"Emilie Jawa 1904" (Catherine van Moppes): Perempuan Prancis di Simpang Kolonialisme
18.44
Judul Buku : Emilie Jawa 1904
Penulis :
Catherine van Moppes
Penerjemah : Jean Couteau
Penerbit : Kepustakaan
Populer Gramedia
Tahun Terbit : Juli 2017
Tebal : 494 halaman
MANUSIA-MANUSIA pribumi pada masa kolonial adalah macan tutul. Dulunya mereka bebas, liar, dan
yang terpenting, punya otoritas atas tanah mereka sendiri. Setelah Kolonialisme
dengan sengaja mewabah dunia, para macan tutul itu ditangkap, dikurung,
dikerangkeng. Hanya bisa meraung-raung kosong dari balik kandang.
Logika
negara kolonialis terdengar indah. “Kolonialisme haruslah menjadi kebanggaan
kaum humanis. Kaum pribumi harus didorong untuk berevolusi ke arah yang
berkesuaian dengan takdirnya, sejalan dengan pikiran bangsa dan lingkungannya”
(hal. 120).
Semua negara
kolonialis percaya hal ini. Bahwa dengan menduduki sebuah wilayah, lalu
membentuknya sesuai peradaban Eropa, maka wilayah tersebut akan bisa
menyesuikan kemajuan zaman.
Emilie pada
mulanya adalah gadis Prancis yang percaya akan daya magis Kolonialisme. Lahir
di salah satu negara kolonialis terbesar di dunia di penghujung abad 19, Emilie
yakin betul kalau Kolonialisme adalah paham final yang bisa membikin dunia jadi
lebih baik.
Keyakinan
pikirnya lantas goyah. Di awal abad 20, ia dan suaminya ditugaskan ke tanah
jajahan paling populer kala itu: Hindia Belanda. Pertemuan pertama Emilie
dengan manusia pribumi, dengan para “macan tutul”, jadi adegan yang puitis. Saat
itu Emilie sedang di dalam kapal yang menuju Batavia. (Baca selengkapnya...)
“Pertama-tama
yang saya lihat, terheran-heran, hanyalah suatu mozaik berwarna-warni,
potongan-potongan kulit sawo matang berkilat-kilat yang membentuk tangan, kaki,
atau pipi. Itulah kaum pribumi yang tidur, berselonjor, berlutut satu di dekat
yang lain, bercampur aduk…. Saya kagum melihat halusnya raut muka dan
bermacam-macam warna kulit, dari terang hingga hitam” (hal. 204).
Catherine
van Moppes memang kurang ajar. Dari 494 halaman novel, pertemuan pertama sang
tokoh utama – perempuan Prancis kolonialis yang merindukan menjelajah dunia – dengan
inlander Hindia Belanda, baru
disajikan di pertengahan kisah. Membuat pembaca mau tak mau bergetar membaca
adegan yang sudah dinanti sejak halaman awal.
Pada pertemuan
pertama ini, adegan masih disajikan dengan sangat kolonialis. Emilie yang
berada di kelas atas menyaksikan kumpulan tubuh pribumi di kelas bawah kapal. Emilie
yang menyaksikan. Sementara para pribumi tertidur pasif.
Pergulatan
Emilie mulai terjadi di pertemuan berikutnya dengan para inlander. “Turun dari kereta Victoria, yang saya temui pertama kali
adalah lima orang pembantu. Beberapa dari mereka mengenakan seragam, sementara
yang lainnya berpakaian batik, bertelanjang kaki, dan berlutut menyambut
kedatangan kami. Kami diam tanpa tahu apa yang harus dilakukan; malu melihat
mereka seperti itu, juga malu atas diri kami sendiri” (hal. 237).
Emilie
risih. Baginya, seseorang tidak harus membungkuk-bungkuk dan berlutut di
hadapan orang lain. Seorang perempuan kolonialis sudah tersadar dari tidurnya.
Gemuruh Politik Etis
Oleh van
Moppes, Emilie dihadirkan ke Batavia saat Belanda seolah-olah telah menyadari penindasan
yang mereka lakukan di masa lampau. Pendidikan yang birokratis kemudian
disediakan pemerintah kolonial untuk manusia pribumi. Ini dilakukan sebagai
bentuk balas budi. ”Politik Etis”, istilah kolonialnya.
Omong
kosong! Politik Etis adalah sebentuk selubung baru Kolonialisme. Pemerintah kolonial
berusah menyesuaikan diri dengan berbagai revolusi yang terjadi di
negara-negara jajahan. Juga menyesuaikan diri dengan gelombang kapitalisme yang
lebih kekinian.
“Meskipun
demikian, kami menyadari bahwa kekuasaan dan keunggulan kami lambat laun akan
memudar. Untuk itulah kami menaruh perhatian lebih agar perubahan yang terjadi
itu bisa berlangsung secara tertib dan aman” (hal. 254).
“Tertib” dan
“aman” jadi mantra pemerintah kolonial untuk mengatur tanah jajahan. Setelah
lepas dari Kolonialisme, pemerintahan Hindia Belanda “Baru” kemudian
mengadaptasi mantra ini. “Tertib” dan “aman” sukses melanggengkan kediktaktoran
seorang jenderal selama lebih dari tiga dekade.
Logika
Politik Etis membuat manusia-manusi pribumi adalah manusia terbelakang dengan
kepercayan terhadap takhayul-takhayul irasional. Tidak sesuai dengan ilmu
pengetahuan dan peradaban Eropa.
Hal ini yang
membuat pergulatan Emilie bukan hanya pergulatan seorang perempuan dengan
feminisme utopisnya. Emilie dihadirkan sebagai pihak kolonialis yang bukan
merupakan penguasa utama Hindia Belanda. Ia dan suaminya adalah boneka
pemerintah kolonial.
Sayangnya,
suaminya yang seorang kolonialis totok justru makin kuat keyakinannya akan
magis Kolonialisme. Dalam beberapa adegan di novel ini, Lucien, suami Emilie, nampak
tidak suka saat Emile dekat dengan para pribumi, atau berpakaian seperti
mereka.
Entah yang
terjadi kemudian adalah keadaan psikologis dari seorang perempuan kesepian yang
sering ditinggal suami. Pembangkangan seorang feminis yang merasa dirinya dianggap
hanya tubuh tanpa pikiran. Atau pemberontakan seorang perempuan kolonialis yang
tersadar akan dosa-dosa kolonialnya. Emilie memilih selingkuh. Bercumbu dengan Anendo,
seorang lelaki inlander yang bahkan
bukan seorang Jawa – apalagi priyayi.
Dari sini
pembaca bisa meragu. Benarkah Emilie adalah perempuan idelalis yang berubah
menjadi anti-kolonial? Ataukah Emilie hanya perempuan yang labil secara
psikologis, yang tengah terjebak di pusaran sejarah Kolonialisme. Dalam hal
ini, Catherine van Moppes nampak lemah dalam menyajikan penokohan Emilie.
Emilie
dengan segala pergulatannya di simpang sejarah Kolonialisme, membuat novel ini
jadi rekaman sejarah dari sudut pandang yang berbeda dari Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta
Toer. Dalam Tetralogi Bumi Manusia
pembaca disajikan pergulatan seorang lelaki-priyayi yang ditindas Kolonialisme.
Sementara Emilie Jawa 1904, meski
tidak semegah Tetralogi Bumi Manusia, cukup penyuguhkan sudut pandang seorang
perempuan kolonial di tanah jajahan.
Pembaca bisa
membayangkan Minke tengah bertamu ke rumah Nyai Ontosoroh di Wonokromo, sementara
di Batavia Emilie masih terheran-heran dengan macan tutul yang baru ditemuinya.
“Macan tutul meraung beberapa kali. Saya sudah berulangkali meminta kepada
Lucien agar binatang itu dibuang saja. Sebab, saya selalu diburu bayangan,
suatu hari nanti akan ada orang yang sengaja membuka kandangnya agar si macan
tutul menerkam saya” (hal. 348).
Ya. Kandang “macan
tutul” pada akhirnya memang terbuka. Minke jadi salah satu orang yang membuka
kandang si “macan tutul.” Dengan gempuran “Kapitalisme Cetak,” meminjam istilah
Benedict Anderson, Minke dan Medan
Prijaji jadi kunci utama hancurnya kerangkeng Kolonialisme di tanah Hindia.[]
(Pertama kali terbit di basabasi.co, 25 November 2017)
0 komentar