Ingatan yang Terprentah
09.38Oleh: Satya Adhi dan Vera Safitri Betapa sempit ruang ingatan yang tersisa buat seni budaya kontemporer di Indonesia. Di Gang Sempit 188 A/B Wajah Santosa dibanjiri keringat. Ia baru saja pulang usai membeli makan siang ketika seorang perempuan usia 20-an tahun menghampirinya. Si perempuan datang bersama seorang lelaki. Mereka terlihat seumuran. Keduanya menanyakan salah satu arsip untuk keperluan penelitian yang tengah dikerjakan. Kepungan kertas-kertas, buku, dan arsip membikin ruangan itu makin gerah. Meski luasnya hanya setara lapangan futsal, ada puluhan ribu ingatan seni rupa Indonesia tersimpan di situ. Wajar jika Santosa makin membulirkan keringat. Di lantai dua, tepat di pojok, sebuah ruangan tertutup tampak gelap. Itu tempat penyimpanan arsip-arsip suara, video, serta dokumentasi para seniman. Untuk menjaga kelembaban, pendingin ruangan harus menyala 24 jam. Alarm kebakaran juga tersedia di sana. Sudah 13 tahun Santosa dikepung ingatan-ingatan itu. Ia seorang petugas perpustakaan sekaligus ruang arsip milik Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Sebuah bangunan bercat hijau di gang Hiperkes 188 A-B, Keparakan, Mergangsan, Yogyakarta. Sejak 1995, Lembaga pengarsip seni rupa yang dulunya bernama Yayasan Cemeti ini rutin melakukan kerja pengarsipan seni rupa Indonesia. Dalam setahun IVAA mengklaim dapat mengumpulkan sebanyak 12.500 buat foto dan 250 atau sepuluh hari enam jam video, dari 250 rekaman acara seni. Itu pun sudah melalui tahap seleksi. IVAA bahkan disebut-sebut sebagai situs arsip seni rupa pertama di Indonesia. (Baca selengkapnya ...)
Tapi hari itu perpustakaan maupun ruan arsip IVAA tampak sepi. Hanya ada Santosa yang bertugas di sana, “Yang lainnya memang lagi di Festival Arsip,” ungkapnya.
Festival Arsip yang dimaksud Santosa digelar di Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Sanata Dharma (USD), 19 September-1 Oktober 2017 lalu.
Di malam pembukaan festival, panggung yang penuh oleh kepulan asap berdiri di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri (PKK) UGM. Sorot lampu mencelat ke segala penjuru. Tak ada tepuk tangan saat dua pria di atas panggung mulai melantunkan bait-bait awal lagu. Masih terasa asing. Nyaris senyap. Barangkali para penonton sedang membongkar ingatan masing-masing. Musik lanjut mengalun. Saat kedua penyanyi tadi menemui refrein, barulah para penonton berhenti tertegun.
“Aku cinta, kamu cinta, semua cinta, buatan Indonesia....”
Seluruh penonton riuh bertepuk tangan. Hilmar Farid, sejarawan yang kini jadi Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, duduk di bangku penonton paling depan. Ia langsung sumringah. Sambil memegangi peramban dengar yang dikenakannya, sesekali ia dan orang yang duduk di sampingnya tergelak.
Lagu berjudul Aku Cinta Buatan Indonesia bikinan grup musik Bimbo ini sempat tenar di tahun 1980-an. Lagu wangi Orde Baru. Mengirim ingatan pada program Cinta Produk Dalam Negeri dicanangkan pemerintah waktu itu.
Tak sampai dua menit usai lagu dinyanyikan, Farid dan seratusan penonton kembali tertegun. Kali ini di hadapan mereka tampil seorang pria bergitar dengan harmonika berjalan maju menuju panggung. Lamat-lamat lirik yang dinyanyikan terasa begitu akrab.
Jangan bicara soal nasionalisme
Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
Atau betapa dahsyatnya
Ancaman yang membuat kita terpaksa onani
Selepasnya, ingatan-ingatan berebut kuasa dari atas panggung.
Malam itu, PKKH UGM mendadak jadi katalog hidup lagu-lagu populer mulai tahun 1930 sampai tahun 2016. Lantunan lagu mulai dari keroncong, lagu bertema Manipol-Usdek, Orde Baru, sampai lagu-lagu Slank yang populer di awal 2000-an berurutan disajikan di atas panggung. “Mereka menyanyikan arsip,” begitu kata seorang pemandu acara malam itu.
Nama pertunjukan pembukanya Catatan Musik Indonesia Populer 1930-2016. Cukup nyentrik buat membuka festival yang diadakan selama 13 hari lamanya.
“Kami mencoba menampilkan arsip dengan cara lain, kami ingin menampilkan arsip sebagai objek hidup. Menghidupkan arsip,” ujar Lisistrata Lusandiana, Direktur Festival Arsip IVAA 2017.
Dalam usaha tersebut, Hilmar Farid tampaknya setuju. “Saya kira selama ini kita masih memperlakukan arsip dengan cara-cara konvensional. Sementara di sini arsip diperlakukan dengan cara-cara baru. Jadi ada ahli media juga. Arsip ditampilkan dalam visual dan suara. Saya kira ini cara kreatif untuk mengelola arsip.”
Menghidupkan arsip bukan barang mudah. Sebelum dihidupkan, serpihan-serpihan ingatan kudu dikumpulkan dulu. Ini jadi proses yang politis. “Kita mengarsip dengan sebuah pandangan tertentu, dan itu digunakan untuk membuat sebuah maksud kepentingan kelompok tertentu,” Lisistrata menjelaskan.
IVAA misalnya. Mereka lebih fokus mengarsip seni rupa kontemporer. Maka seni-seni tradisi akan sulit ditemui di ruang arsipnya.
Terhimpunnya arsip-arsip seni rupa di IVAA, nantinya akan memantik penelitian-penelitian soal seni rupa Indonesia. “Kalau [peneliti yang memanfaatkan arsip IVAA] dibilang banyak tidak juga, tapi lumayan. Karena memang ini bidang penelitian yang alternatif ya. Tidak semua orang tertarik untuk melakukan penelitian soal seni rupa,” Santosa, yang keringat di wajahnya sudah mulai kering berujar demikian.
Muhidin M. Dahlan, sejarawan partikelir cum arsiparis Warung Arsip, menjelaskan manfaat kerja pengarsipan. “Mengarsip itu kegiatan aktivisme. Maka arsiparis itu aktivis!” Katanya di USD, Senin, 25 September 2017.
Pada 2012 silam, Muhidin didaulat jadi koordinator penulisan buku Almanak Seni Rupa Indonesia: Secara Istimewa Yogyakarta. Buku setebal 1001 halaman tersebut adalah kamus seni rupa Indonesia kontemporer. Sejak mengepalai proyek buku itu, Muhidin jadi punya gelar baru: sejarawan seni rupa partikelir.
Kerja-kerja yang dilakukan IVAA dan Muhidin, adalah kerja yang bahkan berumur lebih tua dari usia Indonesia. Tapi kerja pengarsipan modern bermula ketika Belanda menduduki Hindia. Sebuah contoh kasus dahsyat soal politik arsip, terjadi di Hindia Belanda awal abad 20. Politik yang sukses menghilangkan nama seorang tokoh penting dalam sejarah bangsa, selama berabad-abad.
Orang-orang Bergunting
Pada mulanya adalah kertas. Kosong. Lalu tercetak. Ditumpuk. Kemudian dihamparkan. Tercecer. Kemudian dihimpun lagi. Ditumpuk lagi. Dicetak lagi.
Kerja-kerja berulang yang cukup membikin Jacques Pangemanann pusing. Dia, seorang Indo anggota kepolisian Hindia Belanda, terpaksa berurusan dengan kertas. Tiap hari hanya membaca koran dan majalah terbitan Hindia, membikin wawancara, mempelajari dokumen-dokumen, menulis naskah kerja. Semua dilakukan saban hari selama lima tahun. Lima tahun!
Yang membikin Pangemanann makin pusing adalah lelaki yang ia hadapi melalui kertas-kertas itu. “Apa harus kulakukan terhadap dia?” Pangemanann merenung. “Dia bukan penjahat, bukan pemberontak. Dia seorang terpelajar Pribumi yang hanya terlalu mencintai bangsa dan tanah airnya Hindia.”
Pangemanann resah. Melalui kerja yang dilakukannya, ia harus memutuskan nasib seorang Jawa yang terhormat. Seorang Jawa yang terlahir kembali menjadi T.A.S. Terekam dan disingkirkan secara nyaris sempurna dalam rumah kaca kepunyaan Pangemanann. Yang direkam lagi melalui Rumah Kaca (Hasta Mitra, 1988) kepunyaan Pramoedya Ananta Toer.
Melalui rumah kaca Pangemanann, ingatan orang-orang terhadap T.A.S dihilangkan selama berabad-abad. Dibiarkan bertumpuk di pojok almari pendingin sejarah.
Ingatan itu barangkali akan tetap hilang, kalau seorang lelaki keturunan Cina tidak selamat dari sebongkah kapal yang membawanya pulang. Pulang dari pengasingan bertahun-tahun di Buru – pulau impian yang dipagari bedil dingin berpelor panas.
Awalnya, kisah Pangemanann dan T.A.S dirancang sedemikian rupa oleh Pram di Buru. Keparat memang. Entah bagaimana caranya, Pram menyusun sebuah roman sejarah paling penting dalam kesusastraan Indonesia, ketika bedil dan pelor mengintainya setiap waktu.
Yang pasti, Pram adalah penggunting yang tangguh. Setangguh Pangemanann ketika menghimpun dan mengasingkan ingatan T.A.S.
Saat kisah T.A.S dan Pangemanann rampung, Pram menitipkan naskah aslinya ke lelaki keturunan Cina tadi. Oei Him Hwie namanya. Ia bebas pada 1978 dari Buru. Naskah-naskah Rumah Kaca, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, Bumi Manusia, Arok Dedes, dan beberapa naskah lain, dipasung di dalam sekotak peti. Kemudian diserahkan kepada Oei.
Oei tidak tahu isi kotak peti itu. Untung saja tentara tidak menggeledahnya. Kalau demikian yang terjadi, kerja keras Pangemanann akan terus membuahkan hasil. Dan T.A.S akan terus tersembunyi. Saat ia sampai di Tanjuk Perak, Surabaya, baru Oei tahu, kalau yang dibawanya selama ini adalah ingatan penting bangsanya.
Pram bebas pada 1979. Saat Oei ingin mengembalikan kotak peti berisi naskah kepada yang punya, Pram justru tidak berkenan. “Pram menolak, meminta Oei untuk menyimpan naskah aslinya. Pram akan menyimpan fotokopinya saja,” tulis Kathleen Azali dalam Pengarsipan dan Sejarah Personal: Medayu Agung dan Oei Hiem Hwie (2014).
Naskah asli Tetralogi Pulau Buru masih ada di perpustakaan Medayu Agung. Itu adalah perpustakaan yang dibangun lewat tangan-tangan Oei yang kokoh.
Medayu Agung adalah rumah kertas dua lantai berukuran sekira 10 x 10 meter persegi. Di dalamnya, berbagai buku, surat kabar, majalah, kliping, foto, dan berbagai dokumen sejarah tersimpan rapi.
Kathleen mencatat, ada dua jenis koleksi yang dimiliki Medayu Agung. “Pertama, koleksi khusus, dengan fokus utama subjek sejarah,” tulisnya. Karya-karya Pram, Sukarno, dan masalah pembauran dan integrasi etnis Tionghoa di Indonesia, termasuk dalam kategori ini.
Sedangkan kategori kedua adalah koleksi langka. “Yang mencakup buku-buku kuno terbitan pertengahan abad 19 hingga awal abad 20, dalam bahasa Belanda, Inggris, Melayu, dan Jerman, yang sudah sangat jarang ditemukan,” tambah Kathleen.
Rumah Kaca-nya Pramoedya, tersimpan rapi di sebuah kotak kaca di Medayu Agung.
Etos kerja ingatan Pram, yang kemudian menular ke Oei, bukan kerja main-main. Muhidin saksinya. Dalam sebuah obrolan dengan Pram, Muhidin berkisah banyak soal pengalamannya bergelut dengan ingatan.
Pram berkisah soal guntingnya. Benda yang sudah menempel lekat di jemarinya sejak 1942, saat ia pertama kali bekerja di kantor berita Domei.
“Gaji saya 30 perak sebulan. Itu untuk makan, sekolah. Juga saya belikan kemeja warna biru untuk kuliah di Sekolah Tinggi Islam. Harganya 75 perak. Saya ngutang untuk itu dan bayar dengan tulisan… hahahaha. Dari sana pengalaman saya mengkliping. Sampai sekarang. Tak berhenti,” ujar Pram, seperti dikisahkan Muhidin dalam Praktik Kliping dan Daya Budi Kultural (2014).
Saat berkunjung ke kediaman Pram, Muhidin bahkan sempat mengukur tinggi kliping Pram yang ia kumpulkan selama 30 tahun. “Kliping yang terkumpul baru 17 meter tebalnya… dan tak pernah bisa berlanjut lagi karena ia keburu mangkat,” tulis Muhidin.
Muhidin jadi punya ambisi mengungguli Pram. Hampir setiap pagi sekira pukul enam, Muhidin akan pergi ke sebuah rumah di daerah Sewon, Bantul, Yogyakarta. Ia biasa membawa koran. Bukan hanya satu. Tapi semua koran yang terbit di Jogja.
Setelah menyantap sarapan bikinan istrinya, Muhidin duduk di depan alat pemindai. Tumpukan koran setinggi kira-kira empat meter mengepungnya dari berbagai sisi. Matanya bergerak dari kiri ke kanan, membaca tiap judul tulisan dari koran-koran yang ia bawa. Pikirannya kemudian akan memilah, mana tulisan yang layak dipindai, mana yang tidak. Ini ia lakukan setiap hari sejak 2006.
“Mengkliping itu lama-lama bisa bikin jiwa terganggu,” celetuknya.
Wajar. Di Warung Arsip, hanya ada dua arsiparis yang harus mengurus belasan ribu koran, majalah, dan buku yang terbit dari berbagai zaman. Termasuk melakukan kerja kliping setiap hari.
“Di era Pram [Pramoedya Ananta Toer] dan Jassin [H.B. Jassin], gunting menjadi senjata mengkliping; di zaman kiwari dengan kecanggihan teknologi digital, internet dan seluruh percabangan tool-nya menjadi senjata membina dokumentasi,” tulisnya.
Beruntung kerja Muhidin sudah terdigitalisasi. Kalau masih pakai gunting, bah, ia mungkin sudah benar-benar gila sekarang.
IVAA, Muhidin, Pangemanann, Pram, Oei, adalah pengarsip benda “diam.” Nyatanya, gambar idoep jadi salah satu karya seni penting dalam sejarah Indonesia. Dulu senjata para pengarsip gambar ideop masih gunting. Sama. Kini beralih ke jagat digital.
Sinematek-tek-tek
Nederlandsch Bioscoop Maatschappij:
Gambar idoep ini malem 5 Desember pertoendjoekan besar jang pertama dan teroes saben malam di dalam satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (Maage) moelain poekoel Toedjoe malem. Harga tempat: Klas satoe 2, Klas Doewa f 1, Klas tiga 0,25. Directie. (Politik Film di Hindia Belanda, 2010)
Malam itu, untuk pertama kalinya gambar idoep diputar di Hindia. Batavia sebagai pusat pemerintahan jadi tempat yang dipilih.
Film yang diputar malam itu adalah sebuah film dokumenter. Film yang politis. Ihwal kedatangan Ratu Belanda bersama Pangeran Hertog ke Den Haag, Belanda. Film tak berbunyi, orang-orang Hindia jadi tidak begitu tertarik. Tak tahu apa yang dimaksud oleh tokoh-tokoh dalam film. Masih lebih memilih nonton wayang, tangki, atau stambul.
Ini bisa dilihat dari ulasan dari Bintang Betawi yang tidak begitu mengesankan.
Kemaren kita soeda trima satoe soerat oendangan dari Nederlandsh Bioscoop Maatschappij di sini dengan dikirim doea kartjis Klas 1 boeat datang nonton itoe gambar idoep jang malem dikasi liat di satoe roemah di Kebondjae sebla Toko Fuchs. (Politik Film di Hindia Belanda, 2010)
Menonton film di masa itu sungguh sunyi dan penuh terka. Mata penonton yang hanya disajikan gambar idoep bisu di depannya cuma bisa beriman pada imajinasi tentang apa yang terjadi dalam film. Meski begitu, toh film-film yang banyak tak dimengerti oleh para penonton Eropa dan sedikit orang Hindia itu tetap laku. Sangat laku, sampai-sampai importir film di Hindia Belanda yang tadinya cuma satu di tahun 1900, bertambah jadi 17 pada 1924.
Setelahnya, orang-orang Hindia mulai mencoba bikin film. Beberapa grup sandiwara milik orang melayu maupun Tionghoa jadi lebih suka berakting di depan kamera ketimbang langsung berhadapan dengan penonton seperti biasanya.
Sebuah film yang tampak mencolok adalah Film Njai Dasima (1929). Ini karena dalam iklan menyebutnya sebagai:
Pertoendjoekan ia poenja FILM PERTAMA jang baroe sadja dibikin rampoeng dengan tjerita Betawi jang paling terkenal, Njai Dasima. Semoea rol-rol dipegang oleh BANGSA INDONESIA sendiri. Film mencoba menarik penonton dengan rayuan nasionalis.
Senasib dengan karya seni lain, film pun jadi pemahat politis yang digunakan oleh sesuai kebutuhan.
Lalu pada 1940 sampai 1942, terjadilah apa yang dinamai oleh pengepul ingatan kebudayaan modern negeri ini, Misbach Yusa Biran sebagai ledakan pertama dalam perfilman. Itu saat film-film sudah mulai bersuara. Beberapa film malah banyak menyuguhkan adegan beryanyi, bahkan Film Rentjong Atjeh (1940), produksi Java Industrial Company (JIF), sampai-sampai membukukan lagu-lagu yang dinyanyikan dalam film tersebut lewat Departemen Musik JIF sendiri. Hasilnya? “Luar biasa, Rentjong Atjeh yang kurang baik itu bisa jadi Box Office” (Misbach Yusa Biran:1993).
Lika-liku perfilman tak cuma sampai di situ. Ia berganti peran seturut waktu. Di pelbagai peranannya itu, si tua Misbach tetap jadi pengepul ingatan. Hasilnya ia simpan di Sinematek Indonesia (SI), “gudang” arsip seputar perfilman yang ia bangun bersama seniman-seniman lain yakni, Asrul Sani, Sjuman Djaja dan D. Djajakusuma.
Ada sekira 2000-an koleksi dokumenter yang tersimpan, ditambah lebih dari 5000 koleksi skenario dan film Indonesia. Ia menjadi tempat penyimpana koleksi skenario terbesar di Indonesia (Hafiz Rancajale: 2014). Mustahil mengacuhkannya dalam sejarah kebudayaan modern Indonesia, karena penyelamatannya terhadap ingatan kebudayaan modern kita itu.
Namun semiris kisah film Di Balik Tjahaja Gemerlapan yang pernah digarapnya, seperti itulah kisah SI yang sudah renta. Koleksi yang dimiliki tak pernah lagi bertambah sejak Misbach sudah resmi mundur dari SI. Ditambah banyak “orang-orang film” yang tak mau tahu tentang masa lalu dunia yang ia garap sendiri. Dalam esai Pak Misbach: Sang Arsip (2014) yang ditulis oleh Hafiz Rancajale, kondisi SI yang penuh harta karun kebudayaan modern itu justru, didapati banyak arsip penting yang tak terawat dengan baik.
Padahal ingatan-ingatan itu bukan cuma jadi ingatan si pembuat karya saja. Saat sebuah hasil karya sudah dikeluarkan, maka itu milik massa. “Jadi apapun yang terjadi mengarsip itu penting!” begitu kata Muhidin saat mengisi salah satu rangkaian acara Festival Arsip di USD. Para hadirin yang mendengarnya barangkali sampai dibuat gumoh dengan kalimat yang berulang ia ucapkan itu. Maka harusnya perasaan memiliki ingatan ini pun ikut dijaga benar.
Mungkin itulah yang jadi biang keladi dari hadirnya sesi Bongkar Ingatan dalam rangkaian acara Festival Arsip selama belasan hari itu. Dalam sesi ini, terdapat lini massa ingatan seni kontemporer Indonesia yang dipasang di lantai dua ruang pameran gedung PKKH UGM. Mulai dari sejarah awal seni lukis di Indonesia, sampai tanggal-tanggal penting yang berkaitan dengan seni budaya di Indonesia. Ingatan runtut ditulis berdasar tahun dan nama-nama tokoh yang terlibat. Seterusnya ingatan yang tertulis itu akan dicorat-coret. Tanggal-tanggal ditambah, nama-nama pun dihadirkan juga dihilangkan. Dalam sesi ini pihat Ivaa memilih beberapa orang untuk diberi kuasa dalam membongkar lini massa itu.
“Ya seperti rencana besar dalam festival ini. Kuasa ingatan, dimana masing-masing dari kita berkuasa terhadap apa yang ingin kita ingat dan apa saja yang tidak.” Ujar Elia ...panitia bagian edukasi publk Festival Arsip 2017. Menurut pihak IVAA, hasil Bongkar-Pasang Ingatan ini akan..........
Namun sebanyak apapun ingatan yang nantinya terbongkar-pasang, itu tidak akan berguna jika tak ada tafsir dan pengetahuan yang terpegang oleh si pengingat. “Tanpa pengetahuan, kejadian apapun tidak akan jadi ingatan.” Begitu kata Muhidin di akhir ocehannya di USD.[]
0 komentar