I-Y-A-K
16.02
Iyak Belajar Mengaji
Ibu, Bapak,
dan adik-adiknya memanggil bocah itu Iyak. Usia Iyak lima tahun. Ia senang belajar
mengaji. Setiap malam usai sembahyang magrib, Iyak menghadap buku Qiraati. Itu sepuluh jilid buku untuk
belajar huruf hijaiah. Dengan tekun, Ibu mengajari Iyak mengaji. “Alif fatah A,
Alif kasrah I, Alif dhumah U. A-I-U.”
Dengan
lincah, bola mata dan jari mungil Iyak mengikuti aliran huruf yang lucu itu. Ada
yang bentuknya macam pentungan, ada yang bentuknya seperti semprotan kaca, ada
juga yang seperti perahu.
Ibu biasa
membeli buku Qiraati di pasar. Jadi, setiap
mengkhatamkan satu jilid dan naik ke jilid berikutnya, Iyak selalu menanti Ibu
pulang dari pasar membawa buku Qiraati yang
baru. “Ibu, kapan beli Qiraati jilid
baru?” Tanya Iyak penasaran. Warna bukunya yang warna-warni membuat Iyak
semangat belajar mengaji. Baca selengkapnya...
Waktu masuk
SD, Iyak sudah lancar mengaji. Padahal, pelajaran mengaji di sekolah baru sampai
mengenal huruf hijaiah. Ah, Iyak jadi bosan mengaji di kelas. Lebih asyik
mengaji di rumah bersama Ibu.
Selain suka
mengaji, Iyak suka sekali bermusik, apalagi menyanyi. Makanya, Iyak senang
sekali waktu ditunjuk jadi anggota tim rebana sekolah. Iyak memegang terbang,
alat musik mirip ketipung. Berat sekali, bikin tangan pegal. Tapi Iyak tetap
senang. Tidak heran kalau tim rebana Iyak sering menang lomba. “Tola’albadru Alaina…” begitu penyanyi
rebana kalau berdendang. Yang lain menabuh alat sambil berjoged manja.
Dari buku Qiraati, Iyak jadi lancar membaca Quran.
Iyak lalu ditunjuk Ibu Guru buat membaca firman Tuhan di acara Khataman Quran. Waktu
itu kelas enam. Di depan Bapak Ibu Guru dan orang tua murid, Iyak melantunkan
firman Tuhan dengan merdu. Ibu Bapak Iyak bangga sekali.
Iyak memang
fasih membaca Quran. Membaca apa melisankan ya? Soalnya Iyak tidak tahu apa
arti huruf-huruf lucu yang dia baca.
Iyak Rajin Mengaji
Iyak
beranjak remaja. Kini ia kelas dua SMA. Dirinya masih belum tahu arti
huruf-huruf lucu yang dipelajarinya sedari kecil. Namun ia tetap rajin mengaji.
Setiap malam usai sembahyang magrib di musala, Iyak menggelar sajadah,
mengambil mushaf Quran dan mencium sampulnya, lalu mulai melantunkan firman-firman
Tuhan.
Iyak juga
anggota Rohis SMA lho. Walaupun kurang aktif karena sibuk latihan
baris-berbaris (eh, Iyak juga anggota Paskibra), Iyak tetap sering ikut
kajian-kajian keagamaan. Di situ Iyak bertemu orang-orang baru yang lebih
mengerti agama.
Sejak SMP,
pekerjaan favorit Iyak kalau sedang di musala adalah mengumandangkan azan. Kata
orang-orang suara azan Iyak merdu sekali. Selain itu, Iyak juga sering jadi
khatib waktu sembahyang Jumat di sekolah. “Innalhamdalillah nahmaduhu
wanasta’inuhu wanastaghfiruh,” begitu pembuka khotbah Jumat yang sering Iyak
ucapkan.
Suatu hari
di rak buku musala SMA, Iyak menemukan buku tentang tanda-tanda akhir zaman.
Apa ya judulnya? Pokoknya di buku itu ada bab yang mengulas tanda-tanda kiamat.
Iyak terkejut saat membaca salah satu tanda-tandanya, yaitu dihalalkannya
musik. Memangnya dulu musik haram?
Iyak serius
membaca halaman itu. Di situ ditulis, musik adalah cara setan untuk menjauhkan
manusia dari firman Tuhan. Orang yang bermusik akan diganjar dengan neraka di akhirat
nanti.
Padahal, saat itu Iyak sedang gila-gilanya bermain gitar. Dia bingung. Kakak-kakak Rohisnya juga mengatakan bahwa musik itu haram! Makin lama makin banyak yang diharamkan. Menyentuh tangan wanita yang bukan mahram, haram! Mengenakan celana yang panjangnya di bawah mata kaki, haram!
Saat itu,
Tuhan terdengar begitu menakutkan. Iyak takut. Akhirnya Iyak berhenti bermusik,
berhenti bermain gitar. Semua lagu di komputer jinjingnya dihapus. Semua
dilakukan karena rasa takut.
Di lain
sisi, Iyak semakin rajin mengaji. Bahkan ia mulai menghafalkan firman-firman
Tuhan. Di suatu malam di bulan Ramadhan, Iyak mulai ingin menjadi penghafal
firman Tuhan. Suara-suara Tuhan yang dibisikkan ke telinga Muhammad ratusan
tahun silam, kemudian dicetak di ratusan halaman kertas, dipindahkan ke memori
Iyak. Menjelang lulus SMA, Iyak hampir mengafal juz 30 Quran.
Suara-suara
itu sudah tertanam di kepala Iyak. Tapi tetap saja, Iyak tidak tahu apa yang
dikatakan Tuhan. Mengapa Tuhan tidak berfirman dalam semua bahasa saja ya?
Iyak Bosan Mengaji
Iyak
sembahyang menghadap buku-buku. Di kamar indekos 3 x 3 meter, 10 menit berjalan
kaki dari kampus tempat Iyak kini kuliah. Di dinding kamar sebelah barat, ratusan
buku tertumpuk di situ. Ada empat tumpuk, masing-masing tumpukan tingginya satu
setengah meter. Kalau sedang di indekos, Iyak sembahyang menghadap mereka.
Di hadapan
Plato, Ben Anderson, Salman Rushdie, Simon de Beauvoir, dan penulis lainnya,
Iyak mencumbu Tuhan. Di dinding sebelah timur ada meja. Di situ tegak berdiri Pramoedya,
Multatuli, Dostoevsky, Tolstoi, Suskind, dan sastrawan lain. Di belakang Iyak,
mereka berbisik satu sama lain saat ia tengah bersembahyang. Iyak bisa
mendengarnya lewat kehadiran aksara yang telah ia baca dari mereka.
Dari
buku-buku itu ada dua yang istimewa. Dua buku itu ada di hadapan Iyak saat
sembahyang. Yang pertama kumpulan catatan harian seorang pemuda Madura, yang
kedua kumpulan surat seorang gadis Jepara kepada sahabat penanya. Dua-duanya
mati muda. Mungkin Tuhan sudah tidak sabar bertemu mereka.
Iyak membaca
dua buku itu di awal-awal kuliah. Pertama-tama ia membaca catatan harian si
pemuda Madura. Si pemuda Madura terlihat gelisah sekali. “Tuhan, bisakah aku
menerima hukum-hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu?” tulisnya. Iyak
terkejut sekaligus tersenyum kagum. Soalnya, selama ini Iyak diajari untuk
tidak meragu terhadap Tuhan.
“Karena itu
Tuhan, maklumilah lebih dahulu bila aku masih ragu akan kebenaran
hukum-hukum-Mu. Kalau Engkau tak suka hal ini, beri aku pengertian-pengertian sehingga
keraguan itu hilang dan cepat-cepatlah aku dibawa dari tahap keragu-raguan
kepada tahap penerimaan,” si pemuda Madura melanjutkan. Permintaan macam apa
ini?! Menantang Tuhan?
Tapi Iyak
merasa ada yang cerdik dari logika itu. Begini. Manusia punya otak untuk
berpikir. Kalau hukum-hukum Tuhan diterima tanpa meragu, apa pun itu, berarti
Tuhan merendahkan akal manusia. Memaksa manusia menerima tanpa mengetahui
alasan diturunkannya hukum tersebut. Tapi dengan meragu, manusia berpikir. “Apakah hukum ini
tepat atau tidak? Kalau tepat kenapa, kalau tidak kenapa?” Meragu adalah jalan
awal yang lebih bermartabat menuju keyakinan.
Iyak jadi
mulai berpikir terhadap ajaran-ajaran agama yang ia yakini selama ini. Musik
haram, ini haram, itu haram, semua diterima karena surga dan neraka yang
diciptakan lisan manusia.
Iyak mulai meragu.
Ternyata
Iyak dan si pemuda Madura punya keraguan yang sama dengan seorang Gadis Jepara
yang hidup di akhir abad 19 sampai awal abad 20. Kepada sahabat penanya ia
menulis begini. “Tuhan kami adalah hati nurani kami, neraka dan surga kami
adalah hati nurani kami. Kalau kami berbuat salah, kami dihukum oleh hati
nurani kami. Kalau kami berbuat baik, kami diberkati oleh hati nurani kami.”
Betapa
indahnya ber-Tuhan dan beragama dengan cara semacam ini. Tidak perlu ada pemaksaan
ajaran dan hukum-hukum agama. Rasa takut dalam beragama hilang, digantikan
cinta kasih antar sesama.
Iyak mulai
berpikir tentang beraneka rupa ibadah yang ia jalani selama ini. Sudahkah ia
mengetahui apa maknanya, atau ia hanya mengikuti tanpa tahu apa-apa. “Di sini
orang diajari membaca Quran, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya
menganggap hal itu suatu pekerjaan gila; mengajar orang tanpa mengajarkan makna
yang dibacanya,” tulis si gadis Jepara lagi. Gila? Selama ini Iyak gila?! Sejak
kecil bersemangat mempelajari huruf-huruf lucu, melantunkannya dengan merdu,
bahkan berusaha menghafalkannya ke dalam pikiran dan kalbu, tapi Iyak tidak
tahu apa yang ia baca dan hafalkan. Berarti selama ini ia mengalami miskomunikasi
dengan Tuhan dong.
“Ibu,
maafkan aku. Aku tahu dirimu mau aku menjadi manusia yang taat kepada Tuhan.
Tapi aku tidak mau lagi membaca kalau aku tidak tahu maknanya,” bisik Iyak
dalam hati.
Iyak bosan
mengaji. Memilih membaca buku-buku yang tertumpuk di hadapannya saat sembahyang
di indekos. Sebuah suara berbisik lembut, lembut sekali. “Bacalah, jangan hanya
melafalkan.”[]
0 komentar