"Dukhtar": Kawin? Lari!

16.00

Sumber gambar: browngirlmagazine.com
Oleh: Satya Adhi


Judul Film       : Dukhtar
Sutradara       : Afia Serena Nathaniel
Pemain           : Samiya Mumtaz, Saleha Aref, Mohib Mirza
Tahun Rilis     : 2014
Durasi             : 93 menit
Skor                : 6/10

TANPA RISET mendalam dan terukur, saya berani mengatakan bahwa mayoritas bocah di Indonesia pertama kali tahu soal seks bukan dari orang tua. Barangkali mereka mendapatkannya dari pelajaran sekolah, pelajaran agama di luar sekolah, atau, yang paling sering saya dengar dan alami, lewat pornografi.

Jauh dari Indonesia, di sebuah pedalaman pegunungan Pakistan sana, Allah Rakhi (Samiya Mumtaz) – yang berarti ‘Allah Melindungi’ – seorang ibu muda tak berpendidikan formal, sudah punya rasa sadar untuk memberi pendidikan seks kepada putrinya, Zainab (Saleha Aref).

Suatu hari, Allah Rakhi mengajak Zainab ke gudang bawah tanah. Ia kemudian mengambil selembar kain yang sudah disimpan turun temurun. “Ini kain dari malam perkawinan Ibu,” kata Allah Rakhi.

Melihat kain yang ternoda bercak darah kemerahan, Zainab bertanya penasaran. “Darah siapa ini?”

“Darah Ibu. Darah nenekmu. Darah neneknya nenekmu.” (Baca selengkapnya...)

Adegan ini saya rasa jadi yang terpenting sepanjang 93 menit Dukhtar berkisah. Ia tidak hanya menunjukkan bagaimana Ibu dan anak berbagi soal seksualitas, tapi juga menegaskan betapa ketertundukan perempuan telah terjadi secara turun menurun. Belum juga usai sampai sekarang.

Dukhtar sebenarnya tidak terlalu memberi kebaruan dalam gagasan permulaan cerita dalam film bertema ketertundukan dan marjinalisasi perempuan. Berlatar di daerah pelosok pegunungan yang walaupun sudah dimasuki teknologi transportasi dan komunikasi modern namun pandangan masyarakatnya soal gender dan seks masih teramat konservatif, Zainab yang masih belasan tahun (di bawah 15 tahun, saya rasa), akan dipaksa kawin dengan seorang tetua suku yang berkuasa di sana, seorang lelaki berusia sekira 60 tahun.

Pernikahan tersebut dilakukan untuk mendamaikan suku sang ayah dengan suku si calon suami Zainab. Allah Rakhi yang tak ingin anaknya kehilangan masa depan akibat pernikahan di bawah umur dan bernasib sama dengan dirinya, melarikan Zainab dari rumah.

Namun, ide yang sederhana ini justru menjadi menarik di 20 hingga 50 menit permulaan film. Adegan pengejaran Allah Raki dan Zainab oleh preman-preman bersenjata api cukup bisa merawat adrenalin penonton. Sampai di sini, saya akan berekspektasi kalau semakin ke belakang, akan semakin banyak adegan-adegan menegangkan yang ditampilkan.

Entah karena tak ingin filmnya cenderung menjadi film thriller-patriarkhis, sutradara Afia Serena Nathaniel (yang juga menulis naskah dan memproduseri film ini), justru memutuskan kalau adegan perburuan dua perempuan yang menegangkan harus disudahi. Digantikan dialog-dialog filosofis soal cinta dan perempuan.

Narasi soal seksualitas pun tidak lagi dimunculkan. Padahal seksualitas adalah salah satu persoalan utama yang dihadapi dan – ironisnya – tidak dipahami perempuan dalam kultur semacam ini.

Kisah soal politik suku-suku yang ada di sana pun tidak begitu kentara ditunjukkan. Penonton dirasa cukup sekadar tahu kalau di pedalaman Pakistan, yang berkuasa bukanlah pemerintah atau aparat. Yang berkuasa adalah suku-suku, bersenjata, dengan para tetua yang menganggap diri masing-masing paling mampu memimpin negara. Semacam suku-suku di dunia Arab abad enam.

Eksekusi ide cerita yang agak tanggung ini untungnya tertolong sinematografi yang anggun tapi tidak norak. Pegunungan dan padang pasir ditampilkan seadanya, tanpa terkesan seperti video promosi wisata. Lagu-lagu latar juga terdengar indah, tidak terlalu rancak seperti kebanyakan film Hollywood.

Dengan ide cerita, adegan pengejaran, dan sinematografi semacam itu, saya teringat Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Film yang disutradari Mouly Surya ini punya gagasan awal yang siam soal ketertindasan perempuan oleh laki-laki. Latarnya pun di daerah pedalaman Sumba yang tradisi gendernya ditampilkan sangat patriarkhis. Hanya saja, saya tak terlalu suka dengan pengambilan shoot-shoot jauh yang ditampilkan dalam sinematografi Marlina. Itu pengambilan gambar yang bagus, memang. Tapi itu adalah Sumba yang ingin dilihat orang-orang kota sebagai tempat eksotis, sehingga gambar-gambar di Marlina pun saya rasa lebih cocok jadi video promosi wisata.

Ada satu lagi kesamaan antara Dukhtar dan Marlina: sama-sama tanggung dalam mengeksekusi ide cerita. Adegan-adegan menegangkan yang harusnya bisa dirawat sampai akhir tanpa melemahkan gagasan cerita, justru ditampilkan setengah-setengah.

Dari Desa ke Kota

Selama perjalanan, Zainab tak banyak bertindak sebagai seorang bocah yang punya rasa ingin tahu besar soal seks dan pernikahan. Padahal Zainab hanya diberitahu oleh Ibunya bahwa ia akan dipertemukan oleh seorang pangeran tampan di akhir pelarian. Tapi di perjalanan, Zainab lebih banyak tunduk, diam, terhadap ucapan Ibunya.

Berbeda dengan rasa ingin tahu Zainab soal seks yang ditampilkan di permulaan film. “Bagaimana seorang bayi dibuat?” Tanya Zainab kepada temannya.
“Ketika seorang gadis memandang seorang lelaki, lalu si lelaki balik memandang si gadis, seorang bayi mulai tumbuh di rahimnya…. Itulah kenapa ayahmu tidak membolehkanmu keluar rumah.”

Saat Allah Rakhi dan Zainab sampai di Lahore, kota yang jauh lebih modern secara fisik, saya berharap akan menemui adegan-adegan yang menampilkan perbedaan cara pandang orang desa dan kota di Pakistan soal gender. Adegan semcam itu pun tidak ada. Sementara menurut saya, perbedaan cara pandang ini sangat menarik untuk dieksplorasi. Misalnya, apa yang akan dikatakan polisi atau aktivis gender di sana tentang pelarian Allah Rakhi dan Zainab, Atau sesederhana, apa yang akan dipikirkan tetangga-tetangga di kota tentang pelarian mereka.

Meski demikian, untuk ukuran film indie, Dukhtar cukup mampu memberi penonton gambaran tentang keadaan sosio-kultural di Pakistan. Sebuah negara yang sering dibanding-bandingkan dengan tetangga Hindustannya, India, baik dalam hal budaya maupun industri perfilman.[]



You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook