Orientalisme Jurnalisme: Dilema Wartawan dalam Meliput Masyarakat Adat
03.21
Anak-anak
Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan menikmati pendidikan dasar di kawasan
konsesi Hutan Harapan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), Desa Bungku,
Bajubang, Batanghari, Jambi, Selasa (11/4). Puluhan anak-anak SAD yang
tinggal di dalam kawasan dan sekitar hutan konsesi tersebut mendapatkan
fasilitas pendidikan dasar gratis dari pihak pengelola Hutan Harapan dengan
sistem jemput bola atau mendatangi langsung tempat-tempat bermain mereka.
ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww/17.
|
JURNALISME telah melahirkan beragam genre. Jurnalisme
investigasi, jurnalisme presisi, jurnalisme sastrawi, dan sebagainya. Namun
nyaris semua jurnalisme yang dipakai, adalah jurnalisme yang eksis di
tengah-tengah masyarakat perkotaan dengan budaya yang seragam. Tak terlalu
nampak kesenjangan atau dominasi budaya satu dengan yang lain.
Dilema
muncul ketika para jurnalis turun ke wilayah-wilayah pedalaman. Bertemu
masyarakat yang tinggal di sana, lalu melaporkan dan menyajikannya dalam sebuah
laporan jurnalistik. Padahal nyaris semua jurnalis dididik dalam lingkungan
kampus berkurikulum modern. Mereka juga hidup dalam sebuah struktur masyarakat
perkotaan yang tak banyak menemui isu-isu minoritas.
Kalaupun
ada, isu yang ditemui terbatas pada masyarakat minoritas yang masih tinggal di
perkotaan (khususnya minoritas agama atau ekonomi-politik). Bagaimana meliput
mereka yang ada di pedalaman? Mereka yang struktur masyarakat, agama, dan pola
pikirnya berbeda dengan jurnalis kebanyakan. (Baca selengkapnya...)
SARA, Warisan Kolonialisme Plus Orde Baru
SARA, Warisan Kolonialisme Plus Orde Baru
Politik
Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) telah dijalankan sejak era
pemerintahan kolonial Belanda. Kala itu, penduduk Hindia Belanda dibagi menjadi
tiga golongan; Eropa, timur asing, dan pribumi. Golongan Eropa adalah orang
Belanda, bangsa Eropa lain, dan Jepang yang tinggal di Hindia. Golongan timur
asing adalah orang-orang keturunan Tionghoa dan juga keturuan Arab, sementara
pribumi adalah mereka yang dianggap penduduk Hindia asli.
Tentu
saja kita mesti ingat bahwa penduduk Hindia bukan hanya Jawa. Tapi karena pusat
pemerintahan yang terletak di pulau Jawa, membuat suku Jawa lebih “populer”
dibanding kelompok pribumi lainnya.
Di dalam
struktur masyarakat konstruksi pemerintah Hindia Belanda semacam ini,
orang-orang Eropa memandang apa-apa yang berbau pribumi sebagai tradisi yang
terbelakang. Mereka memakai standar Eropa dengan teknologi yang maju untuk
memandang Jawa yang baru memiliki kereta kuda.
Eropa
adalah modernitas, Jawa dan beberapa budaya etnis lainnya adalah
tradisionalitas. Di luar beberapa daerah yang tak tersentuh modernitas, bahkan
tradisional, adalah primitif-primitif yang sungguh dianggap begitu lain bahkan
mengerikan.
Anggapan
yang sangat orientalistik merendahkan ini, setidaknya di Jawa sebagai satu
representasi, bisa ditemukan salah satunya dalam novel Student
Hidjo karya jurnalis radikal Mas Marco Kartodikromo. Dalam novel
tersebut, diceritakan salah satu orang Belanda di Hindia, sergeant Djepris
yang mengatakan, “Orang Jawa itu kotor. Orang Jawa bodoh, orang Jawa malas,
orang Jawa tidak beschafd” (Kartodikromo, 2015: 118).
Ironisnya,
kondisi ini diperparah pemberitaan surat kabar yang tak berimbang. “Surat kabar
pun dapat meracuni kita, seperti tulisannya W dan V. H. Sehingga banyak orang
yang mempercayainya,” tulis Kartodikromo. “…surat-surat kabar di Nederland
tersebut sering berurusan dengan bumiputera dan kebaikan-kebaikan pemerintah.
Tetapi pendapat orang-orang bumiputera dan kejelekan-kejelekan pemerintah
jarang kita temui.”
Persepsi
ini bisa dikatakan masih dalam lingkaran budaya kota, belum perihal masyarakat
pedalaman yang sungguh secara sepihak ditelikung ke dalam keindonesiaan dengan
segala konsekuensinya yang sering bersifat fatal.
Namun,
politik SARA ini terus berlanjut hingga era Orde Baru. Bukannya memecahkan dan
mencairkan masalah, pemerintahan Soeharto justru melarang hal-hal yang berbau
SARA untuk diperbincangkan dan diekspos ke ranah publik dalam bentuk
pemberitaan. Orde Baru sangat menginginkan bahkan terobsesi pada stabilitas
sosial-politik.
Agama
dianggap sebagai pengacau. Barangkali, mungkin kita harus mengakui bahwa bahkan
para wartawan masih belum mengakui “iman” yang dianut suatu masyarakat adat di
Indonesia sebagai “agama” setaraf dengan Islam, Katolik, atau Konghucu, dan
seterusnya. Bukannya berstatus “kepercayaan” yang rendah.
Selain
itu, ada semacam “penjajahan budaya” yang dilakukan terhadap masyarakat
minoritas di pedalaman—selain penguasaan tanah, jika mau diakui secara jujur.
Mereka tak pernah menyatakan sebagai warga negara Indonesia, namun karena
wilayah yang telah ditempati beratus tahun merupakan area-geografi bekas
jajahan Hindia Belanda, mereka turut terseret keharusan bahwa tanahnya
adalah milik Indonesia (biasanya hutan), menjadi warga negara
Indonesia, (sebisa mungkin) memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan diwajibkan
memiliki “agama” yang diakui pemerintah—agama Konghucu bukanlah satu-satunya
yang wajib diakui!
Padahal
setiap kelompok memiliki apa yang disebut Harold. R. Isaacs sebagai “Rumah
Muumbi”. Nama ini diambil dari rumah suku Kikuyu di Kenya, di mana rumah Muumbi
merupakan “rahim ibu tempat semua orang Kikuyu dikandung dan dilahirkan, dan
rumah tempat semua orang dibesarkan” (Isaacs, 1993: 2).
Orang-orang
Kikuyu dalam sebuah upacara, menyatakan loyalitasnya terhadap rumah ini. Hal
sama terjadi di semua kelompok masyarakat adat. Mereka akan terus mencari
“rumah Muumbi” mereka, di mana mereka merasa lebih nyaman dan akrab dibanding
tempat lain—termasuk rumah Indonesia.
Saat
tanah mereka sudah jadi Indonesia, perlahan mereka mulai terserang secara
budaya. Inferioritas (inferiorisasi!) budaya sangat terasa di masyarakat yang
tinggal di pedalaman. Akibatnya, rentan timbul gesekan antar kelompok
masyarakat yang mendiami suatu wilayah, terutama jika tanah itu memiliki suatu keuntungan
ekonomis, seperti pohon atau tambang.
Imbas
kekerasan sangat terasa pada kelompok-kelompok yang tak memiliki kekuasaan
budaya. Papua adalah contoh yang paling cukup akrab dengan kita, berkat
kehadiran Freeport. Tentu saja di wilayah Indonesia ini bukan hanya suku-adat
di Papua, tapi juga masih banyak lagi yang sayangnya tak kita kenal.
Sebetulnya,
mereka dianggap terbelakang bukan karena benar-benar terbelakang. Tapi karena
sibuk bertahan dari modernitas perkotaan. Seumpama mereka diberi hak hidup yang
sama, jalan cerita akan lain jadinya.
Jurnalis Orientalis
Efek dari
pelarangan SARA ini sampai pada orang-orang yang melakukan kerja jurnalisme.
Hal ini, khususnya, saat mereka dihadapkan pada peliputan kondisi masyarakat
yang nyaman dengan “rumah Muumbi” mereka tanpa harus tersentuh modernisasi yang
bagai api.
Namun di
sisi lain, para jurnalis mau tak mau akan muncul di hadapan mereka,
pertama-tama sebagai kaum urban, baru kemudian sebagai individu. Mirip
posisi sergeant Djepris dalam memandang masyarakat Jawa.
Inilah pertama-tama yang memunculkan, meminjam istilah Gramsci, hegemoni
budaya, dan membuat para jurnalis bertindak sebagai orientalis, mungkin tanpa
disadari.
Orientalisme,
menurut Edward W. Said (1994), diartikan sebagai tiga hal. Pertama, objek studi
dari orang-orang yang mempelajari dunia Timur. Kedua, sebagai gaya berpikir
yang berdasarkan pada pembedaan ontologisme dan epistemologis yang dibuat
antara Timur dan (hampir selalu) Barat. Serta yang terakhir, sebagai gaya Barat
untuk mendominasi, menata kembali, dan menguasai Timur.
Dalam
beberapa hal, semua ini bisa saja dilakukan seorang wartawan. Jurnalis
orientalis—kalau saya boleh menyebutnya begitu—adalah mereka yang berhadapan
dengan masyarakat minoritas adat (Timur) padahal para jurnalis sendiri adalah
masyarakat urban (Barat). Istilah Timur dan Barat pada orientalisme,
disubstitusikan oleh istilah urban dan pedalaman pada orientalisme jurnalisme.
Atau, bisa jadi, orientalisme ini adalah antara budaya Timur yang kuat dengan
budaya Timur yang lemah.
Orientalisme
sendiri turut membawa kepentingan dari mereka yang dianggap kuasa-mayoritas.
Reaksi yang timbul akibat pertemuan budaya dengan alasan-alasan kepentingan
politik dan ekonomi. Kasus kewarganegaraan ataupun kasus penguasaan tanah oleh
negara adalah kasus yang klasik dan selalu pemenangnya adalah negara
modern.
Yang
terbaru adalah politik perubahan iklim dan pariwisata yang menjadi dua
kepentingan yang biasanya sangat diprioritaskan saat ini. Masyarakat pedalaman
selalu ingin dipertahankan karena dianggap menjadi penjaga hutan. Pamrihnya:
melindungi masyarakat perkotaan dari bahaya perubahan iklim.
“Kawasan
ini penting untuk mengatasi perubahan iklim…” itu kata Perdana Menteri
Norwegia, Erna Solberg ketika mengunjungi kawasan Orang Rimba di Sumatera,
dalam berita berjudul Mereka Tempat Solberg Belajar yang
dimuat di harian Kompas, 30 April 2015. Hal ini menegaskan
kepentingan mayoritas atas minoritas. Masyarakat adat Orang Rimba dipertahankan
karena dianggap penjaga sumber oksigen bagi kelompok mayoritas lain yang malas berjalan
kaki dan lebih senang membuang-buang bensin.
Selain kepentingan
penjagaan lingkungan, pariwisata menjadi kepentingan berikutnya. Sebagai contoh
rencana pembangunan Geopark Rinjani di Nusa Tenggara Barat
yang ramai diberitakan. Salah satu syarat geopark diakui oleh
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organitation (UNESCO),
adalah adanya aktivitas masyarakat adat di sekitarnya.
Ada juga Tari Bebancian
yang ditampilkan setiap wisatawan datang ke desa Air Batu, Renah Pembarap, Kabupaten
Merangin, Provinsi Jambi. (Besayak Tari Bebancian Penjaga Hukum Adat, independen.id,16 Juli 2017)
Tak perlu ditanya siapa
yang meneguk untuk dari pariwisata-pariwisata berbasis masyarakat adat. Apakah
masyarakat adat setuju, meski bakal menimbulkan pergesekan adat akibat
pariwisata? Tak pernah diberitakan.
Padahal
mempertahankan masyarakat adat bukan hal yang mudah. Masyarakat minoritas adat
biasanya menghadapi dua persoalan: agama dan tanah. Dalam persoalan pertama,
dalam tulisan-tulisan para jurnalis akan muncul istilah-istilah yang disebabkan
warisan politik SARA Orde Baru.
Istilah
seperti tradisi, ritual, kepercayaan, atau adat digunakan untuk menggantikan
satu kata: Agama! Istilah semacam ini merupakan sifat orientalisme jurnalistik.
Seperti ketika para ilmuan Barat menamai budaya Timur sebagai tradisi atau
bersifat tradisional. Kaca mata yang mereka gunakan adalah kaca mata industri
dan modernitas barat.
Misalnya
pada berita Ritual Penguburan Menunggu Rezeki yang dimuat di
harian Kompas pada 29 April 2012. Dalam keterangan foto,
disebutkan “Masyarakat Sumba masih memegang adat istiadat Marapu, yakni
menyimpan jenazah di dalam rumah sebelum dimakamkan dengan kubur batu….”
Istilah ‘adat istiadat’ merupakan penggantian penulis untuk istilah ‘agama’,
yang sudah dibuat sejak zaman pemikir hukum adat Belanda. Padahal segala
sesuatu yang berhubungan dengan penguburan, pastilah karena ajaran agama, bukan
sekadar adat. Mengapa tak ditulis saja “masyarakat Sumba masih memegang agama Marapu…”
Hal serupa
bisa dijumpai dalam berita Dua Arca Penjaga Puncak Kahyangan di
harian yang sama, 21 Januari 2012. Di situ tertulis bahwa adanya arca di gunung
Semeru adalah bukti bahwa “…tempat tersebut merupakan pemujaan yang difungsikan
untuk ritual menghalau bencana dari puncak Gunung Semeru yang aktif.” Pengguaan
kata ‘ritual’ di sini menggantikan kata ‘ibadah’ yang sering digunakan untuk
menjelaskan aktivitas keagamaan.
Dalam
persoalan kedua, sengketa tanah, masyarakat adat dipastikan tidak dapat berbuat
apa-apa terhadap tanah “muumbi” mereka. Dalam kasus konflik hutan di Mesuji,
Lampung misalnya. Sejumlah 7.800 warga di Register 45 di Blok Sungai Buaya
menjadi korban penipuan lahan.
“Diming-imingi
tanah murah oleh LSM Pekat pada 2009, Siti, misalnya, menjual seluruh harta dan
tanah 600 meter persegi di daerah asalnya di Lampung Selatan untuk ditukarkan
dengan 2 hektar tanah di kawasan Sungai Buaya” (Kompas, 18 April
2012). Namun, ternyata tanah yang dijual pada mereka adalah lahan yang
berstatus sengketa.
Semua ini
tentu saja adalah kisah-kisah mutakhir, belum menyentuh akar sejarah kuasa yang
sudah lama berjejak di sana.
Syekh
Ali Jaber (kiri) menuntun membaca dua kalimat syahadat kepada salah seorang
warga Suku Anak Dalam (kanan) yang bermukim di Desa Berumbung Bandung III
atau kawasan sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Jambi, di Balai
Adat Tanah Pilih Kota Jambi, Senin (30/1). Sebanyak 181 orang dari 50 kepala
keluarga (KK) warga SAD TNBD atau Orang Rimba Jambi menyatakan memeluk Islam
yang diawali dengan pengucapan dua kalimat syahadat secara bergantian dengan
didampingi sejumlah ulama setempat. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/ama/17.
|
Dilema Jurnalisme
Meliput
persoalan yang dihadapi masyarakat adat, jurnalis sebenarnya memiliki dua opsi.
Pertama, menggunakan model jurnalisme advokasi. Masyarakat adat akan diliput,
lalu berharap pemerintah akan memberi mereka perlindungan. Tapi dilema tetap
ada. Karena tulisan yang harus dapat dipahami oleh masyarakat banyak,
istilah-istilah warisan SARA seperti yang telah disebutkan tadi, akan muncul.
Namun, kuasa kata masyarakat adat itu sendiri dibisukan, tanpa suara dari
pemikiran mereka sendiri, sebagai identitas eksistensial keakuan mereka.
Opsi
kedua dengan menggunakan model hukum Hak Asasi Manusia. Mengingat kebebasan
beragama dan mempertahankan miliknya adalah hak asasi, model sudut pandang
peliputan seperti ini bisa dipakai. Lagi-lagi, dilema tetap ada. HAM hanya
mengatur hak dari setiap individu, bukan hak kolektif, setidaknya begitulah
yang terjadi di Indonesia, meski kita masih banyak mempunyai masyarakat
adat.
Dilemanya,
bila agama dan ibadah masyarakat adat melanggar HAM, para jurnalis justru
menyerang apa yang ingin mereka lindungi. Misalnya tradisi potong jari ketika
ada salah satu anggota keluarga yang meninggal, di Papua.
Walaupun,
misalnya, sudah ada suku-suku di Papua seperti suku Asmat yang bisa berbaur
dengan masyarakat sekitar. (Hormati Umat Muslim, Warga Asmat Gelar BukaPuasa Bersama, independen.id, 10 Juni 2017).
Maka,
cara paling benar – mengingat kebenaran adalah elemen pertama jurnalisme – bagi
seorang jurnalis, adalah menuliskan sesuai dengan bahasa dan istilah yang
masyarakat adat anut. Berdialog langsung dengan mereka secara intensif, dan
melepaskan modernitas yang dipakai.
Jurnalis
harus tidak menjadi siapa-siapa ketika melakukan peliputan. Biarkan dan gunakan
kuasa suara-kata mereka yang diliput, termasuk wajib menggunakan idiom-idiom
keagamaan mereka sendiri, bukan bahasa kaum urban di kota-kota. Ini barangkali
semacam jurnalisme multikultural. Lalu, agar para pembaca di perkotaan dengan
tradisi modernitas bisa memahami, mereka (pembaca itu) harus melakukan satu
hal: menerima SARA sebagai sesuatu yang wajar.[]
0 komentar