Esai

Orientalisme Jurnalisme: Dilema Wartawan dalam Meliput Masyarakat Adat

03.21

Anak-anak Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan menikmati pendidikan dasar di kawasan konsesi Hutan Harapan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), Desa Bungku, Bajubang, Batanghari, Jambi, Selasa (11/4). Puluhan anak-anak SAD yang tinggal di dalam kawasan dan sekitar hutan konsesi tersebut mendapatkan fasilitas pendidikan dasar gratis dari pihak pengelola Hutan Harapan dengan sistem jemput bola atau mendatangi langsung tempat-tempat bermain mereka. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww/17.


JURNALISME telah melahirkan beragam genre. Jurnalisme investigasi, jurnalisme presisi, jurnalisme sastrawi, dan sebagainya. Namun nyaris semua jurnalisme yang dipakai, adalah jurnalisme yang eksis di tengah-tengah masyarakat perkotaan dengan budaya yang seragam. Tak terlalu nampak kesenjangan atau dominasi budaya satu dengan yang lain.

Dilema muncul ketika para jurnalis turun ke wilayah-wilayah pedalaman. Bertemu masyarakat yang tinggal di sana, lalu melaporkan dan menyajikannya dalam sebuah laporan jurnalistik. Padahal nyaris semua jurnalis dididik dalam lingkungan kampus berkurikulum modern. Mereka juga hidup dalam sebuah struktur masyarakat perkotaan yang tak banyak menemui isu-isu minoritas. 

Kalaupun ada, isu yang ditemui terbatas pada masyarakat minoritas yang masih tinggal di perkotaan (khususnya minoritas agama atau ekonomi-politik). Bagaimana meliput mereka yang ada di pedalaman? Mereka yang struktur masyarakat, agama, dan pola pikirnya berbeda dengan jurnalis kebanyakan. (Baca selengkapnya...)


Like us on Facebook