Ayah Ajaib Bernama Salman Rushdie
17.30Salman Rushdie dan Zafar. (Foto: Judith Aronson). |
Oleh: Satya Adhi
SANG AYAH memberinya nama:
Rushdie, dari Ibnu Rusyd – orang-orang Eropa menyebutnya Averroes – cendekiawan
muslim progresif abad 12, dan setiap penamaan adalah wujud kekuasaan; seperti kala
Tuhan mengajari Adam nama-nama. Menghapus ketidaktahuan, memberi kuasa atas yang
terberi nama.
Barangkali itulah mengapa sang
ayah, Anis Ahmed, membenci karya Rushdie yang paling masyhur, Midnight’s
Children. Di novel itu, karakter Ahmed Sinai adalah sosok ayah yang tak
bergairah, sering keliru mengambil keputusan bisnis yang memberi dampak buruk
untuk keluarga, dan – sebuah adegan yang paling diingat – suatu pagi mendaratkan
pukulan di telinga kiri anaknya; Saleem Sinai si bocah ajaib, saat Saleem
mengatakan ke seisi keluarga: Aku mendengar suara-suara kemarin. Suara yang berbicara
kepadaku di dalam kepalaku. Aku kira – Ammi, Abboo, aku benar-benar mengira –
Malaikatlah yang berbicara kepadaku. (Baca selengkapnya ....)
Dalam paragraf-paragraf itulah ia
merasa kuasanya sebagai ayah dilanggar. “Ayah saya sangat marah tentang karakter
“Ahmed Sinai” sehingga ia tak mau berbicara kepada saya selama bertahun-tahun,
kemudian ia memutuskan untuk “memaafkan” saya, yang membikin saya kesal
sehingga selama beberapa bulan lagi saya menolak berbicara kepadanya,” tulis
Rushdie dalam pengantar edisi 25 tahun penerbitan novel itu.
Meski hubungan keduanya tegang,
Rushdie mengaku berutang besar pada ayahnya. Sang ayah adalah tukang dongeng
yang membius. Malam kanak-kanaknya dihabiskan dalam dekapan dongeng yang
dituturkan sang ayah sampai malam hampir tergelincir ke tengah: Syahrazad dan Seribu
Satu Malam-nya, fabel-fabel Pancatantra, kisah-kisah memikat Kathasaritsagara.
Midnight’s Children
terbit pada 1981. Saat itu Rushdie memasuki tahun kelima pernikahan dengan
istri pertamanya, Clarissa Luard, seorang penulis yang kepadanya-lah novel
pertama Rushdie, Grimus, dipersembahkan. Mereka dikaruniai seorang putra,
Zafar Rushdie, yang namanya tertulis di halaman awal novel.
Untuk Zafar
Rushdie
yang, di
luar dugaan, dilahirkan pada sore hari
Kalimat persembahan lugas untuk sang
putra dari seorang ayah ajaib – yang masa kecilnya dibentuk oleh dongeng-dongeng
Anis Ahmed dan masa depannya dikonstruksi oleh dongeng-dongengnya sendiri –
dalam sebuah novel yang menjadi salah satu karya penting dalam kajian pasca
kolonialisme. Corat-coret tentang India dan segala kerumitannya setelah republik
itu dilahirkan.
Midnight’s Children rasanya
bisa dibandingkan dengan Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez.
Gabo memilih menghadirkan jagat yang benar-benar imajiner dalam wujud Macondo serta
kisah turun-temurun para manusia dan keajaibannya, lalu dituliskan dengan sangat
realistis. Salah satu yang melahirkan term realisme-magis bersama beberapa penulis
Amerika Latin lain.
Sementara realisme-magis ala Rushdie
hadir dengan cara lain, berupa Bombay dan segala kegilaannya. Ada unsur dongeng
yang anehnya tak bisa ditolak dan sanggup dipercayai pembaca di novel ini. Anak-anak
tengah malam yang berkonferensi di alam pikiran dua bocah yang lahir tepat
ketika India merdeka. Dengan penuh kesadaran, Rushdie menyebut India di paragraf
pertama novelnya. Ini sebuah paragraf yang nyaris sempurna. Memikat mata
pembaca, menghadirkan gelora nasionalisme India dalam adegan kelahiran seorang
bayi.
“Aku dilahirkan di Bombay … pada
suatu masa. Tidak, itu tidak cukup, kita tidak bisa menghindari tanggal: Aku
lahir di Rumah Perawatan Dokter Narlikar pada 15 Agustus 1947. Dan jam berapa?
Jam juga penting. Baiklah kalau begitu: pada malam hari. Tidak, ini perlu
ditambahkan … Persis saat tengah malam, sebenarnya. Kedua jarum jam merapatkan
telapak tangannya dalam sambutan hormat saat aku datang. Oh, terus, terus: persis
pada saat India meraih kemerdekaannya, aku tergelincir di dunia. Napas-napas
tertahan. Dan di luar jendela, ada kembang api dan orang ramai. Beberapa detik
kemudian, jempol kaki ayahku patah” (dari terbitan Serambi, terjemahan Yuliani
Liputo, 2009).
Anis Ahmed mungkin membayangkan
yang patah adalah jempol kakinya.
Tetapi novel Rushdie yang paling kebapakan
bukan Midnight’s Children, melainkan dwilogi yang terpisah 20 tahun dan
empat pernikahan, Harun dan Samudra Dongeng (1990) serta Luka dan Api
Kehidupan (2010). Zafar yang pertama kali mengetuk kesadaran Rushdie,
saat si bocah bertanya pada ayahnya suatu waktu. “Ayah,” kata Zafar. “Mengapa Ayah
tidak menulis buku yang bisa aku baca?” Di situlah novelnya tercetus.
Harun dan Samudra Dongeng berkisah
tentang keluarga Khalifa yang tinggal di sebuah kota yang sedih di negeri Alifbay.
Si Ayah adalah Rasyid Khalifa, Raja Omong Kosong, tukang dongeng yang
kisah-kisahnya menyihir penduduk negeri. Si Ibu adalah Soraya, seorang ibu agak
kurang imajinatif bersuara merdu. Dan si bocah adalah Harun.
Novel dimulai ketika Soraya berhenti
bernyanyi dan meninggalkan Rasyid Khalifa yang sibuk mengarang dongeng –
pembaca memoar Rushdie kelak tahu ini kisah saat pernikahan dengan istri keduanya
kandas. Harun geram lalu mengucap serapah. “Apalah gunanya dongeng-dongeng
yang tak mungkin terjadi di alam nyata?” Sejak saat itu, Rasyid Khalifa
kehilangan kemampuan mendongeng.
Pembaca diajak bermimpi ke alam
khayali tempat Harun berusaha mengembalikan kemampuan mendongeng ayahnya. Harus
berpetualang melewati jin-jin dan makhluk magis, menuju samudra dongeng Kahani,
papan asali semua kisah.
Harun dan Samudra Dongeng, novel
itu, erat berkelindan dengan masa-masa kelam dongengan Rushdie. Masa ketika pekerjaannya
sebagai tukang dongeng menemui marabahaya dan semua orang yang menerbitkan
bukunya terancam dibunuh.
Tepat pada hari Valentine 1989, Rushdie
pertama kali membaca kalimat-kalimat itu:
“Saya mengumumkan kepada umat
muslim dunia yang penuh kebanggaan, bahwa pengarang buku The Satanic Verses,
yang bertentangan dengan Islam, Rasulullah, dan Quran, dan semua yang
secara sadar mengetahui isi buku tersebut lalu terlibat dalam penerbitan,
diberi fatwa mati. Saya meminta seluruh Muslim untuk mengeksekusi mereka di
mana pun mereka ditemui (Joseph Anton: A Memoir, 2012).
Ayatollah Khomeini, pemimpin spiritual
Iran, mengeluarkan fatwa itu setelah novel keempat Rushdie, The Satanic
Verses, terbit. Khomeini menganggap Rushdie menista Islam, Quran, dan Nabi
Muhammad. Bagi Khomeini, Salman Rushdie adalah Satanic Rushdie.
Rushdie – seorang yang lahir dari
keluarga muslim India – hidup dalam pelarian dan persembunyian. Orang-orang yang
terlibat dalam penerbitan The Satanic Verses tak kalah mengkhawatirkan nasibnya.
William Nygard, kepala penerbitan edisi Norwegia novel tersebut, ditembak tiga
kali pada suatu pagi di bulan Oktober 1993. Ia selamat. Ettore Capriolo,
penerjemah novel itu ke Bahasa Italia, ditusuk di Milan pada 1991. Ia selamat. Sembilan
hari kemudian, Hitoshi Igarashi, penerjemah The Satanic Verses ke bahasa
Jepang, mendapat serangan. Ia ditusuk enam kali. Igarashi ditemukan tewas di
kantornya di Universitas Tsukuba, Tokyo.
Dalam masa-masa adibahaya itu, Rushdie
adalah tokoh dalam sebuah novel yang belum selesai ditulis. Ia berusaha
bertahan hidup biar novelnya berujung bahagia. Dia mengubah nama yang diberikan
ayahnya. Rushdie menjadi Joseph Anton. Dari Joseph Conrad dan Anton Chekov.
Waktu-waktu bergelimang ketakutan
membuat Rushdie memikirkan keluarganya. Ibunya, para saudara dan saudarinya.
Memikirkan Zafar yang “… baru berusia sembilan tahun delapan bulan, tinggal
bersama ibunya, Clarissa, di rumah mereka di 60 Burma Road, di Green Lanes,
dekat Clissold Park. Seketika itu, ulang tahun kesepuluh Zafar terasa amat,
begitu jauh” (ibid.).
Pembaca tahu bahwa Rushdie
akhirnya selamat. Khomeini telah wafat dan fatwanya tak lagi berlaku.
Pada 2010, Luka dan Api
Kehidupan ditulis untuk putra kedua dari istri ketiganya, Milan. Di buku itu,
pembaca kembali bernostalgia ke Alifbay. Cerita bermula saat Rasyid Khalifa sang
tukang dongeng tetiba tidur, tapi tak kunjung terbangun. Esoknya belum bangun
juga.
Luka berusaha menyelamatkan
ayahnya dari tidur abadi. Di sini hubungan ayah-anak mencapai kehangatan: Luka
pergi ke jagat dongeng ayahnya. Kesuksesan misi Luka bergantung pada kelihaian
mengingat beragam kisah yang dilantunkan sang ayah kepadanya.
Dua novel untuk Zafar dan Milan
itu begitu personal. Harun dan Luka diubah menjadi pahlawan demi menyelamatkan ayahnya.
Rushdie tidak ingin mengulang kesalahan Anis Ahmed yang menghardik imajinasi putranya
sendiri. Rushdie ingin anak-anaknya hidup bersama dongeng-dongeng.
Dari dongeng-dongeng Anis Ahmed ke
Raja Omong Kosong Rasyid Khalifa ke cerita mencekam Joseph Anton dalam persembunyian,
Rushdie mengingat pelajaran yang didapat dari masa kecilnya, seolah berpesan
pada setiap ayah di seluruh dunia;
“Manusia adalah hewan yang menuturkan
kisah, satu-satunya makhluk di bumi yang mengisahkan cerita pada dirinya sendiri
untuk memahami makhluk seperti apakah dirinya. Kisah adalah hak hidupnya, dan
tak satu pun boleh mengambil itu” (Joseph Anton: A Memoir, 2012).[]
0 komentar