Petani dari Kampus Buru

19.00


Paiman Hadi Supadmo membuka buku catatannya selama di Pulau Buru (Foto: Panji Satrio)
Oleh: Satya Adhi & Vera Safitri

DI RUMAH Paiman, orang-orang berdatangan hampir tiap hari. Rumah yang sederhana itu jadi terasa mewah. Bikin tak terasa kalau lantainya cuma cor semen dan dindingnya belum dicat. Karena ternit belum terpasang, deretan genteng juga langsung terlihat dari dalam rumah.

“Kalau ada tamu naik bus ke tempatmu itu pada ngapain?” Tanya seorang tetangga.
“Kalau ada tamu ke sana saja,” jawab Paiman.
Isin.”
Lha, kenapa isin? Ke rumahnya orang yang enggak ke sekolah, kok, isin.”
Maklum kalau para tetangga heran. Paiman bukan pejabat desa atau tokoh agama lokal. Ia hanya petani 78 tahun yang duitnya tak seberapa. Sekolah sampai tinggi juga tidak pernah. Satu-satunya hal yang membikin orang mendatangi Paiman adalah masa lalunya. Masa lalu yang masih dia ingat dengan baik, meski banyak yang coba melenyapkan ingatan itu jauh-jauh.
Orang-orang yang datang ke rumah Paiman biasa mengisi buku tamu. Buku itu tergeletak di atas meja di ruang tamu. Tergeletak bersama ceret berisi teh dan beberapa gelas kaca. Isinya nama-nama orang. Mirip buku presensi yang dibacakan guru-guru SD pada mula jam sekolah.
Sampai sekarang sudah tiga jilid buku yang terpakai. Nama-nama di dalamnya beragam. Tokoh-tokoh masyarakat, ada. Tentara, ada. Polisi, ada. Wakil rakyat yang kini meringkuk di sel rasuah pun, ada. Semuanya terdata rapi di situ.
Saban hari, buku tamu Paiman terus terisi. Kadang tamunya datang sendiri, ada juga yang naik bus bersama rombongan. Tokoh-tokoh setempat datang bertukar cerita. Aparat polisi datang mengintai keadaan. Sementara para politisi jadi lebih sering sowan kalau masa-masa kampanye telah tiba. (Baca selengkapnya...)
Misalnya tahun 2014 kemarin. Waktu musim coblosan akan tiba, suatu hari Paiman pulang dari sebuah perjalanan. Ia baru saja turun dari mobil Partai Amanat Nasional (PAN) ketika menyadari rumahnya dipenuhi tamu-tamu bermobil. Seingat Paiman, ia melihat mobil partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) berjejer tak rapi di sekitar halaman rumah.
“Loh, Ndang, ini, kok, banyak mobil di sini semua?” Tanya Paiman kepada Endang, cucunya.
“Sedang menunggu Mbah.”
Paiman jadi sasaran orang partai, sebab ia penggerak para pertani. Sejak 2005, ia mendirikan Sekolah Tani di Karangpandan. Saat berbincang dengan anggota partai Gerindra, Paiman ingat bahwa ia ditawari masuk partai pimpinan Prabowo Subianto itu. “Kalau masalah partai saya enggak mau. Karena apa? Partai saya sudah bubar. Bubar dihapus. Sudah bubar, ya, sudah,” tegasnya.
Yang ditolak tak menyerah begitu saja. “Tapi sekarang, kan, Mbah Paiman masih eksis untuk berpolitik,” kata si petugas partai.
“Loh, kalau berpolitik saya sekarang sudah berpolitik.”
“Nah, partai dengan politik, kan, sama, Mbah?”
“O, lain. Partai dengan politik itu lain, jangan disamakan.”
“Logikanya bagaimana, Mbah?”
Paiman kesal. Orang partai, kok, masih harus dijelaskan soal beginian. “Begini. Bedanya ya, tidak ada partai sejarah, tapi politik sejarah ada. Tidak ada partai ekonomi, tapi politik ekonomi ada. Tidak ada partai tani, politik tani saya di dalamnya. Kalau panjenengan mau berpolitik dengan saya, ya mestinya berpolitik tani. Kalau saya disuruh masuk di partainya saya tetap enggak mau. Tapi kalau di politiknya, ayo kita berpolitik yang baik tentang pertanian. Bukan partai.”
Orang-orang partai kemudian hengkang, menyerah.
Paiman Hadi Supadmo sudah sering bersua politisi. Ia seorang lelaki tua yang tumbuh karena penderitaan. Tubuhnya memang kecil, namun masih kuat membawanya ke sawah mengolah tanah. Di usianya yang hampir sepuluh windu, bibirnya tetap fasih mengisap batang rokok. Nyatanya ia bukan tipe orang tua yang sakit-sakitan. Hanya penglihatannya saja yang sudah kabur. Mata kirinya mati karena terbentur timbangan pakan ternak. Mata kanannya buram akibat pentungan tentara.
Dulu orang-orang menuduh Paiman tidak ber-Tuhan. Kini rasa syukurnya pada Sang Pencipta jadi tak terkira. Harusnya ia sudah mati ditembak tentara, dipendam di lubang yang digali orang-orang desa. Mengakhiri mesin sejarah yang memompa denyut nadinya dengan kejam. “Tapi Tuhan, kan, punya maksud lain. Mungkin saya diperkenankan cerita, bertemu dengan orang-orang banyak.” Meski begitu, ia toh masih bisa mengantuk di gereja. Suatu Minggu, Paiman beribadah ke rumah Tuhan. Ketika kidung-kidung suci dinyanyikan, eh, dia malah memilih permisi ke alam mimpi.
Hidup Paiman memang seperti mimpi. Ia, lelaki tua dari Dukuh Dani, Desa Pereng, Kecamatan Mojogedang, Karanganyar, menyimpan ingatan tentang salah satu masa paling kelam di republik ini. Masa ketika hanya ada dua pilihan: dibunuh atau terbunuh.

AKU anak seorang petani. Kaum yang dibangga-banggakan Sukarno sebagai inspirasi ideologinya. Karena Bapakku petani, aku juga harus jadi petani. Bapak sendiri yang bilang. Bapak lalu melarangku sekolah. Anak petani harus macul. Kalau aku sekolah, Bapak takut aku jadi ambtenaar, jadi pegawai negeri. Bapak benci ambtenaar. Mereka itu orang-orang malas yang tidak mau macul. Aku, anak petani, harus rajin macul.
Padahal, waktu itu aku sudah masuk Sekolah Rakyat (SR). Karena takut pada Bapak, aku terpaksa keluar dari SR tahun 1955. Aku sah jadi petani. Tapi aku masih ingin sekolah. Melihat teman-teman lain bisa sekolah di SR membikinku iri tak karuan.

Tiap hari aku macul. Melihat gundukan tanah yang warnanya saja tidak menggairahkan, aku jadi punya pikiran gila. Teman-temanku bisa belajar di SR, sementara aku hanya bisa macul. Pikirku, macul juga harus bisa jadi kegiatan belajar. Gila, kan?
Mulai saat itu alam adalah sekolahku. Kampusku. Apa yang ada di hadapanku adalah guruku. Kini aku jadi murid tanah-tanah legam yang tak menggairahkan. Aku, anak seorang petani, juga bisa belajar meski tak masuk SR. Macul jadi caraku mempelajari kehidupan.
Macul saja tidak cukup. Aku harus bertemu orang-orang, bukan benda mati seperti tanah. Maka masuklah aku ke Pemuda Rakyat, organisasi massa sayap partai yang sedang berkuasa. Tidak puas dengan Pemuda Rakyat, aku bergabung ke Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kesenian yang mashsyurnya bukan main. Aku tidak juga puas. Sebagai petani, aku juga harus bisa menggerakkan petani. Ikutlah aku di Barisan Tani Indonesia (BTI).
Aku bilang ke Bapak kalau aku akan tetap macul. Bapak mengizinkan. Walau ikut banyak organisasi, aku tetaplah petani. Siangnya macul, malamnya berkumpul bersama teman-teman organisasiku. Di sana aku belajar baca tulis. Petani tak boleh buta huruf. Bisa dikibuli tengkulak, nanti.

Bersama Pemuda Rakyat, aku dan warga desa pernah menyelesaikan suatu proyek penting. Begini. Waktu itu sawah di daerah Kedungdowo kekeringan. Aku dan sekitar 200 warga desa lalu berencana membangun bendungan. Setiap hari kami bekerja. Panji-panji Pemuda Rakyat jadi saksi pembuatan bendungan itu. Sampai pada akhirnya sawah-sawah yang kering bisa teraliri.
Aku dan Pemuda Rakyat masih mesra sampai bulan Oktober 1965 tiba. Tanggal 30 September Pemuda Rakyat masih menyelenggarakan seminar. Aku yang waktu itu berumur 26 tahun ikut di dalamnya. Aku tidak tahu kalau Jakarta sedang geger.

Selepas itu, baru aku tahu kalau beberapa Jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Orang-orang partaiku dituduh berada di balik pembunuhan itu. Kami juga dituduh ingin merebut kekuasaan negara. Aku dan anggota Pemuda Rakyat lain kena getahnya.
Aku bahkan dituduh membuat lubang buaya di daerah Kedungdowo, tepat di kawasan bendungan yang dulu kami bangun. Tuduhan tak terbukti. Akhirnya, kepala desa diperintahkan oleh tim bentukan tentara untuk membuat lubang di sana. Lima orang yang dituduh sebagai antek-antek partai digiring ke lubang itu. Mereka dituduh hendak menggulingkan rezim.
Saat salah satu dari kelima orang bernasib malang itu tertembak. Banyak warga desa yang berteriak, “Itu Paiman…Paiman. Mati sudah dia sekarang.” Ibuku yang turut menyaksikan peristiwa itu sampai terberak-berak. Kalut.
Peristiwa ini tentu kuketahui dari orangtuaku berbelas tahun kemudian. Karena seminggu sebelum hari itu, aku sudah dibawa dan meringkuk di Nusakambangan.

LISTIYO Budi Santoso selesai latihan bersama rekan-rekannya, Minggu, 17 September 2017 silam. Sutradara Teater Sopo, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret (UNS) itu masuk ke ruang tamu Paiman. Ia tidak mengisi buku tamu. Tyo sudah kenal dengan petani kolot itu.
Sambil merokok, ia mengutarakan kegalauannya terhadap peringatan Hari Tani yang akan digelar Sabtu, 30 September 2017. Ia dan rekan-rekannya takut acara itu disusupi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. “Jangan sampai acara ini ditunggangi kepentingan-kepentingan tertentu,” kata Tyo.
Paiman beranjak dari kursinya. Memungut rokok di meja samping Tyo. Setelah disuguhi korek, kepul-kepul asap keluar dari mulut dan hidungnya. “Kalau saya tidak ada masalah sebenarnya. Mau tanggal berapa saja tidak ada masalah,” Paiman menanggapi.
Hari Tani Nasional sebenarnya jatuh pada 24 September. Ia diperingati untuk mengingat Sukarno yang menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sejak itu, 24 September selalu diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Geger 30 September 1965 mengakibatkan semua aktivitas pergerakan yang berkaitan dengan buruh dan petani dilarang. Hari Tani Nasional jadi hari terlarang di era Orde Baru.
Peringatan Hari Tani Nasional di dusun Dani digagas Paiman sejak 2013 lalu. Selama ini belum ada masalah. Mulanya, tahun ini dusun Dani akan menggelar hajatan pada Sabtu, 23 September 2017. Karena menjelang tanggal 24 panitia belum siap, acara lalu diundur menjadi tanggal 30 September.
“Itu, kan, tanggalnya sensitif, Mbah,” kata salah seorang pantia yang duduk bersama Paiman dan Tyo.
“Ya, itu tadi. Kalau saya sebenarnya tidak masalah mau tanggal berapa. Malah kalau diadakan tanggal 30, bisa dijadikan percobaan, ada masalah apa tidak. Kalau tidak ada masalah, kan, enak. Karena sebenarnya memang ini hanya peringatan Hari Tani, tidak ada agenda lain,” jelas Paiman.
Ketiganya berpisah. Tyo pamit pulang bersama rekan-rekan Teater Sopo. Pembicaraan soal peringatan Hari Tani akan dilanjutkan di hari terpisah.
Usai Tyo pulang, Paiman beranjak dari kursinya. Ia mencari sebuah buku paling penting dalam perjalanan hidupnya. Sekira 10 menit ia mencari di rak bukunya yang tertata tidak begitu rapi. Berbekal senter, mata dan tangan tuanya meraba-raba debu di rak. Tapi buku yang ia cari tak juga ketemu.
Selang tak begitu lama, Paiman berseru senang. “Nah, ini dia!”
Buku itu ternyata ada di bawah meja samping ruang tamu. Sampulnya sarung kotak-kotak yang lusuhnya minta ampun. Paiman duduk kembali di kursi. Ia buka buku kesayangannya dengan hati-hati. Sejenak, kenangan masa lalu Paiman terbuka kembali.

PERISTIWA itu terjadi Jumat Pahing, 1 Oktober 1965, pukul dua pagi. Sriyono, mantan petugas Pertahanan Sipil (Hansip) Pereng, masih bisa berkisah dengan segar. “Saya masih umur belasan tahun, tapi saya masih ingat kejadiannya, karena pada saat itu saya bertugas sebagai Hansip Dusun Bedoyo, Desa Pereng, Kecamatan Mojogedang, Karanganyar,” ujarnya.
Seturut yang dikisahkan Sriyono, pada malam sebelum peristiwa penembakan di lubang galian dekat Kedungdowo itu, Lurah Pereng mengedarkan surat kepada para warga agar menghadiri apa yang disebut “Penembakan anggota PKI.” “Seluruh warga desa yang sudah cukup dewasa disuruh menyaksikan penembakan itu, dengan tujuan supaya warga tak coba-coba ikut organisasi kiri yang dianggap haram waktu itu,” Sriyono mengenang.
“Di situ! Di tanah yang ada karung putihnya itu,” kata Sriyono sambil menunjuk sebuah lahan yang ada di seberang tempat dia berdiri. Jarak rumah Sriyono dengan Kedungdowo hanya sekira satu kilometer. Ia masih sering ke sana untuk mengaliri sawahnya yang juga berada di sekitar Kedungdowo.
Lahan yang ditunjuk Sriyono adalah sepetak sawah milik Sumarno (70) warga Dusun Bedoyo. Itu terletak sekira tiga meter dari kali kecil terusan Kedungdowo, yang dulunya sempat dibangun ulang oleh Paiman dan ratusan orang lainnya. Sumarno yang saat itu sedang mencari rumput untuk ternaknya pun ikut nimbrung.
“Di sini kejadiannya. Waktu itu saya masih kecil, jadi saya baru lihat pas paginya, ketika lubangnya sudah ditimbuni tanah lagi.” Sumarno menjelaskan itu dengan nada santai. Kaki kanannya mengetuk-ngetuk tanah, menunjukkan lokasi yang dianggapnya paling persis.
Kata Sriyono, lubang liang lahat kelima orang tak dikenal itu berukuran dua kali enam meter dengan kedalaman tiga meter. Kelima orang yang dieksekusi diikat tangannya di belakang. Mata mereka ditutup. Kelimanya adalah seorang guru, dua kepala desa, dan dua pencuri. Ia tidak begitu ingat dari mana asal mereka. Ada yang dari Colomadu, Wonogiri, dan entah dari mana lagi.
Selepas meninggalkan Kedungdowo, dengan yakin Sriyono berujar bahwa semua orang di Pereng yang sekarang berumur 70 tahun lebih, pasti masih sangat ingat kejadian tersebut. “Siapa, tha, yang bisa melupakan kejadian seperti itu?”
  
TUHAN memang lucu. Aku meringkuk di Nusakambangan saat usiaku 26 tahun. Tak hanya itu. Partaiku dibubarkan. Pemuda Rakyat, Lekra, BTI, otomatis juga bubar. Soeharto – ia katanya juga anak petani – merebut kuasa dari Sukarno. Aneh. Orang-orang menuduh kami makar. Tapi dalam kurun beberapa bulan saja, malah Soeharto yang berkuasa. Beginilah jadinya. Anak petani yang satu berkuasa, anak petani yang lain meringkuk di penjara.
Aku harus meninggalkan Bapak, Ibu, dan istriku yang kusayangi. Tapi aku tetap harus punya tekad kuat. Kalau apa yang ada di hadapanku harus bisa menjadi guru, maka penjara harus bisa menjadi guruku. Penjara adalah guru dan kampusku.

Saat ditahan di Nusakambangan, Ibu Bapak sempat mengirimiku sarung. Lusuh memang. Karena kalau sarungnya bagus, aku yakin sudah diembat tentara. Sarung itu kujadikan sampul buku tulis. Buku tulis yang jadi alatku belajar selama di penjara. Aku berharap, dengan menjadikan sarung pemberian mereka sebagai buku tulis, aku bisa kembali lagi bersama Ibu Bapak. Pulang ke rumah.
Harapan ini jadi penting untukku. Di sini, orang-orang seperti antre menuju liang lahat. Pernah suatu malam aku sedang berbaring bersama temanku. Ia mengajakku ngobrol, dan kudengarkan ocehannya.
Aneh. Ia tiba-tiba berhenti berbicara. Terdengar bunyi “Kkrrookk….” Matanya terlelap. “Bagaimana sih kamu? Katanya mengajak ngobrol, tapi malah ditinggal tidur.”
Ia masih terlelap. Kupegang perutnya, tapi tidak ada gerakan. Kusumbat lubang hidungnya dengan jempol dan telunjukku, ia juga tidak bergerak sama sekali. Barulah aku sadar kalau ia sudah menemui maut, tepat di sampingku. Tubuhnya memang hanya menyisakan tulang dan kulit. Batok dengkulnya bahkan sudah menonjol seperti mau pecah. “Ah, sudahlah, kuurus besok saja,” batinku. Jadilah malam itu aku tidur bersama temanku yang sudah mati.
Aku “lulus” seleksi Nusakambangan tahun 1970. Kemudian aku dipindahkan ke Pulau Buru. Pulau yang katanya pulau harapan. Pulau itu ada nun jauh di sana, di Kepulauan Maluku. Orang-orang bilang, di sana bisa lebih bebas. Tidak sempit seperti penjara di sini.
Tapi itu hanya harapan kosong. Nyatanya sama saja. Kalau di Nusakambangan pagarnya jeruji besi, di sini pagarnya bedil berpelor. Kalau ketahuan berkirim surat dengan keluarga, atau berkumpul apalagi membicarakan urusan politik dengan kawan-kawan, peluru bisa nyasar ke kepala.
Suatu ketika, ada tahanan yang ketahuan membaca koran. Para penjaga menuduh ia sedang dikirimi surat rahasia dari anggota partai di luar sana. Akibatnya parah. Semalaman penuh ia dipukuli tentara. Akhirnya ia mangkat jadi mayat penyubur pulau harapan.
Pertama kali di Buru, aku ditempatkan di unit XV. Di sana banyak orang-orang cerdas. Ada insinyur pertanian, dokter, juga seniman dan sastrawan. Di sinilah aku bertemu Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan yang karyanya kelak akan jadi pergunjingan dunia.
Pram ditempatkan di ruangan khusus. Maklum, ia orang berbahaya, ha-ha-ha. Kalau ingin bertemu dengannya, aku harus izin ke penjaga terlebih dahulu. Aku biasa memberinya lintingan tembakau yang kuiris kasar. Kebetulan Irisan tembakauku cocok dengan seleranya.
“Mengerjakan apa, Pak?” tanyaku suatu hari kepada Pram.
Ia tidak menjawab pertanyaanku. “Banyak ‘nyamuk’, Man,” katanya.
Pram memang jadi sasaran ‘nyamuk-nyamuk’ dari surat kabar. Sebagai mantan ‘nyamuk’ yang kini jadi sastrawan dan meringkuk di pengasingan, ia jadi sasaran pemberitaan yang penting. Nantinya, aku baru tahu kalau yang ia kerjakan selama ini adalah sebuah karya yang membuatnya diganjar penghargaan tinggi dalam dunia sastra.
Aku juga ingin belajar di kampus ini, kampus Buru. Orang-orang cerdas kudekati, kuajak ngobrol. Kalau Pram, ia biasanya keluar jika ada acara tertentu. Idul Fitri dan Natal misalnya. Saat itulah ia mengoceh di hadapan tahanan-tahanan yang lain.
Aku mulai belajar saat malam tiba, saat tentara penjaga sudah lelap. Ketika belajar, aku biasa menyalakan senthir. Dari dalam peti kotak yang kubuat sendiri, aku mengambil Alkitab dan buku bersampul sarung kesayanganku.
Alkitab yang kusalin berbahasa Inggris. Aku ingin bisa berbicara dengan wartawan-wartawan asing dan orang-orang dari lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) internasional. Maka mulailah aku menyalin firman-firman Tuhan. Setelah kusalin, aku mencari arti kata-kata yang tidak kuketahui.
Aku masih tetap macul. Padi, tebu, tembakau, dan macam-macam tanaman memang ditanam sendiri olehku dan teman-teman.
Pernah suatu ketika kami harus berusaha keras membuat saluran irigasi. Aliran sungai yang paling dekat dengan sawah kami terhalang bukit besar. Kami berembug. Akhirnya diputuskan untuk menjebol bukit tersebut agar saluran irigasi bisa lancar. Pekerjaan edan itu! Setiap hari selama dua tahun, kami bekerja keras menjebol bukit itu. Alatnya cuma linggis dan pacul.
Jadi, kalau sekarang pulau Buru jadi pulau yang makmur berkat hasil tani, tahu sendiri kan, siapa yang berperan di baliknya.

BULAN mengintip genit. Sekira 300 warga desa Pereng bergerumul di Lapangan dusun Dani. Akhirnya, peringatan Hari Tani Nasional bisa digelar di dusun itu. Paiman mengenakan batik putih gading motif mega mendung. Dia duduk tepat di sebelah kiri pelataran pentas, area yang gelap tanpa terkena sorotan lampu.
Sambil memegang gulungan naskah Mutiara Desa yang bakal ditampilkan malam itu, ia membakar sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam. Mutiara Desa ditulis sendiri oleh Paiman. Selain Mutiara Desa, Paiman sempat menulis beberapa naskah teater.
Mata kanan petani kolot itu berkedip-kedip. Sedang mata kirinya yang sudah tak berfungsi cuma bisa berkedut sedikit.
Dia tampak serius menyaksikan para penari Gambyong di depannya yang tidak kompak sama sekali. Tiga penari depan mengibaskan selendang, tapi dua penari paling ujung malah sibuk berputar sambil memasang ekspresi bingung.
Acara malam itu dihadiri para perangkat desa: Lurah Pereng, Daryono; Camat Mojogedang, Sutrisno; sampai Kepala Dinas Pertanian Karanganyar, Supramnaryo.
Ketiganya memberi sambutan bergantian. Mulai dari mengoceh tentang pemuda dan Karang Taruna, masalah pertanian organik dan keberhasilan Karanganyar yang tak impor beras, hingga persoalan kesejahteraan petani.
Malam itu, Minggu, 30 September 2017, imbauan terakhir yang keluar dari mulut camat terdengar jelas di kuping Paiman. Anjuran yang membuat orang-orang menaruh dendam kesumat pada Paiman dan eks tapol yang lain.
Camat menganjurkan supaya warganya ikut menonton film Penumpasan Pengkhiatan G30S/PKI dengan dalih menjaga keutuhan bangsa dari ancaman paham komunisme.
Paiman tetap pada ekspresi yang terpasang di wajahnya yang kisut sejak awal acara: diam.
Sejam kemudian hadirin bertambah jadi 400 orang. Saat lakon Mutiara Desa yang Paiman tulis dipentaskan, pria kisut itu berdiri. Berjalan memutari beberapa hadirin sambil memutar-mutar gulungan naskah di tangannya. Ia terlihat gelisah. Usai berjalan memutar, akhirnya ia kembali duduk. Pindah sekira 30 meter dari tempat duduknya semula.
Sepulangnya dari Pulau Buru tahun 1979, Paiman masih harus melapor rutin ke Komando Rayon Militer (Koramil) setempat. Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya berlabel “ET” alias “Eks Tahanan.” Tak hanya itu, istrinya terpaksa kawin lagi dengan tentara. Kalau tidak begitu, habis sudah ia dibunuh.
Nama Paiman tak pernah luntur sepenuhnya dari daftar hitam intel. Ia dan eks tahanan politik (tapol) lainnya terus dipantau, diamati, dicurigai sebagai orang-orang yang ingin mendirikan partai komunis lagi di republik. Dan bukannya dipulihkan nama baiknya, ia malah dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik partisan.
“Saya hanya ingin tahu apa salah saya. Kalau saya salah, ya, segera diadili. Kalau tidak, ya, dipulihkan nama baiknya,” tegas Paiman.
Harapannya sempat muncul ketika Abdurrahman Wahib alias Gus Dur naik jadi presiden. Paiman sempat menonton wawancara Gus Dur di televisi. Dari situlah ia mengetahui wacana pencabutan Ketetapan (Tap) MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI.
“Musuh saya itu Soeharto, kok, bukan PKI [Partai Komunis Indonesia],” kata Gus Dur santai.
Tanpa sadar, Paiman menyeletuk, mengajak omong televisi. “Wah, tenan, tha, Gus? Sesuk tak kancani, ya.” Wah, benar, ya, Gus? Besok aku temani, ya.
Sayang, Gus Dur keburu dilengserkan sebelum rekonsiliasi terhadap ratusan ribu korban pembantaian 1965-1966 dilangsungkan. Jalan terang sempat terlihat ketika Simposium 1965 digelar April 2016 lalu. Namun simposium tak pernah berlanjut rekomendasi yang jelas. Hingga kini, sekadar meminta maaf pun, pemerintah enggan.
Akhirnya, dosa masa lalu akan tetap dipendam republik ini, entah sampai kapan. Paiman akan tetap jadi petani yang hidup dengan masa lalu itu. Masa lalu yang membuat jumlah nama di buku tamunya terus bertambah.[]
(Laporan ini pertama kali terbit di saluransebelas.com, 2 Oktober 2017. Paiman Hadi Supadmo meninggal pada 20 Februari 2020 di rumahnya. Terakhir kali saya menemuinya adalah sehari setelah peringatan Hari Tani di Dusun Dani, 23 September 2018. Warisan pengetahuannya berpengaruh untuk sektor pertanian di Dani dan sekitarnya.)

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook