Revolusi dari Balik Kemudi Taksi
11.19
Oleh: Satya
Adhi
Judul Film : A
Taxi Driver
Sutradara : Jang Hoon
Pemain : Song Kang-Ho, Thomas Krethscmann, Ryu
Jun-Yeol, Yoo Hae-Jin
Tahun Rilis : Agustus 2017
Durasi : 137 menit
Skor : 8/10
DI KOTA,
mobil adalah rumah. Dari dalam rumah, penghuni mobil melihat kehidupan kota
bergerak keterlaluan cepat. Kadang roda mobil terhambat kemacetan berjam-jam di
jalanan. Rumah-rumah pun bisa capek kalau dipaksa bekerja terus.
Kim Sa-Bok
(Song Kang-Ho) punya rumah berjalan semacam itu. Tapi dia bukan jenis warga
kelas atas yang punya kuasa atas mobilnya sendiri. Kim Sa-Bok cuma sopir taksi yang
harus nurut ke mana penumpang akan pergi. Dia berusaha kerja keras untuk
membahagiakan putri semata wayangnya, Eun Jong (Yoo Eun-Mi). Maka, penonton
bisa maklum kalau uang jadi incaran utama Kim sepanjang waktu.
Siapa
sangka, dari dalam rumah, Kim bersua Jurgen Hinzpeter (Thomas Kretschmann), jurnalis
teve Jerman yang hendak meliput aksi protes di Gwangju. “So I start a revolution from my bed,” kata Oasis. Kim dan Hinzpeter
agak berbeda dari Liam dan Noel Galagher, dkk, tapi peran yang mereka mainkan
dalam revolusi demokrasi Gwangju 1980 tak bisa dianggap enteng. Mereka memulai
revolusi dari balik kemudi taksi. (Baca selengkapnya...)
Film dibuka
dengan polah kocak komedis Kim si sopir taksi. Song Kang-Ho jelas tak perlu
diragukan lagi buat peran-peran semacam ini. Sebagai warga kota besar sekelas
Seoul yang harus terus menghasilkan duit, sikap politik Kim pun cenderung
pragmatis. “Apa mereka mendaftar ke universitas cuma buat berdemo?” Keluh Kim
ketika jalanan macet akibat demonstrasi mahasiswa.
Hinzpeter
kemudian dihadirkan sebagai jurnalis asing yang masuk ke Korea Selatan dengan
menyembunyikan identitas aslinya. Saat itu, Korea diperintah oleh pemerintahan
otoriter militeristik pimpinan Presiden Chun Doo-Hwan. Hinzpeter yang
sebelumnya bertugas di Jepang, terbang ke Korea untuk meliput demonstrasi di
Gwangju yang mendesak penghapusan pemerintahan militer.
Seperti
jurnalis asing lain yang meliput di daerah konflik, mereka kerap kali bergantung
pada warga-warga lokal – biasanya penerjemah atau wartawan lokal – agar bisa
menembus kawasan yang dituju. Kim yang tergiur tawaran 100.000 Won dari
Hinzpeter, bersedia mengantarkan si jurnalis dari Seoul ke Gwangju, lalu harus
balik lagi ke bandara di Seoul agar berita soal Gwangju bisa disaksikan dunia.
Kim mesti
menembus barikade militer yang mengelilingi Gwangju. Dalam proses pemenuhan
tanggung jawabnya sebagai sopir taksi inilah, Kim berubah jadi pribadi yang
komunal. Kim menyaksikan tentara menembaki para demonstran, mayat-mayat
berselimut bendera Korea yang menumpuk di rumah sakit, juga tangis para Ibu yang
anaknya hilang entah ke mana.
Sekali lagi,
pujian patut diberikan kepada Song Kang-Ho. Ia sukses mendalami perubahan
karakter Kim si sopir taksi; dari warga Seoul yang cuma peduli urusan
pribadinya, menjadi warga negara utuh yang tak mau abai terhadap sesama. Pengalaman
main bersama sutradara Jang Hoon mungkin jadi salah satu faktor kunci. Sebelum A Taxi Driver, Jang Hoon dan Song
Kang-Ho sudah berduet di film Secret
Reunion yang rilis pada 2010.
Ini juga
bukan kali pertama Song memerankan karakter utama dalam film yang berlatar
kondisi sosial-politik 1980-an. Dalam The
Attorney (2013), Song bermain sungguh memukau ketika memerankan Song
Woo-Seok, seorang pengacara perpajakan yang tetiba mengajukan diri menjadi
pengacara pembela dalam kasus keamanan nasional.
Dalam The Attorney, Song memainkan karakter
yang punya perubahan watak serupa Kim Sa-Bok. Song Woo-Seok digambarkan sebagai
lulusan SMA melarat yang akhirnya sukses jadi pengacara. Kesibukannya mencari
duit akhirnya berubah drastis ketika anak pemilik rumah makan langganannya
diciduk polisi dan dituduh komunis. Alasan penangkapannya, karena melakukan
kegiatan pembacaan buku-buku terlarang. Song lah yang kemudian jadi pengacara
pembelanya.
Sudut Pandang yang Jeli
A Taxi Driver tampil memikat karena sudut pandang ceritanya yang berbeda dan
kuat. Gerakan-gerakan pro demokrasi dan penggulingan sebuah pemerintahan
biasanya menampilkan para aktivis sebagai “pahlawan”-nya. Tapi di film ini, Kim bahkan menjadi karakter penguat
ketika Hinzpeter sedang terpuruk, tak mampu lagi meliput, karena guncangan
psikologis hebat setelah melihat mayat-mayat berhamburan.
“Kau
berjanji untuk memberi tahu orang-orang. Ini harus disiarkan agar semua orang
tahu, Kau seorang reporter, rekam
ini…,” kata Kim kepada Hinzpeter. Dengan hati-hati, si sopir taksi memberikan
kamera yang tergeletak di lantai rumah sakit kepada Hinzpeter. Si jurnalis
menerimanya, lalu gemetaran merekam mayat-mayat yang ditangisi para kerabat.
Rekaman
kejadian di Gwangju harus ditayangkan di luar Korea. Soalnya, saat itu pemerintah
Chung Doo-Hwan memberlakukan sensor ketat terhadap pers. Yang ditampilkan di
media-media dalam negeri adalah omong kosong tentang segerombolan komunis yang
ingin mengacaukan kedaulatan negara. Faktanya, demonstrasi pada Mei 1980 di
Gwangju adalah peristiwa paling berdarah dalam sejarah demokrasi Korea Selatan.
“Pada 21 Mei
1980, tentara menembaki warga yang berkumpul di depan kantor Pemerintah Daerah
Provinsi Jeolla Selatan, membunuh 54 orang dan menyebabkan sekira 500 terluka.
Menurut perhitungan pemerintah, hingga 27 Mei, ketika tentara mengambil alih
kota dari para milisi sipil, tentara membunuh 165 warga dan menyebabkan sekira
1600 warga terluka” (The Korea Times,
28 Agustus 2017).
Pada 2003,
Jurgen Hinzpeter hadiah jurnalisme Song Kun-Ho atas keberaniannya melaporkan
peristiwa Gwangju. Novelis pemenang The Manbooker Prize, Han Kang, juga telah
mengisahkan horor Gwangju 1980 secara putisi dalam bukunya, Mata Malam (2017). Ini makin meneguhkan
bahwa A Taxi Driver berpijak pada
konteks historis-politis yang kuat.
Warga Korea
menyambut A Taxi Driver dengan
khidmat. Film ini memberi tahu asal mula kebebasan yang mereka hirup saat ini. Lebih
dalam dari itu, A Taxi Driver memberi
tahu kalau buat bertindak politis tak harus jadi politisi.[]
0 komentar