Mengapa Masih Turun ke Jalan?

04.31


ESAIS DAN DEMONSTRAN telah bekerjasama. Langka memang. Tapi gegara menyoal demonstrasi digital, kelangkaan itu terpaksa ada. Contohlah esai Na’imatur Rofiqoh dan Ririn Setyowati. Walau penuh nyinyiran tapi nyaris solutif.

Penyiaran demonstrasi secara digital yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) wilayah Jawa Tengah-DIY, melalui akun instagram @bemuns, 12 April 2017, sudah seperti ‘ramalan’ ciamik yang terwujud sebagai bentuk praktis dari esai Na’imatur, Aktivisme Mahasiswa di Era E-Demonstrasi (Kentingan, 2016).

Kemudian melalui esai Gawaiku Ramaikan Demonstrasimu (Solopos, 18 April 2017), Ririn Setyowati naik satu tingkat dengan jeli dan nyaris solutif merumuskan sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh para mahasiswa demonstran, “bagaimana membuat Jokowi dan antek-anteknya nge-klik live streaming kamu” (?).

Kini, izikan aku menjawab pertanyaan itu. Syukur bisa menjadi solutif seperti apa yang demonstran tunggu-tunggu. Baca selengkapnya...


Jelang 1998, Sebuah Permulaan

Peran internet dalam aktivisme bermula di Negara Orde Baru. B. J. Habibie, yang saat itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi menjadi menteri pertama yang memiliki “rumah” di dunia maya. Sejak 1986, Habibie memang getol membangun peradaban maya Indonesia secara masif. Peradaban yang kemudian menjadi bumerang ampuh – yang digunakan para aktivis – untuk menjatuhkan atasan Habibie, Presiden Soeharto.

Setidaknya dalam dua tahun terakhir rezim Negara Orde Baru, internet menjadi medium yang efektif untuk menghindari sensor negara. “Pada hari-hari terakhir, beberapa mahasiswa yang menduduki gedung parlemen, memakai laptop untuk mengirimkan berita secara online, sementara tentara dengan ketat menjaga di sekeliling mereka” (Hill & Sen, 2001: 227).

Aku membayangkan betapa bodohnya tentara waktu itu. Mereka melakukan penjagaan ketat secara nyata, sementara para mahasiswa ber-laptop–yang sungguh terhitung revolusioner waktu itu – melakukan aktivismenya secara maya. Tentara tidak paham kalau internet adalah alam anarki yang secara otomatis menolak segala bentuk hierarki, termasuk kehadiran militer dan negara.

Yang sering tidak disadari, peran internet dalam Reformasi 1998 nyatanya tidak kecil. “Satu dari pengganggu terbesar bagi tentara dan Deppen [Departemen Penerangan] adalah sukses besar sebuah list diskusi email ‘Indonesia-1’, lebih populer disebut apakabar, yang dimoderatori oleh John macDougall di Maryland, AS” (ibid.:234). Pada 1995, sekitar 13.000 penduduk dunia maya bisa dengan mudah menyebarkan bahan dan sumber berita berharga, tanpa repot-repot mengurus Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Bertahun-tahun setelah Reformasi, demonstrasi jalanan nyaris tidak berbuah hasil (tentunya demonstrasi umat Islam sebelum Pilkada DKI 2017 harus dikecualikan). Dunia maya juga hanya dijadikan medium hiburan bagi generasi milenial.

Kombinasi aktivisme dan digitalisasi lantas coba didobrak. Contohlah fenomena partisipasi kekinian melalui jejaring Change.org yang membuka cabangnya di Indonesia pada 2012. Bentuk petisi ini mirip dengan lembaran tuntutan yang kerap dibagikan para aktivis mahasiswa ketika demo di jalan. Sayangnya, tuntutan yang disebarkan para mahasiswa demonstran hanya akan berakhir menjadi sampah (paling mujur akan sampai di tangan para wartawan yang penulisan beritanya tidak bisa dikendalikan para aktivis).

Sementara petisi daring jelas lebih ampuh. “Hanya” dengan menjamah tetikus atau gawai pribadi, lalu meng-klik petisi daring termaksud, tuntutan-tuntutan di petisi maya berpotensi besar menimbulkan kegaduhan di jagad nyata. Hingga 2013, sudah delapan petisi yang tuntutan-tuntutannya berhasil dimenangkan (ibid.: 2014). Dunia aktivisme kembali ter-redefinisi maknanya.

Namun, petisi daring semacam ini masih membutuhkan media massa arus utama sebagai “peniup” isu. Inisiatif demokrasi sudah dimiliki secara personal, tapi untuk mencapai tujuan masih harus dilakukan secara massal.

Peluang menuju era baru aktivisme terbuka lebar dengan kehadiran medium yang memadukan penyiaran dan interaktivitas sekaligus. Insta-story memungkinkan penduduk maya memiliki semacam stasiun televisi pribadi. Tanpa perlu modal banyak, setiap penduduk maya bisa memproduksi dan melakukan pembingkaian (framing) sesuka mereka. Aktivisme kemudian berpotensi menjadi lebih mudah dan efektif dilakukan. Demokrasi sudah benar-benar bersifat personal.

Demontrasi yang biasa dimaknai sebagai aksi protes yang bersifat massal, kini bisa diinisiasi secara personal dan digerakkan secara personal pula. Karena itu, langkah BEM SI patut diacungi jempol.

Bayangkan saja! Demonstrasi – yang dieufimiskan dengan nama Aksi Belasungkawa –bisa dengan mudah muncul di layar gawai masing-masing pengguna Instagram. Meski dari 14,1k pengikut akun @bemuns hanya 0,03k yang menonton siaran langsung demo, para demonstran tidak harus bergantung pada pemberitaan media arus utama yang kerap merugikan mereka.

Si pemegang gawai yang bertugas sebagai kamerawan saat demo sungguh cerdik. Ia bisa membingkai siaran demo menjadi seolah-olah padat peserta, padahal peserta demo hanya berkisar 30-40an orang. Dengan mengarahkan kamera pada peserta yang benar-benar niatingsun berdemo, peserta yang hanya melu payu tidak akan terlihat publik.

Maka untuk menjawab pertanyaan Ririn Setyowati, para mahasiswa demonstran harus merubah lokasi demonstrasi. Bundaran gladag sudah kurang dramatis. Demonstrasi selanjutnya yang akan disiarkan langsung lewat Instagram harus dilakukan di lokasi yang bisa mendukung pembingkaian kamera.

Lakukan saja demonstrasi di studio siaran. Dengan kecanggihan teknologi green screen, efek tiga dimensi, musik latar dramatis (jadi tidak melulu Mars Demonstrasi Mahasiswa yang menjemukan itu), demonstrasi sungguh akan lebih enak ditonton. Jumlah 0,03k penonton di demo sebelumnya pasti akan meningkat drastis. Pedagang-pedangang maya akan lebih banyak berkumpul. Dan Jokowi yang sering dengan wagu membikin video blog itu, akan tergoda untuk menonton demonstrasi.


Sudahlah, tidak perlu berterima kasih padaku atas solusi tadi. Cukup renungkan pertanyaanku ini baik-baik, wahai mahasiswa demonstran. Kalau kalian rindu kemenangan, mengapa masih turun ke jalan?[]

(Mimbar Mahasiswa, Solopos, 25 April 2017)

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook