Toko Ajaib

06.49

Ilustrasi: Iva Mykhailian (behance.net)
Oleh: H.G. Wells
Penerjemah: Satya Adhi

(Edisi asli pertama kali terbit tahun 1895. Versi ini diterjemahkan dari The Magic Shop dalam Twelve Stories and A Dream yang dipublikasikan Project Gutenberg tahun 2008).


AKU melihat Toko Ajaib beberapa kali dari kejauhan; aku melewatinya satu atau dua kali, sebuah toko yang kaca jendelanya memamerkan benda-benda kecil memikat, bola ajaib, ayam ajaib, kerucut ajaib, boneka ventrilokuis, barang-barang trik sulap keranjang, setumpuk kartu yang TERLIHAT baik, dan barang-barang sejenis itu, tapi tak sekalipun aku tebersit untuk pergi ke sana hingga suatu hari, nyaris tanpa peringatan apapun, Gip menyeret jariku ke kaca jendela toko, dan mengarahkan dirinya untuk masuk ke dalam. Aku tak percaya tempat itu terletak di sana sejujurnya – toko berteras sederhana di Regent Street, di antara toko lukisan dan toko tempat anak-anak ayam berlari keluar dari inkubator, tapi di situlah tokonya. Aku kira ada di dekat Sirkus, atau di pojok sekitar Oxford Street, atau bahkan di Holborn; selalu di tempat semacam itu yang sedikit sulit dijangkau, dengan semacam fatamorgana di lokasinya; tapi tak diragukan lagi di sinilah toko itu, dan ujung telunjuk gemuk Gip membuat suara berisik di permukaan kaca. (Baca selengkapnya ....)
“Kalau aku kaya,” kata Gip, telunjuk mencolek Telur Penghilang, “aku akan membeli itu. Dan itu” – Si Bayi Menangis, Sangat manusia – “dan itu,” terlihat misterius, kartu rapi bertuliskan, “Beli Satu dan Buat Takjub Temanmu.”
“Apapun,” kata Gip, “akan menghilang di bawah kerucut itu. Aku membacanya di sebuah buku.
“Dan di sana, Ayah, adalah Setengah Sen yang Bisa Menghilang –, hanya mereka menaruhnya sedemikian rupa jadi kita tidak bisa melihat bagaimana itu bekerja.”
Gip, putraku tersayang, mewarisi sifat ibunya, dan dia tidak minta untuk masuk ke toko atau bergesa-gesa; hanya, kau tahu, agak tidak sadar dia menyeret jariku ke arah pintu, dan ia menegaskan ketertarikannya.
“Itu,” katanya, dan menunjuk Botol Ajaib.
“Kau mau itu?” Aku berkata; ia menatap dengan sebersit wajah yang dipenuhi permintaan.
“Aku bisa menunjukkannya pada Jessie,” katanya, yakin sebagaimana perkataannya yang lain.
“Ini kurang seratus hari dari ulang tahunmu, Gibbles,” kataku, dan meletakkan tanganku di pegangan pintu.
Gip terdiam, tapi genggamannya erat di jariku, lalu kami masuk ke toko.
Itu bukan toko biasa; itu toko ajaib, dan Gip berjingkrak demi mendapat mainan yang ia inginkan. Memutus obrolan denganku.
Itu toko yang kecil, sempit, pencahayaannya tak begitu bagus, dan bel pintunya berbunyi lagi dengan nada muram saat kami menutupnya. Hanya ada kami berdua di sana sehingga kami saling melirik. Ada harimau dari kertas-lem di lemari kaca yang menutupi sebuah meja pendek – seekor harimau besar, bermata elok yang menggoyangkan kepalanya dalam sikap metodis; ada beberapa bola kristal, setumpuk kartu ajaib cina, sepaket mangkuk ikan ajaib beragam ukuran, dan topi ajaib jemawa yang ironisnya memamerkan per-pernya. Di lantai ada cermin ajaib; seperti sketsa bisa membuatmu terlihat panjang dan kurus, ada yang membuat kepalamu melar dan kakimu lenyap, dan ada yang membuatmu pendek dan gemuk; dan saat kami tertawa di depan cermin, penjaga toko, seperti yang kukira, datang.
Pokoknya, dia di sana di belakang gerai – seorang yang terlihat kepo, pucat, berkulit gelap, satu telinganya lebih besar dari yang lain dan dagunya seperti ujung sepatu bot.
“Apa yang kalian inginkan?” katanya, merentangkan jemari ajaibnya yang panjang di lemari kaca; dan kami mulai menyadari kehadirannya.
“Aku ingin,” kataku, “membelikan beberapa barang sulap sederhana untuk putraku.”
“Silap mata?” Ia bertanya. “Mekanis? Lokal?”
“Ada yang menarik?” Kataku.
“Um!” Kata si penjaga toko, dan ia menggaruk kepalanya sebentar sambil berpikir. Lalu, dengan cukup jelas, ia mengeluarkan sebuah bola kaca dari kepalanya. “Seperti ini?” Katanya, dan menunjukkannya pada kami.
Aksinya tak terduga. Aku pernah melihat trik yang dipamerkan di tempat hiburan – trik biasa dari para pesulap – tapi tak kuduga akan menyaksikannya di sini.
“Hebat,” kataku, sambil tertawa.
“Iya kah?” Kata si penjaga toko.
Gip merentangkan tangannya untuk mengambil benda ini namun menemui telapak tangan yang kosong.
“Ada di sakumu,” kata si penjaga toko, dan memang ada di sana!
“Berapa harganya?” Tanyaku.
“Kami tidak menjual bola-bola kaca ini,” si penjaga toko berkata sopan. “Kami mendapatkannya,” – dia mengambil satu bola dari sikunya sambil berkata – “gratis.” Ia mengeluarkan bola lain dari belakang leher, dan menaruhnya berjejer di meja. Gip menatap bola-bola itu dengan anggun, lalu melayangkan tatapan menyelidik ke dua bola di atas meja, dan akhirnya memindahkan bola mata bulatnya dengan awas ke penjaga toko, yang tersenyum.
“Itu untukmu,” kata si penjaga toko, “dan, kalau kau TIDAK keberatan, satu lagi dari mulutku. JADI!”
Gip berbisik padaku sesaat, kemudian lewat keheningan yang dalam, mengambil empat bolanya, menggenggam jariku, dan menyiapkan diri untuk pertunjukkan selanjutnya.
“Kami punya trik-trik kecil seperti itu,” si penjaga toko menambahkan.
Aku tertawa seolah lelucon sedang dibawakan. “Ketimbang pergi ke toko grosir,” kataku. “Tentu saja di sini lebih murah.”
“Bisa jadi begitu,” si penjaga toko berkata. “Kalian bisa membayar belakangan. Tapi tidak begitu mahal – seperti yang orang-orang kira …. Trik besar kami, dan keperluan harian kami dan semua hal yang kami inginkan, kami dapatkan dari topi itu …. Dan Anda tahu, Sir, kalau Anda mengizinkan saya mengatakannya, TIDAK ada toko grosir, tidak untuk benda-benda Ajaib Murni, Sir. Apakah Anda memerhatikan tulisan kami – Toko Ajaib Murni.” Ia mengeluarkan kartu nama dari dagu dan mengoperkannya padaku. “Murni,” ia berkata, jarinya menunjuk kata itu, dan menambahkan, “Tidak ada muslihat, Sir.”
Dia membawakan leluconnya dengan totalitas, pikirku.
Dia berpaling pada Gip dengan senyum ramah yang menawan. “Kau, kau tahu, adalah Anak Terpilih.”
Aku terkejut saat ia melontarkan itu, karena, dalam ketertarikan pada sulap, kami merahasiakannya bahkan di rumah; tapi Gip mendengarkannya dalam keheningan yang tak terpecah, meneruskan tatapan kukuh pada si penjaga toko.
“Hanya Anak Terpilih yang dapat melewati pintu itu.”
Dan, seperti yang ia gambarkan, muncul suara berderik dari pintu, dan suara tangisan kecil terdengar samar-samar. “Huaaa! Aku ingin ke situ, Ayah, aku ingin ke situ. Aa-r-g-h!” Dan aksen orang tua yang putus asa terdengar, berusaha menghibur dan mengambil hati anaknya. “Pintunya terkunci, Edward,” katanya.
“Tapi pintunya tidak terkunci,” kataku.
“Terkunci, Sir,” ujar si penjaga toko, “selalu – untuk anak-anak semacam itu,” dan saat ia bicara kami menoleh sekilas ke anak itu, sesosok wajah putih, kecil, kusam karena banyak makan panganan yang manis dan terlalu berbumbu, dan dipenuhi oleh gairah jahat, tukang pamer kecil yang mengganggu, mencakar di kaca jendela yang memesona. “Itu tidak baik, Sir,” kata si penjaga toko, saat aku bergerak, ingin menolong, ke arah pintu, dan saat itu si anak manja telah melenguh pergi.
“Bagaimana kau melakukannya?” Aku berkata, bernapas sedikit lebih lega.
“Sihir! Kata si penjaga toko, dengan lambaian tangan yang bergontai, dan lihat! Percikan api warna-warni terbang dari jemarinya dan menghilang ke dalam bayang-bayang toko.
“Kau mengatakan,” katanya kepada Gip, “sebelum masuk, kau menginginkan salah satu kotak ‘Beli Satu dan Buat Takjub Temanmu’ milik kami?”
Gip, setelah usaha yang cukup lama, mengatakan, “ya.”
“Benda Itu ada di sakumu.”
Lalu dengan bersandar di atas meja – tubuhnya benar-benar sangat panjang – sosok menakjubkan ini mengeluarkan kata-kata dalam sikap yang biasa ditunjukkan tukang sulap. “Kertas,” katanya, dan mengambil secarik kertas dari topi ber-per yang kosong; “tali,” dan lihatlah mulutnya menjelma kotak tali, dari dalamnya keluar utas yang tak putus-putus. Dan kemudian ia menyalakan lilin di hidung salah satu boneka ventrilokuis, menekankan salah satu jarinya (yang ia ubah menjadi lak penyegel surat) ke dalam api, lalu menyegel bingkisannya. “Kemudian ada Telur yang Bisa Menghilang,” ia menambahkan, dan mengeluarkan sebutir telur dari mantelku dan membungkusnya, dan juga Si Bayi Menangis, Sangat manusia, aku mengoper tiap bingkisan ke Gip, dan dia mendekapnya erat di dada.
Dia sedikit bicara, tapi matanya tajam; cengkeraman lengannya tegas. Ia bak taman bermain tempat emosi-emosi tak terucap bernaung. Ini, kau tahu, adalah Sihir yang NYATA. Kemudian, aku, mulai merasakan sesuatu bergerak di topiku – sesuatu yang lembut dan melompat-lompat. Aku membuka topi, dan seekor merpati yang kesal – tak diragukan lagi adalah rekan si penjaga toko – nongol dan terbang ke arah meja, dan pergi, aku takjub, menuju sebongkah kardus di belakang harimau kertas-lem.
“Tut, tut!” Kata si penjaga toko, dengan cekatan menyadarkan akan topiku; “dasar burung ceroboh, dan – sebagaimana yang kusadari – bersarang di dalam topiku!
Ia menggoncang-goncang topiku, dan mengeluarkan dua atau tiga telur dari tangannya yang memanjang, sebuah pualam yang besar, sebuah arloji, sekitar setengah lusin bola-bola kaca, lalu kemudian kertas lusuh, berkerut, lagi dan lagi dan lagi, mengoceh terus dan menyikat topi dari DALAM dan luar, dengan sopan, tentu saja, namun lewat sebuah perlakuan yang intim. “Semuanya terkumpul, Sir …. Bukan Anda, tentu saja, secara khusus, …. Nyaris setiap pelanggan …. Betapa mengagumkan apa yang mereka bawa ….” Kertas lusuh mengembang dan mengepul di atas meja lagi dan lagi dan lagi, sampai ia nyaris tersembunyi dari kami, sampai ia sepenuhnya tak terlihat, namun suaranya masih terdengar dan terdengar. “Kita tak pernah tahu apa yang tersembunyi di balik keinginan manusia, Sir. Apakah kita semua tak lebih baik daripada jasad yang mulus, pusara yang diputihkan –“
Suaranya terhenti – persis seperti ketika kau mengenai gramofon tetanggamu dengan lemparan jitu sebuah bata, hening seketika, dan kertasnya berhenti mengembang, dan segalanya senyap ….
“Apa yang kau lakukan dengan topiku?” Kataku, setelah jeda.
Tak ada jawaban.
Aku memandang Gip, dan Gip memandangku, dan terlihat pantulan kami di cermin ajaib, sangat janggal, dan suram, dan sunyi ….
“Aku rasa kami akan pergi sekarang,” kataku. “Berapa yang harus kubayar?” ….
“Kubilang,” aku berbicara, dalam nada yang agak lebih kencang, “tolong berikan tagihannya; dan topiku.”
Ada endusan di bagian belakang tumpukan kertas ….
“Ayo lihat apa yang ada di belakang meja, Gip,” kataku. “Dia sedang bermain-main dengan kita.”
Aku dan Gip melewati harimau yang kepalanya-bergoyang, dan kau tahu apa yang ada di belakang meja gerai? Tak ada siapa pun! Hanya ada topi yang tergeletak di lantai, dan seekor kelinci bertelinga panjang yang biasa dipunyai tukang sulap, tengah terdiam, dan terlihat sama bodoh dan lusuhnya dengan kelinci penyulap lainnya. Aku mengambil topiku, dan si kelinci berlari pergi.
“Ayah!” Kata Gip, berbisik.
“Ada apa, Gip?” Tanyaku.
“Aku SUKA toko ini, Ayah.”
“Aku juga,” kataku pada diri sendiri, “kalau mejanya tidak memanjang sendiri dengan tiba-tiba dan mengunci pintu toko.” Tapi Gip mengabaikanku. “Pus!” Katanya, tangannya berusaha meraih kelinci yang berlari melewati kami; “Pus, lakukan sebuah trik sulap untuk Gip!” Dan matanya mengikuti si kelinci saat hewan itu dengan susah payah keluar lewat celah pintu yang tak kulihat sebelumnya. Lalu pintu ini terbuka lebar, dan seorang laki dengan satu telinga yang lebih besar dari yang lainnya muncul lagi. Dia masih tersenyum, tapi matanya bertemu mataku dengan semacam tatapan kesenangan dan penolakan. “Anda ingin melihat ruang galeri kami, Sir,” katanya, dengan suatu sikap sopan yang janggal. Gip menarik jariku ke depan. Aku melirik ke meja dan menatap mata si penjaga toko lagi. Aku mulai berpikir kalau trik sulapnya sedikit terlalu nyata. “Kami tak punya banyak waktu,” kataku. Tetapi entah bagaimana kami sudah ada di dalam galeri sebelum aku menyelesaikan ucapanku.
“Semua barang kami berkualitas bagus,” ucap si penjaga toko, menggosok-gosok tangannya bebarengan, “dan ini yang terbaik. Tak ada di tempat lain selain di sini, dan dijamin benar-benar ajaib. Permisi, Sir!”
Ia menarik sesuatu yang menempel di lengan mantelku, lalu aku melihat dia memegang ekornya, iblis merah yang menggeliat – makhluk kecil itu menggigit dan melawan dan mencoba meraih tangan si penjaga toko – dan sekejap dia melemparkannya begitu saja ke belakang meja. Tak diragukan lagi benda itu hanyalah seonggok mainan yang terbuat dari karet India, tetapi untuk sesaat –! Gesturnya memeragakan seolah sedang memegang hama kecil yang menggigit. Aku menoleh ke Gip, tetapi gip melihat ke  arah kuda-goyang ajaib. Aku lega ia tak melihat adegan tadi. “Maaf,” aku berucap dalam suara rendah, dan menunjuk Gip serta si iblis merah dengan mataku, “kau tidak punya banyak barang seperti ITU, kan?”
“Bukan milik kami! Mungkin terbawa ke sini bersamamu,” kata si penjaga toko – juga dalam suara rendah, dan dengan senyum yang lebih lebar daripada sebelumnya. “Betapa mengagumkan apa yang orang-orang BAWA bersama mereka tanpa sadar!” Lalu berbicara pada Gip, “kau menemukan yang kau sukai di sini?”
Banyak barang yang Gip sukai di sini.
Dia berpaling ke pedagang menakjubkan ini, campur aduk antara percaya diri dan hormat. “Apakah itu Pedang Ajaib?” tanyanya.
“Pedang Ajab Mainan. Tak bisa membengkokkan, menghancurkan, atau memotong jemari. Barang siapa yang menggunakannya tak akan kalah dalam pertempuran melawan siapa pun yang berusia di bawah delapan belas tahun. Dua shilling enam sen sampai tujuh shilling enam sen, tergantung ukurannya. Jubah perang ini digunakan untuk para ksatria remaja dan sangat berguna – perisai keamanan, selop kilat, helm tembus pandang.
“Oh, Ayah!” Gip menghela napas.
Aku berusaha menanyakan berapa harga barang-barang itu, tapi si penjaga toko tak mengindahkanku. Dia membawa Gip sekarang; dia merebutnya dari rengkuhan jemariku; ia memulai pameran barang-barang terkutuk ini, dan tak ada yang bisa menghentikannya. Saat itu aku menatap dengan rasa cemas dan skeptis dan semacam rasa cemburu karena Gip menggengam jemari orang ini sebagaimana ia biasa menggenggam jemariku. Memang, sih, orang ini menarik, kupikir, dan punya banyak barang-barang tipuan menarik, barang tipuan yang sangat BAGUS, tetapi –
Aku melenggang di belakang mereka, irit bicara, namun terus mengawasi pria bertangan lincah ini. Lagi pula, Gip menikmatinya. Dan ketika tiba waktunya pergi kami harus bisa pergi secepatnya.
Ruang pameran itu tempat yang panjang, membingungkan, sebuah galeri yang dipisahkan oleh stan dan kios dan tiang-tiang penyangga, koridornya membawa kita ke bagian lain, tempat asisten-asisten toko yang tampak aneh dan malas-malasan menatap ke arah kami, dan dihiasi cermin serta tirai-tirai yang menyesatkan. Sungguh menyesatkan, tentu saja, hingga aku tidak mampu kembali ke pintu tempat kami datang.
Si penjaga toko menunjukkan pada Gip kereta ajaib yang bisa berjalan tanpa mesin uap atau mekanisme penggerak, tinggal atur saja sinyalnya, lalu ada berkotak-kotak prajurit yang sangat, sangat berharga, yang akan hidup ketika kau membuka tutupnya dan berkata –.  Diriku tak punya pendengaran yang cukup tajam karena mantranya adalah selarik silat lidah, tapi Gip – ia mewarisi pendengaran ibunya – menghapalnya dengan cepat. “Bravo!” Kata si penjaga toko, tanpa bas-basi menaruh kembali mainan itu ke kotak dan menyerahkannya pada Gip, “Sekarang,” ucap si penjaga toko, dan seketika Gip membuat mereka hidup kembali.
“Kau akan membawa kotak itu?” Si penjaga toko bertanya.
“Kami akan membelinya,” kataku, “kecuali kau memberinya harga yang terlalu mahal. Aku bukan saudagar yang bisa membelinya –“
“Ya Tuhan! TIDAK!” Lalu si penjaga toko memasukkan para prajurit ke dalam kotak, merekatkan penutupnya, melambaikan kotak itu di udara, dan di sana, di kertas cokelat, terikat – BERTULISKAN NAMA LENGKAP GIP DAN ALAMATNYA!
Si penjaga toko tertawa saat aku tercengang.
“Ini sihir murni,” katanya. “Hal yang nyata.”
“Sedikit terlalu nyata untuk seleraku,” kataku lagi.
Setelah itu ia memamerkan beberap trik ke Gip, trik yang aneh, dan yang lebih aneh adalah cara ia melakukannya. Dia menjelaskan pada Gip, membolak-balik, dan bocah kecil kesayanganku itu menganggukkan kepala dengan sangat tenang.
 Aku tidak banyak memerhatikan mereka. “Simsalabim!” Kata si Penjaga Toko Ajaib, lalu terdengar suara serupa, “simsalabim!” dari si bocah. Namun aku teralihkan oleh hal lain. Tak terasa betapa luar biasa ganjilnya tempat ini; tempat yang, boleh dikatakan, digenangi aura kejanggalan. Bahkan ada sesuatu yang agak aneh dari perlengkapan-perlengkapannya, langit-langitnya, lantainya, kursi-kursinya yang tertata sederhana. Aku merasakan sesuatu yang aneh, yaitu kapan pun aku berpaling dari benda-benda itu mereka bergerak miring, berpindah, dan mengeluarkan gesekan-gesekan berisik di belakangku. Dan desain kornisnya berbelit-belit rumit memakai penutup – menutupi semuanya sehingga terlalu ekspresif untuk plester biasa.
Mendadak perhatianku tertuju pada salah satu asisten yang punya tatapan aneh. Dia berdiri agak jauh dan tak menyadari kehadiranku – aku melihat sekitar tiga perempat badannya di atas tumpukan mainan lewat koridor – dan, kau tahu, ia diam bersandar di sebuah tiang lalu melakukan hal yang mengerikan dengan peralatannya! Hal mengerikan, terutama yang ia lakukan dengan hidungnya. Ia melakukannya bak orang tak punya kerjaan yang ingin menghibur dirinya sendiri. Pertama masih sebuah hidung yang pendek, bulat, lalu tiba-tiba dia menembakkannya bak teleskop, dan hidung itu terbang menjadi makin kurus dan kurus sampai menjadi panjang, merah, seperti pecut yang lentur. Bagaikan mimpi buruk! Ia memegangnya dan melemparkannya jauh ke depan seperti seorang pemancing mengayunkan alat pancingnya.
Aku refleks berpikir kalau Gip tak boleh melihatnya. Aku berpaling, dan Gip masih asyik dengan si penjaga toko, tak berprasangka buruk apapun. Mereka saling berbisik dan menatapku. Gip berdiri di atas bangku kecil, dan si penjaga toko memegang semacam drum di tangannya.
“Petak umpet, Ayah!” Teriak Gip. “Ayah di sini!”
Dan sebelum bisa kucegah, si penjaga toko menelungkupkan drum besar itu ke atas Gip. Aku melihatnya langsung. “Lepaskan,” teriakku, “sekarang juga! Kau akan membuat anak itu takut. Lepaskan!”
Si penjaga toko bertelinga pincang membuka drum itu tanpa berkata-kata, menyerahkan benda besar itu kepadaku untuk menunjukkan udara kosong di dalamnya. Dan bangku kecil itu kosong! Dalam adegan yang kilat itu anakku sepenuhnya lenyap? ….
Kau tahu, mungkin, ketika sesuatu yang menyeramkan keluar dari tangan gaib dan meremas jantungmu. Kau tahu itu mengambil bagian dirimu yang asli dan meninggalkanmu dengan kepanikan dan kesengajaan, entah lambat atau gegas, entah marah atau takut. Itulah aku saat itu.
Aku bergerak menuju penjaga toko yang sedang nyengir dan menendang bangkunya.
“Hentikan kebodohan ini!” Kataku. “Di mana anakku?”
“Kau lihat,” katanya, masih memamerkan bagian dalam drum. “Tidak ada tipuan –“
Aku berusaha mencengkeramnya, dan dia menghindar dengan gerakan cekatan. Aku berusaha merengkuhnya lagi, dan ia kabur dariku dan membuka pintu untuk melarikan diri. ”Berhenti!” Ucapku, dan ia tertawa, menghilang. Aku berusaha meloncat menangkapnya – yang tersisa hanya kegelapan.
BUM!
“Ya Tuhan, untung saja! Aku tidak melihatmu di sana, Sir!”
Aku berdiri di Regent Street, dan aku bertabrakan dengan seorang pekerja berpenampilan apik; dan sekitar sepuluh meter di sana, barangkali, terlihat bingung dengan dirinya sendiri, adalah Gip. Ada semacam penyesalan, lalu Gip berpaling dan berjalan ke arahku dengan senyum mungil yang cerah, seperti sedang merindukanku untuk sesaat.
Dan ada empat bingkisan di tangannya!
Dia menggenggam erat jariku seolah aku akan menghilang.
Untuk kedua kalinya aku terhenyak. Aku melemparkan pandangan untuk melihat pintu toko ajaib, dan, lihat, tidak ada di sana! Tak ada pintu, tak ada toko, tak ada apapun, hanya pilaster biasa yang berdiri di antara toko penjual lukisan dan jendela yang memamerkan anak ayam! ….
Aku melakukan yang kubisa di tengah kekacauan pikiran itu; aku berjalan menuju pinggiran trotoar dan mengayunkan payung untuk menyetop taksi.
Warbiasa,” kata Gip, dalam kegembiraan yang meluap-luap.
Kugiring dia masuk, menyebut alamatku pada sopir, lalu ikut masuk ke dalam taksi. Sesuatu yang mengganjal menampakkan diri di ujung saku mantelku, dan aku menemukan sebuah bola kaca. Dengan kesal kulemparkan bola itu ke jalan.
Gip hanya terdiam.
Untuk sesaat kami berdua terhenyak.
“Ayah!” Kata Gip, pada akhirnya, “itu ADALAH toko yang keren!”
Aku menanggapinya dengan memikirkan bagaimana seluruh hal yang baru saja terjadi terlihat baginya. Dia tampak tak terguncang – sejauh ini, baik; ia tidak takut atau kacau, ia amat puas dengan hiburan siang tadi, dan di lengannya tergolek empat bingkisan.
Sungguh aneh! Apa isinya?
Ehm!” Kataku. “Anak kecil tidak boleh pergi ke toko seperti itu tiap hari.”
Gip menerimanya dengan sikap tabahnya yang biasa, dan sesaat aku menyesal menjadi ayahnya dan bukan ibunya, dan tidak lekas, saat itu di dalam taksi, menciumnya. Setelah semuanya berlalu, kupikir, itu tak begitu buruk.
Baru ketika kami membuka bingkisannya aku benar-benar mulai yakin. Tiga bingkisan berisi kotak prajurit, prajurit biasa, tapi sangat elok sehingga Gip benar-benar lupa kalau bingkisan ini adalah Trik Magis yang paling murni, dan bingkisan keempat berisi seekor anak kucing, anak kucing putih yang mungil, sehat walafiat dan berperilaku baik.
Aku menyaksikan Gip membuka bingkisannya sengan semacam kelegaan sesaat. Setelah kejadian itu aku mondar-mandir di kamar untuk waktu yang entah ….
Itu terjadi enam bulan lalu. Dan sekarang aku mulai percaya bahwa tak ada yang aneh. Si anak kucing berlaku seperti anak kucing kebanyakan, dan para prajurit terlihat ajek sebagaimana yang diinginkan seorang kolonel pada kompinya. Dan Gip –?
Orang tua yang cerdas akan mengerti kalau aku harus bersikap hati-hati pada Gip.
Tapi aku melangkah terlalu jauh suatu hari. Aku bilang, “bagaimana kau bisa membuat prajuritmu hidup, Gip, dan berjalan dengan sendirinya?”
“Prajurit-prajuritku bisa melakukannya,” kata Gip. “Aku hanya harus mengatakan mantra sebelum aku membuka tutupnya.”
“Lalu mereka akan berjalan dengan sendirinya?”
“Oh, DIAM, Ayah. Aku menyukai mereka karena mereka bisa melakukan itu.”
Aku menunjukkan rasa kaget yang mengesalkan, dan sejak itu beberapa kali aku muncul di hadapannya, tiba-tiba, saat ia tengah bermain dengan para prajuritnya, tapi sejauh ini aku tidak pernah melihat mereka menampilkan apapun layaknya benda ajaib.
Sangat sulit untuk diceritakan.

Ada juga pertanyaan soal uang. Aku punya kebiasaan akut untuk selalu membayar tagihan. Beberapa kali aku melewati Regent Street, mencari toko itu. Aku cenderung berpikir, tentu saja, agar kehormatanku terjaga, karena mereka tahu nama dan alamat Gip, aku sangat berharap orang-orang ini, siapapun mereka, mengirimkan tagihannya padaku sesempat mereka.[]

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook