Petani dari Kampus Buru
19.00Paiman Hadi Supadmo membuka buku catatannya selama di Pulau Buru (Foto: Panji Satrio) |
Oleh: Satya Adhi & Vera Safitri
DI
RUMAH Paiman,
orang-orang berdatangan hampir tiap hari. Rumah yang sederhana itu jadi terasa
mewah. Bikin tak terasa kalau lantainya cuma cor semen dan dindingnya belum
dicat. Karena ternit belum terpasang, deretan genteng juga langsung terlihat
dari dalam rumah.
“Kalau ada tamu naik bus ke tempatmu itu pada ngapain?” Tanya seorang tetangga.
“Kalau ada tamu ke sana saja,” jawab Paiman.
“Isin.”
“Lha, kenapa isin? Ke rumahnya orang yang enggak ke sekolah, kok, isin.”
Maklum kalau para tetangga heran. Paiman bukan pejabat desa atau
tokoh agama lokal. Ia hanya petani 78 tahun yang duitnya tak seberapa. Sekolah
sampai tinggi juga tidak pernah. Satu-satunya hal yang membikin orang
mendatangi Paiman adalah masa lalunya. Masa lalu yang masih dia ingat dengan
baik, meski banyak yang coba melenyapkan ingatan itu jauh-jauh.
Orang-orang yang datang ke rumah Paiman biasa mengisi buku tamu.
Buku itu tergeletak di atas meja di ruang tamu. Tergeletak bersama ceret berisi
teh dan beberapa gelas kaca. Isinya nama-nama orang. Mirip buku presensi
yang dibacakan guru-guru SD pada mula jam sekolah.
Sampai sekarang sudah tiga jilid buku yang terpakai. Nama-nama
di dalamnya beragam. Tokoh-tokoh masyarakat, ada. Tentara, ada. Polisi, ada.
Wakil rakyat yang kini meringkuk di sel rasuah pun, ada. Semuanya terdata rapi
di situ.
Saban hari, buku tamu Paiman terus terisi. Kadang tamunya datang
sendiri, ada juga yang naik bus bersama rombongan. Tokoh-tokoh setempat datang
bertukar cerita. Aparat polisi datang mengintai keadaan. Sementara para
politisi jadi lebih sering sowan kalau
masa-masa kampanye telah tiba. (Baca selengkapnya...)
Misalnya tahun 2014 kemarin. Waktu musim coblosan akan tiba, suatu hari Paiman pulang dari
sebuah perjalanan. Ia baru saja turun dari mobil Partai Amanat Nasional (PAN)
ketika menyadari rumahnya dipenuhi tamu-tamu bermobil. Seingat Paiman, ia
melihat mobil partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), dan partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) berjejer tak
rapi di sekitar halaman rumah.
“Loh, Ndang, ini, kok, banyak mobil di sini semua?” Tanya Paiman
kepada Endang, cucunya.
“Sedang menunggu Mbah.”
Paiman jadi sasaran orang partai, sebab ia penggerak para
pertani. Sejak 2005, ia mendirikan Sekolah Tani di Karangpandan. Saat
berbincang dengan anggota partai Gerindra, Paiman ingat bahwa ia ditawari masuk
partai pimpinan Prabowo Subianto itu. “Kalau masalah partai saya enggak mau.
Karena apa? Partai saya sudah bubar. Bubar dihapus. Sudah bubar, ya, sudah,”
tegasnya.
Yang ditolak tak menyerah begitu saja. “Tapi sekarang, kan, Mbah
Paiman masih eksis untuk berpolitik,” kata si petugas partai.
“Loh, kalau berpolitik saya sekarang sudah berpolitik.”
“Nah, partai dengan politik, kan, sama, Mbah?”
“O, lain. Partai dengan politik itu lain, jangan disamakan.”
“Logikanya bagaimana, Mbah?”
Paiman kesal. Orang partai, kok, masih harus
dijelaskan soal beginian. “Begini. Bedanya ya, tidak ada partai sejarah, tapi
politik sejarah ada. Tidak ada partai ekonomi, tapi politik ekonomi ada. Tidak
ada partai tani, politik tani saya di dalamnya. Kalau panjenengan mau berpolitik dengan saya, ya
mestinya berpolitik tani. Kalau saya disuruh masuk di partainya saya tetap
enggak mau. Tapi kalau di politiknya, ayo kita
berpolitik yang baik tentang pertanian. Bukan partai.”
Orang-orang partai kemudian hengkang, menyerah.
Paiman Hadi Supadmo sudah sering bersua politisi. Ia seorang
lelaki tua yang tumbuh karena penderitaan. Tubuhnya memang kecil, namun masih
kuat membawanya ke sawah mengolah tanah. Di usianya yang hampir sepuluh windu,
bibirnya tetap fasih mengisap batang rokok. Nyatanya ia bukan tipe orang tua
yang sakit-sakitan. Hanya penglihatannya saja yang sudah kabur. Mata kirinya
mati karena terbentur timbangan pakan ternak. Mata kanannya buram akibat
pentungan tentara.
Dulu orang-orang menuduh Paiman tidak ber-Tuhan. Kini rasa
syukurnya pada Sang Pencipta jadi tak terkira. Harusnya ia sudah mati ditembak
tentara, dipendam di lubang yang digali orang-orang desa. Mengakhiri mesin
sejarah yang memompa denyut nadinya dengan kejam. “Tapi Tuhan, kan, punya maksud
lain. Mungkin saya diperkenankan cerita, bertemu dengan orang-orang banyak.”
Meski begitu, ia toh masih bisa mengantuk di gereja. Suatu Minggu, Paiman
beribadah ke rumah Tuhan. Ketika kidung-kidung suci dinyanyikan, eh, dia malah memilih permisi ke alam mimpi.
Hidup Paiman memang seperti mimpi. Ia, lelaki tua dari Dukuh
Dani, Desa Pereng, Kecamatan Mojogedang, Karanganyar, menyimpan ingatan tentang
salah satu masa paling kelam di republik ini. Masa ketika hanya ada dua
pilihan: dibunuh atau terbunuh.
AKU anak
seorang petani. Kaum yang dibangga-banggakan Sukarno sebagai
inspirasi ideologinya. Karena Bapakku petani, aku juga harus jadi
petani. Bapak sendiri yang bilang. Bapak lalu melarangku sekolah. Anak petani
harus macul. Kalau aku sekolah, Bapak
takut aku jadi ambtenaar, jadi pegawai negeri. Bapak
benci ambtenaar. Mereka itu orang-orang malas
yang tidak mau macul. Aku, anak petani, harus
rajin macul.
Padahal, waktu itu aku sudah
masuk Sekolah Rakyat (SR). Karena takut pada Bapak, aku terpaksa keluar dari SR
tahun 1955. Aku sah jadi petani. Tapi aku masih ingin sekolah. Melihat
teman-teman lain bisa sekolah di SR membikinku iri tak karuan.
Tiap hari aku macul. Melihat gundukan tanah yang warnanya saja tidak menggairahkan, aku jadi punya pikiran gila. Teman-temanku bisa belajar di SR, sementara aku hanya bisa macul. Pikirku, macul juga harus bisa jadi kegiatan belajar. Gila, kan?
Mulai
saat itu alam adalah sekolahku. Kampusku. Apa yang ada di hadapanku adalah
guruku. Kini aku jadi murid tanah-tanah legam yang tak menggairahkan. Aku, anak
seorang petani, juga bisa belajar meski tak masuk SR. Macul jadi
caraku mempelajari kehidupan.
Macul saja
tidak cukup. Aku harus bertemu orang-orang, bukan benda mati seperti tanah.
Maka masuklah aku ke Pemuda Rakyat, organisasi massa sayap partai yang sedang
berkuasa. Tidak puas dengan Pemuda Rakyat, aku bergabung ke Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra), organisasi kesenian yang mashsyurnya bukan main. Aku tidak juga
puas. Sebagai petani, aku juga harus bisa menggerakkan petani. Ikutlah aku di
Barisan Tani Indonesia (BTI).
Aku bilang ke Bapak kalau aku
akan tetap macul. Bapak mengizinkan. Walau ikut
banyak organisasi, aku tetaplah petani. Siangnya macul, malamnya berkumpul bersama teman-teman organisasiku. Di sana aku belajar baca tulis. Petani tak boleh buta huruf. Bisa dikibuli tengkulak, nanti.
Bersama
Pemuda Rakyat, aku dan warga desa pernah menyelesaikan suatu proyek penting.
Begini. Waktu itu sawah di daerah Kedungdowo kekeringan. Aku dan sekitar 200
warga desa lalu berencana membangun bendungan. Setiap hari kami bekerja.
Panji-panji Pemuda Rakyat jadi saksi pembuatan bendungan itu. Sampai pada
akhirnya sawah-sawah yang kering bisa teraliri.
Aku dan Pemuda Rakyat masih
mesra sampai bulan Oktober 1965 tiba. Tanggal 30 September Pemuda Rakyat masih
menyelenggarakan seminar. Aku yang waktu itu berumur 26 tahun ikut di dalamnya.
Aku tidak tahu kalau Jakarta sedang geger.
Selepas itu, baru aku tahu kalau beberapa Jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Orang-orang partaiku dituduh berada di balik pembunuhan itu. Kami juga dituduh ingin merebut kekuasaan negara. Aku dan anggota Pemuda Rakyat lain kena getahnya.
Aku
bahkan dituduh membuat lubang buaya di daerah Kedungdowo, tepat di kawasan
bendungan yang dulu kami bangun. Tuduhan tak terbukti. Akhirnya, kepala desa
diperintahkan oleh tim bentukan tentara untuk membuat lubang di sana.
Lima orang yang dituduh sebagai antek-antek partai digiring ke lubang itu.
Mereka dituduh hendak menggulingkan rezim.
Saat
salah satu dari kelima orang bernasib malang itu tertembak. Banyak warga desa
yang berteriak, “Itu Paiman…Paiman. Mati sudah dia sekarang.” Ibuku yang turut
menyaksikan peristiwa itu sampai terberak-berak. Kalut.
Peristiwa
ini tentu kuketahui dari orangtuaku berbelas tahun kemudian. Karena seminggu
sebelum hari itu, aku sudah dibawa dan meringkuk di Nusakambangan.
LISTIYO Budi Santoso
selesai latihan bersama rekan-rekannya, Minggu, 17 September 2017 silam.
Sutradara Teater Sopo, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas
Maret (UNS) itu masuk ke ruang tamu Paiman. Ia tidak mengisi buku tamu. Tyo sudah kenal dengan petani kolot itu.
Sambil merokok, ia mengutarakan kegalauannya terhadap peringatan
Hari Tani yang akan digelar Sabtu, 30 September 2017. Ia dan rekan-rekannya
takut acara itu disusupi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. “Jangan
sampai acara ini ditunggangi kepentingan-kepentingan tertentu,” kata Tyo.
Paiman beranjak dari kursinya. Memungut rokok di meja samping
Tyo. Setelah disuguhi korek, kepul-kepul asap keluar dari mulut dan hidungnya.
“Kalau saya tidak ada masalah sebenarnya. Mau tanggal berapa saja tidak ada
masalah,” Paiman menanggapi.
Hari Tani Nasional sebenarnya jatuh pada 24 September. Ia
diperingati untuk mengingat Sukarno yang menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sejak itu, 24 September
selalu diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Geger 30 September 1965
mengakibatkan semua aktivitas pergerakan yang berkaitan dengan buruh dan petani
dilarang. Hari Tani Nasional jadi hari terlarang di era Orde Baru.
Peringatan Hari Tani Nasional di dusun Dani digagas Paiman sejak
2013 lalu. Selama ini belum ada masalah. Mulanya, tahun ini dusun Dani akan
menggelar hajatan pada Sabtu, 23 September 2017. Karena menjelang tanggal 24
panitia belum siap, acara lalu diundur menjadi tanggal 30 September.
“Itu, kan, tanggalnya sensitif, Mbah,” kata salah seorang pantia
yang duduk bersama Paiman dan Tyo.
“Ya, itu tadi. Kalau saya sebenarnya tidak masalah mau tanggal
berapa. Malah kalau diadakan tanggal 30, bisa dijadikan percobaan, ada masalah
apa tidak. Kalau tidak ada masalah, kan, enak. Karena sebenarnya memang ini hanya
peringatan Hari Tani, tidak ada agenda lain,” jelas Paiman.
Ketiganya berpisah. Tyo pamit pulang bersama rekan-rekan Teater
Sopo. Pembicaraan soal peringatan Hari Tani akan dilanjutkan di hari terpisah.
Usai Tyo pulang, Paiman beranjak dari kursinya. Ia mencari
sebuah buku paling penting dalam perjalanan hidupnya. Sekira 10 menit ia
mencari di rak bukunya yang tertata tidak begitu rapi. Berbekal senter, mata dan
tangan tuanya meraba-raba debu di rak. Tapi buku yang ia cari tak juga ketemu.
Selang tak begitu lama, Paiman berseru senang. “Nah, ini dia!”
Buku itu ternyata ada di bawah meja samping ruang tamu.
Sampulnya sarung kotak-kotak yang lusuhnya minta ampun. Paiman duduk kembali di
kursi. Ia buka buku kesayangannya dengan hati-hati. Sejenak, kenangan masa lalu
Paiman terbuka kembali.
PERISTIWA itu terjadi Jumat
Pahing, 1 Oktober 1965, pukul dua pagi. Sriyono, mantan petugas Pertahanan
Sipil (Hansip) Pereng, masih bisa berkisah dengan segar. “Saya masih umur
belasan tahun, tapi saya masih ingat kejadiannya, karena pada saat itu saya
bertugas sebagai Hansip Dusun Bedoyo, Desa Pereng, Kecamatan Mojogedang,
Karanganyar,” ujarnya.
Seturut yang dikisahkan Sriyono, pada malam sebelum peristiwa
penembakan di lubang galian dekat Kedungdowo itu, Lurah Pereng mengedarkan
surat kepada para warga agar menghadiri apa yang disebut “Penembakan anggota
PKI.” “Seluruh warga desa yang sudah cukup dewasa disuruh menyaksikan
penembakan itu, dengan tujuan supaya warga tak coba-coba ikut organisasi kiri
yang dianggap haram waktu itu,” Sriyono mengenang.
“Di situ! Di tanah yang ada karung putihnya itu,” kata Sriyono
sambil menunjuk sebuah lahan yang ada di seberang tempat dia berdiri.
Jarak rumah Sriyono dengan Kedungdowo hanya sekira satu kilometer. Ia masih
sering ke sana untuk mengaliri sawahnya yang juga berada di sekitar Kedungdowo.
Lahan yang ditunjuk Sriyono adalah sepetak sawah milik Sumarno (70)
warga Dusun Bedoyo. Itu terletak sekira tiga meter dari kali kecil terusan Kedungdowo, yang
dulunya sempat dibangun ulang oleh Paiman dan ratusan orang lainnya. Sumarno
yang saat itu sedang mencari rumput untuk ternaknya pun ikut nimbrung.
“Di sini kejadiannya. Waktu itu saya masih kecil, jadi saya baru
lihat pas paginya, ketika lubangnya sudah ditimbuni tanah lagi.” Sumarno
menjelaskan itu dengan nada santai. Kaki kanannya mengetuk-ngetuk tanah,
menunjukkan lokasi yang dianggapnya paling persis.
Kata Sriyono, lubang liang lahat kelima orang tak dikenal
itu berukuran dua kali enam meter dengan kedalaman tiga meter. Kelima orang
yang dieksekusi diikat tangannya di belakang. Mata mereka ditutup.
Kelimanya adalah seorang guru, dua kepala desa, dan dua pencuri. Ia tidak begitu ingat dari mana asal mereka. Ada yang
dari Colomadu, Wonogiri, dan entah dari mana lagi.
Selepas meninggalkan Kedungdowo, dengan yakin Sriyono berujar
bahwa semua orang di Pereng yang sekarang berumur 70 tahun lebih, pasti masih
sangat ingat kejadian tersebut. “Siapa, tha, yang bisa
melupakan kejadian seperti itu?”
TUHAN memang
lucu. Aku meringkuk di Nusakambangan saat usiaku 26 tahun. Tak hanya itu.
Partaiku dibubarkan. Pemuda Rakyat, Lekra, BTI, otomatis juga bubar. Soeharto –
ia katanya juga anak petani – merebut kuasa dari Sukarno. Aneh. Orang-orang menuduh
kami makar. Tapi dalam kurun beberapa bulan saja, malah Soeharto yang berkuasa.
Beginilah jadinya. Anak petani yang satu berkuasa, anak petani yang lain
meringkuk di penjara.
Aku harus meninggalkan Bapak,
Ibu, dan istriku yang kusayangi. Tapi aku tetap harus punya tekad kuat. Kalau apa yang ada di hadapanku harus bisa menjadi guru, maka penjara harus bisa menjadi guruku.
Penjara adalah guru dan kampusku.
Saat ditahan di Nusakambangan,
Ibu Bapak sempat mengirimiku sarung. Lusuh memang. Karena kalau sarungnya
bagus, aku yakin sudah diembat tentara. Sarung itu kujadikan sampul buku tulis.
Buku tulis yang jadi alatku belajar selama di penjara. Aku berharap, dengan
menjadikan sarung pemberian mereka sebagai buku tulis, aku bisa kembali lagi
bersama Ibu Bapak. Pulang ke rumah.
Harapan ini jadi penting
untukku. Di sini, orang-orang seperti antre menuju liang lahat. Pernah suatu
malam aku sedang berbaring bersama temanku. Ia mengajakku ngobrol, dan
kudengarkan ocehannya.
Aneh.
Ia tiba-tiba berhenti berbicara. Terdengar bunyi “Kkrrookk….” Matanya
terlelap. “Bagaimana sih kamu? Katanya mengajak ngobrol, tapi malah ditinggal
tidur.”
Ia
masih terlelap. Kupegang perutnya, tapi tidak ada gerakan. Kusumbat lubang
hidungnya dengan jempol dan telunjukku, ia juga tidak bergerak sama sekali.
Barulah aku sadar kalau ia sudah menemui maut, tepat di sampingku. Tubuhnya
memang hanya menyisakan tulang dan kulit. Batok dengkulnya bahkan sudah
menonjol seperti mau pecah. “Ah, sudahlah, kuurus besok saja,” batinku. Jadilah
malam itu aku tidur bersama temanku yang sudah mati.
Aku
“lulus” seleksi Nusakambangan tahun 1970. Kemudian aku dipindahkan ke Pulau
Buru. Pulau yang katanya pulau harapan. Pulau itu ada nun jauh di sana, di
Kepulauan Maluku. Orang-orang bilang, di sana bisa lebih bebas. Tidak sempit
seperti penjara di sini.
Tapi itu hanya harapan kosong. Nyatanya sama saja. Kalau di Nusakambangan
pagarnya jeruji besi, di sini pagarnya bedil berpelor. Kalau ketahuan berkirim
surat dengan keluarga, atau berkumpul apalagi membicarakan urusan politik
dengan kawan-kawan, peluru bisa nyasar ke kepala.
Suatu
ketika, ada tahanan yang ketahuan membaca koran. Para penjaga menuduh ia sedang
dikirimi surat rahasia dari anggota partai di luar sana. Akibatnya parah.
Semalaman penuh ia dipukuli tentara. Akhirnya ia mangkat jadi mayat penyubur
pulau harapan.
Pertama
kali di Buru, aku ditempatkan di unit XV. Di sana banyak orang-orang cerdas.
Ada insinyur pertanian, dokter, juga seniman dan sastrawan. Di sinilah aku
bertemu Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan yang karyanya kelak akan jadi
pergunjingan dunia.
Pram ditempatkan
di ruangan khusus. Maklum, ia orang berbahaya, ha-ha-ha. Kalau ingin bertemu
dengannya, aku harus izin ke penjaga terlebih dahulu. Aku biasa memberinya
lintingan tembakau yang kuiris kasar. Kebetulan Irisan tembakauku cocok dengan
seleranya.
“Mengerjakan
apa, Pak?” tanyaku suatu hari kepada Pram.
Ia
tidak menjawab pertanyaanku. “Banyak ‘nyamuk’, Man,” katanya.
Pram
memang jadi sasaran ‘nyamuk-nyamuk’ dari surat kabar. Sebagai mantan ‘nyamuk’
yang kini jadi sastrawan dan meringkuk di pengasingan, ia jadi sasaran
pemberitaan yang penting. Nantinya, aku baru tahu kalau yang ia kerjakan selama
ini adalah sebuah karya yang membuatnya diganjar penghargaan tinggi dalam dunia
sastra.
Aku
juga ingin belajar di kampus ini, kampus Buru. Orang-orang cerdas kudekati,
kuajak ngobrol. Kalau Pram, ia biasanya keluar jika ada acara tertentu. Idul
Fitri dan Natal misalnya. Saat itulah ia mengoceh di hadapan tahanan-tahanan
yang lain.
Aku
mulai belajar saat malam tiba, saat tentara penjaga sudah lelap. Ketika
belajar, aku biasa menyalakan senthir. Dari dalam peti kotak yang
kubuat sendiri, aku mengambil Alkitab dan buku bersampul sarung kesayanganku.
Alkitab
yang kusalin berbahasa Inggris. Aku ingin bisa berbicara dengan
wartawan-wartawan asing dan orang-orang dari lembaga Hak Asasi Manusia (HAM)
internasional. Maka mulailah aku menyalin firman-firman Tuhan. Setelah kusalin,
aku mencari arti kata-kata yang tidak kuketahui.
Aku
masih tetap macul. Padi, tebu, tembakau, dan macam-macam tanaman
memang ditanam sendiri olehku dan teman-teman.
Pernah
suatu ketika kami harus berusaha keras membuat saluran irigasi. Aliran sungai
yang paling dekat dengan sawah kami terhalang bukit besar. Kami berembug. Akhirnya
diputuskan untuk menjebol bukit tersebut agar saluran irigasi bisa lancar.
Pekerjaan edan itu! Setiap hari selama dua tahun, kami bekerja keras menjebol
bukit itu. Alatnya cuma linggis dan pacul.
Jadi,
kalau sekarang pulau Buru jadi pulau yang makmur berkat hasil tani, tahu
sendiri kan, siapa yang berperan di baliknya.
BULAN mengintip genit. Sekira 300
warga desa Pereng bergerumul di Lapangan dusun Dani. Akhirnya, peringatan Hari
Tani Nasional bisa digelar di dusun itu. Paiman mengenakan batik putih gading
motif mega mendung. Dia duduk tepat di sebelah kiri pelataran pentas, area yang
gelap tanpa terkena sorotan lampu.
Sambil memegang gulungan naskah Mutiara
Desa yang bakal ditampilkan malam itu, ia membakar sebatang
rokok, mengisapnya dalam-dalam. Mutiara Desa ditulis
sendiri oleh Paiman. Selain Mutiara Desa, Paiman sempat menulis beberapa naskah
teater.
Mata kanan petani kolot itu berkedip-kedip. Sedang mata kirinya
yang sudah tak berfungsi cuma bisa berkedut sedikit.
Dia tampak serius menyaksikan para penari Gambyong di depannya
yang tidak kompak sama sekali. Tiga penari depan mengibaskan selendang, tapi
dua penari paling ujung malah sibuk berputar sambil memasang ekspresi bingung.
Acara malam itu dihadiri para perangkat desa: Lurah Pereng,
Daryono; Camat Mojogedang, Sutrisno; sampai Kepala Dinas Pertanian Karanganyar,
Supramnaryo.
Ketiganya memberi sambutan bergantian. Mulai dari mengoceh
tentang pemuda dan Karang Taruna, masalah pertanian organik dan keberhasilan
Karanganyar yang tak impor beras, hingga persoalan kesejahteraan petani.
Malam itu, Minggu, 30 September 2017, imbauan terakhir yang
keluar dari mulut camat terdengar jelas di kuping Paiman. Anjuran yang membuat
orang-orang menaruh dendam kesumat pada Paiman dan eks tapol yang lain.
Camat menganjurkan supaya warganya ikut menonton film Penumpasan Pengkhiatan G30S/PKI dengan dalih
menjaga keutuhan bangsa dari ancaman paham komunisme.
Paiman tetap pada ekspresi yang terpasang di wajahnya yang kisut
sejak awal acara: diam.
Sejam kemudian hadirin bertambah jadi 400 orang. Saat
lakon Mutiara Desa yang Paiman tulis dipentaskan, pria
kisut itu berdiri. Berjalan memutari beberapa hadirin sambil memutar-mutar
gulungan naskah di tangannya. Ia terlihat gelisah. Usai berjalan
memutar, akhirnya ia kembali duduk. Pindah sekira 30 meter dari tempat duduknya
semula.
Sepulangnya dari Pulau Buru tahun 1979, Paiman masih harus
melapor rutin ke Komando Rayon Militer (Koramil) setempat. Kartu Tanda Penduduk
(KTP)-nya berlabel “ET” alias “Eks Tahanan.” Tak hanya itu, istrinya terpaksa
kawin lagi dengan tentara. Kalau tidak begitu, habis sudah ia dibunuh.
Nama Paiman tak pernah luntur sepenuhnya dari daftar hitam
intel. Ia dan eks tahanan politik (tapol) lainnya terus dipantau, diamati,
dicurigai sebagai orang-orang yang ingin mendirikan partai komunis lagi di republik.
Dan bukannya dipulihkan nama baiknya, ia malah dimanfaatkan pihak-pihak
tertentu untuk kepentingan politik partisan.
“Saya hanya ingin tahu apa salah saya. Kalau saya salah, ya, segera diadili. Kalau tidak, ya, dipulihkan nama baiknya,” tegas Paiman.
Harapannya sempat muncul ketika Abdurrahman Wahib alias Gus Dur
naik jadi presiden. Paiman sempat menonton wawancara Gus Dur di televisi. Dari
situlah ia mengetahui wacana pencabutan Ketetapan (Tap) MPRS Nomor 25 Tahun
1966 tentang Pembubaran PKI.
“Musuh saya itu Soeharto, kok, bukan PKI [Partai Komunis
Indonesia],” kata Gus Dur santai.
Tanpa sadar, Paiman menyeletuk, mengajak omong televisi.
“Wah, tenan, tha, Gus? Sesuk tak kancani, ya.” Wah, benar, ya, Gus? Besok aku temani, ya.
Sayang, Gus Dur keburu dilengserkan sebelum rekonsiliasi
terhadap ratusan ribu korban pembantaian 1965-1966 dilangsungkan. Jalan terang
sempat terlihat ketika Simposium 1965 digelar
April 2016 lalu. Namun simposium tak pernah berlanjut rekomendasi yang jelas.
Hingga kini, sekadar meminta maaf pun, pemerintah enggan.
Akhirnya, dosa masa lalu akan tetap dipendam republik ini, entah sampai
kapan. Paiman akan tetap jadi petani yang hidup dengan masa lalu itu. Masa lalu
yang membuat jumlah nama di buku tamunya terus bertambah.[]
(Laporan ini pertama kali terbit di saluransebelas.com, 2 Oktober 2017. Paiman Hadi Supadmo meninggal pada 20 Februari 2020 di rumahnya. Terakhir kali saya menemuinya adalah sehari setelah peringatan Hari Tani di Dusun Dani, 23 September 2018. Warisan pengetahuannya berpengaruh untuk sektor pertanian di Dani dan sekitarnya.)
0 komentar