Paiman Hadi Supadmo membuka buku catatannya selama di Pulau Buru (Foto: Panji Satrio) |
Oleh: Satya Adhi & Vera Safitri
DI
RUMAH Paiman,
orang-orang berdatangan hampir tiap hari. Rumah yang sederhana itu jadi terasa
mewah. Bikin tak terasa kalau lantainya cuma cor semen dan dindingnya belum
dicat. Karena ternit belum terpasang, deretan genteng juga langsung terlihat
dari dalam rumah.
“Kalau ada tamu naik bus ke tempatmu itu pada ngapain?” Tanya seorang tetangga.
“Kalau ada tamu ke sana saja,” jawab Paiman.
“Isin.”
“Lha, kenapa isin? Ke rumahnya orang yang enggak ke sekolah, kok, isin.”
Maklum kalau para tetangga heran. Paiman bukan pejabat desa atau
tokoh agama lokal. Ia hanya petani 78 tahun yang duitnya tak seberapa. Sekolah
sampai tinggi juga tidak pernah. Satu-satunya hal yang membikin orang
mendatangi Paiman adalah masa lalunya. Masa lalu yang masih dia ingat dengan
baik, meski banyak yang coba melenyapkan ingatan itu jauh-jauh.
Orang-orang yang datang ke rumah Paiman biasa mengisi buku tamu.
Buku itu tergeletak di atas meja di ruang tamu. Tergeletak bersama ceret berisi
teh dan beberapa gelas kaca. Isinya nama-nama orang. Mirip buku presensi
yang dibacakan guru-guru SD pada mula jam sekolah.
Sampai sekarang sudah tiga jilid buku yang terpakai. Nama-nama
di dalamnya beragam. Tokoh-tokoh masyarakat, ada. Tentara, ada. Polisi, ada.
Wakil rakyat yang kini meringkuk di sel rasuah pun, ada. Semuanya terdata rapi
di situ.
Saban hari, buku tamu Paiman terus terisi. Kadang tamunya datang
sendiri, ada juga yang naik bus bersama rombongan. Tokoh-tokoh setempat datang
bertukar cerita. Aparat polisi datang mengintai keadaan. Sementara para
politisi jadi lebih sering sowan kalau
masa-masa kampanye telah tiba. (Baca selengkapnya...)