleks tubuhnya membuat ia berguling ke kiri. Si bocah
terlanjur condong ke depan badannya sehingga tak kuasa berbalik arah.
Aku
yang ada tepat di belakang Bledug terkejut dengan peristiwa yang begitu cepat
terjadi. Tetiba, kurasai sesuatu yang dingin menempel dalam di dadaku. Sesak.
Si bocah melongo, lalu dengan segera mencabut ladingnya. Bah! Jagat raya berhenti
ketika ia mencabut lading dari dagingku.
Aku
terhempas ke tanah. Mereka berlari pergi. Meninggalkanku yang menikmati
sepotong malam sambil membaui tanganku yang basah dan mengusir tikus-tikus dan meresapi
tabuhan jangkrik pesinden.
Asu.[]
0 komentar