Kata Max Lane, Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia
07.32
Sialan. Suaramu itu membuat seratusan orang
terhenyak. Mereka, yang baru saja membeli bukumu seharga 59 ribu, dipaksa
menahan napas.
Kau melanjutkan celoteh. “Sastra Indonesia,
pemikiran Indonesia sejak Kartini sampai ’65 tidak diajarkan di sekolah-sekolah
menengah. Apakah memang saat ini pun Indonesia masih tidak hadir di Bumi
Manusia?”
Hari itu, 12 Agustus 2017, para hadirin di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta - termasuk aku - akan dipaksa
bertanya-tanya. “Siapa yang berdosa?”; “apakah yang tidak berdosa otomatis
suci?”; “mengapa Indonesia tidak hadir di Bumi Manusia?”; “bagaimana cara menghadirkannya?”
Orang yang sudah membaca buku kumpulan esaimu
akan tahu jawababannya.
Mereka bakal tahu kalau Adam Malik pernah
berkata bahwa Tetralogi Pulau Buru sebaiknya jadi bacaan wajib buat semua pelajar
sekolahan. Saat itu Adam Malik menjabat Wakil Presiden. Sayang, perkataannya
tak pernah jadi ujud. (Baca selengkapnya)
Sebagai penerjemah pertama empat karya besar
Pramoedya, kau pasti kecewa. Sebab berkat kau, Pramoedya dikenal dunia. Berkat
kau, pedagang buku di Blok M bisa bertinggi hati memajang This Earth of Mankind, Child
of All Nations, Footsteps, dan House
of Glass terbitan Penguin, dengan harga yang tak kalah tinggi: 750 ribu.
Bah!
Kau memang harus-wajib kecewa.
Tapi yang bakal lebih kecewa bahkan berdosa
adalah mereka yang tidak membacanya. Termasuk atasan Adam Malik dan para
jenderalnya yang dulu membakar buku-buku itu. Juga memaksakan sejarah versi
buku sekolah yang bikin goblok siswi-siswa.
Kau tahu betul apa yang bakal terjadi kalau
remaja-remaja Indonesia membaca buku Pramoedya. Seperti kata kritikus sastra The New Yorker, Jamie James, yang kau
kutip;
“Ketika saya akhirnya membacanya, saya jadi
menyesal kenapa saya belum membacanya waktu umur saya lima belas tahun. Dengan
fanatisme masa remaja waktu itu, saya pasti akan mengadopsi idealisme Minke
yang penuh gairah menjadi idealisme saya sendiri.”
Ah, aku jadi terbawa sesal. Aku baru membaca Bumi
Manusia di penghujung semester empat
kuliah. Suatu siang di Solo, tanganku meraba dengan awas deretan buku sastra di
perpustakaan kampusku. Eureka! Aku akhirnya menemukan Bumi Manusia terbitan Lentera Dipantara bersampul
hijau.
Namun waktu itu aku tidak mengucap syukur.
Aku justru memaki dalam hati. Pertama kali membaca Bumi Manusia, aku harus berhadapan dengan edisi
bajakan. Masa, perpustakaanku tidak punya edisi aslinya. Menggenggam
kertas-kertas buram yang ringkih, sungguh mengurangi dampak emosional perasaan-pikiranku.
Meski aku mampu membaca Bumi Manusia dengan debar yang sulit dijelaskan, tetap
saja gatal rasanya ingin mengencingi kantor kepala perpustakaan kampusku.
Kau lebih beruntung. Selain menerjemahkan
karya Pramoedya, kau juga jadi teman bicaranya. Mungkin ini sebabnya kau
mengatakan kalau keahlianmu berasal dari pengalaman. Kau tidak mau disebut
ahli. Akademisi. Indonesianis. “Bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi ahli
tentang sebuah negeri sebesar dan sekompleks Indonesia?” tulismu sinis.
Kau menulis dari realitas. Dari pertemananmu
dengan Pramoedya, dari pertemananmu dengan Joesoef Isak Si Editor Hasta Mitra,
dari pengalamanmu menerjemahkan Tetralogi Pulau Buru. Terdengar pragmatik. Namun
kau seolah berkata jumawa, “Aku menulis sebagai seorang intelektual yang
senyata-nyatanya.”
Orang yang sudah membaca bukumu mesti juga
tahu. Tahu bahwa ada dua rahasia di Tetralogi Pulau Buru.
Rahasia pertama ada dalam sosok Minke. Minke
pertama adalah Minke yang muda, cengeng, playboy,
dengan rasa kasmaran yang impulsif dan menggebu-gebu pada Annelies. Minke
yang masih rabun pengetahuan soal bangsanya.
Minke kedua adalah sosok yang menulis, “Orang
memanggilku Minke.” Ini Minke yang gelisah. Yang sudah punya kesadaran untuk
melawan, menulis, berorganisasi. Minke yang sudah menjelma menjadi T.A.S. yang
berkumis khas itu. Kedua Minke itu, lalu disatukan Pramoedya dengan cara ajaib.
Rahasia yang kedua jadi judul bukumu.
Memancing penasaranku dan hadirin lainnya untuk datang mendengar ceramahmu.
Hampir semua pembaca karya Pramoedya tahu kalau Tetralogi Pulau Buru berkisah ihwal proses awal munculnya
kesadaraan kebangsaan Indonesia. Tapi yang tidak banyak mereka tahu – dan
sialnya kau ketahui – tidak ada kata “Indonesia” dalam 2000 halaman Tetralogi
Pulau Buru.
Indonesia tidak hadir di Bumi Manusia.
Sejarawan pada umumnya akan mudah berkata,
bahwa memang di awal abad 20 istilah “Indonesia” belum ada. Tapi kau
menguraikannya dengan lebih jeli. Kau tahu bahwa Pramoedya tidak menghadirkan
Indonesia di Bumi Manusia dengan penuh kesadaran dan kesengajaan.
Tidak hadirnya Indonesia di Bumi Manusia,
sekaligus menolak semua sejarah versi bangku sekolah. Di buku pelajaran
sejarah, Indonesia dikhultuskan sebagai titisan suci Sriwijaya dan Majapahit. Padahal,
Indonesia tercipta dari penolakan terhadap masa lampau yang feodalistik cum kolonialistik cum kapitalistik.
Dengan tegas kau menuliskan. “Jika diajukan
pertanyaan: apa plot dasar Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa khususnya! Inilah
jawabannya: lahirnya suatu kepribadian baru.”
Lewat sudut pandang Minke, katamu, Pramoedya
sukses mengisahkan ketidaktahuan orang-orang zaman itu. Ketidaktahuan bahwa
Hindia Belanda akan lenyap. Tapi di saat bersamaan, Pramoedya sukses
menggambarkan keyakinan T.A.S. Keyakinan bahwa sebuah Indonesia akan tercipta
menggantikan Hindia Belanda.
Dan sebab inilah kau menulis dengan
menggelitik. “Konkretnya, batik dan dangdut dan sinetron lebih sering dirasakan sebagai esensi kebudayaan Indonesia
daripada apa pun yang benar-benar datang dari proses penciptaan Indonesia:
misalnya khasanah tulisan berbahasa Indonesia, dari Kartini sampai Pramoedya,
baik fiksi maupun esei dan pidato, termasuk yang kiri maupun kanan.”
Kau benar-benar percaya pada omongan
Pramoedya soal sastra. Kata penulis yang digilai banyak cewek itu, sastra harus
bisa menjadi penggerak perjuangan sosial dan politik. Kemudian menjadi panduan
untuk sebuah “penuntasan revolusi.”
Mungkin ini sebabnya kau mengritik pemikiran Benedict
Anderson, Indonesianis kawakan yang merumuskan bangsa sebagai sebuah komunitas terbayang.
Bagimu, interaksi dan perjuangan secara materiallah yang menciptakan Indonesia.
Bukan pembayangan atas manusia-manusia yang tidak pernah sama sekali ditemui.
Konsep “kapitalisme cetak”-nya Om Ben kau tolak. “Medan Prijaji tidak dibaca
sambil minum kopi!” katamu.
Atau ini tendensimu saja sebagai penulis
sekaligus aktivis. Pramoedya pernah menghardikmu kan? “Kamu orang Kiri
gadungan,” katanya. Dia berkata demikian karena kau hanya berpikir dan menulis.
Karena hardikan itulah kau sempat bergabung ke salah satu partai di Australia. Lalu
nyaleg meski akhirnya gagal.
Aku merasa demikian. Ada semacam kenaifan
dari caramu membaca karya-karya Pramoedya. Ya, seperti katamu Indonesia adalah Unfinished Nation. Tapi kau juga harus
ingat, negara yang belum selesai ini akan terus berjalan. Entah dengan revolusi
yang kau idam-idamkan itu, atau sama sekali tanpanya.
“Dosa besar!” Katamu lantang.
Hari itu, kau sukses membikin hadirin
terhenyak. Namun kurasa, di sisi lain kau sendiri yang terlalu lama terhenyak
ketika membaca karya Pramoedya. Sehingga abai terhadap kondizi zaman.
Kau membaca Pramoedya dengan lugu. “Pengakuan
masyarakat luas atas Pramoedya sebagai penulis Indonesia yang terbesar baru akan
muncul sebagai bagian dari peluncuran kembali revolusi nasional dan sosial.…”
Sementara aku memilih membaca Pramoedya
seperti aku mendengarkan Muse. “They will
not force us/They will stop degrading us/They will not control us/And we will
be victorius.” Lagu yang menghentak, lirik yang tajam itu, memang enak
didengarkan. Tapi bagiku belum ampuh dipraktikan secara masif.
Aku menikmati bukumu. Sungguh.
Tapi, daripada mendengar kau berteriak revolusi, aku lebih suka menyumpal earphone ke telinga dan kembali
mendengarkan Muse. “Love is our
resistance….”[]
0 komentar