Rekaman

Petani dari Kampus Buru

19.00


Paiman Hadi Supadmo membuka buku catatannya selama di Pulau Buru (Foto: Panji Satrio)
Oleh: Satya Adhi & Vera Safitri

DI RUMAH Paiman, orang-orang berdatangan hampir tiap hari. Rumah yang sederhana itu jadi terasa mewah. Bikin tak terasa kalau lantainya cuma cor semen dan dindingnya belum dicat. Karena ternit belum terpasang, deretan genteng juga langsung terlihat dari dalam rumah.

“Kalau ada tamu naik bus ke tempatmu itu pada ngapain?” Tanya seorang tetangga.
“Kalau ada tamu ke sana saja,” jawab Paiman.
Isin.”
Lha, kenapa isin? Ke rumahnya orang yang enggak ke sekolah, kok, isin.”
Maklum kalau para tetangga heran. Paiman bukan pejabat desa atau tokoh agama lokal. Ia hanya petani 78 tahun yang duitnya tak seberapa. Sekolah sampai tinggi juga tidak pernah. Satu-satunya hal yang membikin orang mendatangi Paiman adalah masa lalunya. Masa lalu yang masih dia ingat dengan baik, meski banyak yang coba melenyapkan ingatan itu jauh-jauh.
Orang-orang yang datang ke rumah Paiman biasa mengisi buku tamu. Buku itu tergeletak di atas meja di ruang tamu. Tergeletak bersama ceret berisi teh dan beberapa gelas kaca. Isinya nama-nama orang. Mirip buku presensi yang dibacakan guru-guru SD pada mula jam sekolah.
Sampai sekarang sudah tiga jilid buku yang terpakai. Nama-nama di dalamnya beragam. Tokoh-tokoh masyarakat, ada. Tentara, ada. Polisi, ada. Wakil rakyat yang kini meringkuk di sel rasuah pun, ada. Semuanya terdata rapi di situ.
Saban hari, buku tamu Paiman terus terisi. Kadang tamunya datang sendiri, ada juga yang naik bus bersama rombongan. Tokoh-tokoh setempat datang bertukar cerita. Aparat polisi datang mengintai keadaan. Sementara para politisi jadi lebih sering sowan kalau masa-masa kampanye telah tiba. (Baca selengkapnya...)

Ulasan (Buku)

"Emilie Jawa 1904" (Catherine van Moppes): Perempuan Prancis di Simpang Kolonialisme

18.44




Judul Buku     : Emilie Jawa 1904
Penulis            : Catherine van Moppes
Penerjemah   : Jean Couteau
Penerbit         : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Juli 2017
Tebal              : 494 halaman

MANUSIA-MANUSIA pribumi pada masa kolonial adalah macan tutul. Dulunya mereka bebas, liar, dan yang terpenting, punya otoritas atas tanah mereka sendiri. Setelah Kolonialisme dengan sengaja mewabah dunia, para macan tutul itu ditangkap, dikurung, dikerangkeng. Hanya bisa meraung-raung kosong dari balik kandang.

Logika negara kolonialis terdengar indah. “Kolonialisme haruslah menjadi kebanggaan kaum humanis. Kaum pribumi harus didorong untuk berevolusi ke arah yang berkesuaian dengan takdirnya, sejalan dengan pikiran bangsa dan lingkungannya” (hal. 120).

Semua negara kolonialis percaya hal ini. Bahwa dengan menduduki sebuah wilayah, lalu membentuknya sesuai peradaban Eropa, maka wilayah tersebut akan bisa menyesuikan kemajuan zaman.

Emilie pada mulanya adalah gadis Prancis yang percaya akan daya magis Kolonialisme. Lahir di salah satu negara kolonialis terbesar di dunia di penghujung abad 19, Emilie yakin betul kalau Kolonialisme adalah paham final yang bisa membikin dunia jadi lebih baik.

Keyakinan pikirnya lantas goyah. Di awal abad 20, ia dan suaminya ditugaskan ke tanah jajahan paling populer kala itu: Hindia Belanda. Pertemuan pertama Emilie dengan manusia pribumi, dengan para “macan tutul”, jadi adegan yang puitis. Saat itu Emilie sedang di dalam kapal yang menuju Batavia. (Baca selengkapnya...)

Ulasan (Buku)

"The Gambler" (Fyodor Dostoevsky): Dostoevsky sebagai Filsuf-Pejudi

01.10




Judul               : The Gambler
Penulis            : Fyodor Dostoevsky
Penerjemah   : Ika Destina
Penerbit         : Papyrus Publishing
Tahun Terbit : 2017
Tebal              : iv + 326 hal.

FYODOR Mikaelovich Dostoevsky adalah mayat hidup yang dikasihi Tuhan. Ia adalah lakon yang dimainkan kembali, tubuh hina yang meruapkan aroma arak, langkah kaki tegap pembangkang kaisar, aksara rupa penuh keresahan, juga putaran rolet di padang judi.

Ia sok kaya. Kemudian banyak hutang. Ia mencinta. Kemudian dirundung amarah. Ia mencinta lagi. Kemudian mencinta lebih lagi. Dostoevsky adalah percampuran elegan antara kata-kata Tuhan dan firman Manusia.

Pada 1848, novel pertama Dostoevsky, Poor Folk [kembali diterbitkan OAK dengan judul Orang-orang Malang (2004, 2015, 2017)] berhasil cair ke khalayak. Karya ini sukses memukau pembaca lewat surat menyurat pilu antara Varvara Debroselova dan Makar Devushkin, dua tetangga miskin yang payah dalam berasmara. Dostoevsky mulai dipuja.

Seperti karya sastra lain yang berkisah soal kemalangan, Poor Folk nyatanya meminta tumbal. Ini adalah novel yang jadi saksi lini masa kemalangan Dostoevsky. Ayahnya dibunuh para pekerja kebunnya sendiri, lantas Dostoevsky hidup berfoya-foya sebagai tentara, main judi, banyak hutang, hingga kemudian bernasib serupa Raskolnikov, tokoh progresif-utopis yang ia ciptakan di Crime and Punishment [diterbitkan YOI dengan judul Kejahatan dan Hukuman (2001, 2016)].

Dostoevsky kemudian bangkit dari kematian. Setelah novel pertamanya sukses, ia dijatuhi hukuman mati akibat dianggap membelot Tsar. Bersama 14 rekannya yang lain, Dostoevsky terlanjur pasrah dengan suratan ketika pelor senapan algojo akan menembus tubuhnya. Dostoevsky dapat giliran dieksekusi di kloter kedua, sementara kloter pertama sudah mangkat seluruhnya. Maut nyaris tipis menjemput ketika utusan Tsar akhirnya datang membawa pengumuman keparat: hukuman mati dibatalkan. (Baca selengkapnya...)

Like us on Facebook