Amalia Yunus Memberi Hak Sejarah untuk Ken Dedes

21.29



Oleh: Satya Adhi

Perempuan dalam dongeng-dongeng tanah Jawa adalah perempuan-perempuan yang tubuhnya dipandang oleh laki-laki. Premisnya serupa, ada perempuan jelita, laki-laki memandangnya, lalu di situlah permasalahan dimulai.


Kita bisa mengambil beberapa contoh dongengan semacam ini. Nawang Wulan yang dilihat Jaka Tarub saat sedang mandi. Roro Jonggrang yang digilai Bandung Bondowoso hingga rela membuat seribu candi untuknya. Dayang Sumbi yang awet muda dan memadu asmara dengan anaknya, Sangkuriang.


Nasib perempuan dalam penulisan sejarah Nusantara yang sering teramat maskulin – terutama di buku-buku pelajaran sekolah – tak berbeda jauh dengan perempuan-perempuan negeri dongeng. Sejumlah prasasti dan kitab yang merekam beberapa tokoh perempuan penting adalah pengecualian. Misalnya, Pramodhawardani yang menjadi salah satu tokoh kunci di balik berdirinya Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Kemudian ibu-anak Gayatri Rajapatni dan Tribuwana Tungga Dewi yang kelak membawa kerajaan Majapahit ke puncak kejayaan.


Satu perempuan lainnya dalam masa lalu Nusantara ada di batas antara fiksi dan sejarah. Ialah Ken Dedes, perempuan yang terekam dalam kitab Pararaton sebagai permaisuri Ken Angrok, raja pertama Kerajaan Singasari. Itu pun, Pararaton tak memberi porsi yang layak bagi Dedes dalam penulisannya.

(Baca selengkapnya ....)


“Di kitab tersebut pun, nama Ken Dedes hanya disebut terkait empat peristiwa: saat penculikanya oleh Tunggul Ametung, saat Ken Angrok melihat kewanitaannya yang bersinar, saat disebutkan nama anak-anak yang dilahirkannya beserta keturunannya yang kemudian menjadi raja-raja Singasari dan Majapahit, dan saat Anusapati menanyakan kepadanya kebenaran mengenai ayah kandungnya” (halaman 335).

Di sinilah Amalia Yunus menghadirkan proyek dongeng-novel sejarah ambisius untuk memenuhi hak Ken Dedes atas perannya dalam sejarah Singasari. Tutur Dedes: Doa dan Kutukan muncul bak autobiografi fiksi Dedes terhadap berbagai peristiwa yang ia alami; mulai dari peristiwa ia lahir, berguru pada Anjani si pendekar, diculik Tunggul Ametung, hingga kelahiran keturunannya yang menjadi penguasa Singasari.


Sejak kalimat pertama, novel ini menggambarkan Dedes sebagai tokoh pusat yang melihat semua kejadian di sekitarnya, bahkan sejak mula ia dilahirkan. “Aku ingat dengan jelas detik demi detik saat aku dilahirkan di dunia ini …. Bukan dari apa yang kelak diceritakan kembali kepadaku secara berkobar-kobar oleh Nyi Menur, dukun beranak yang membantu kelahiranku, ….” (halaman 2).


Amalia menciptakan Dedes sebagai tokoh yang “memandang” dan menolak sekadar “dipandang” oleh orang lain sejak awal kisah. Ini satu hal yang menarik, sebab pengenalan karakter perempuan dalam novel dan dongeng masa lampau – terutama yang dituturkan dan ditulis oleh laki-laki – kerap dimulai dengan deskripsi tubuh. Pengenalan tokoh utama dalam Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya misalnya.


“Kuncup-kuncup di dadanya baru merupakan janji yang masih harus diuji kesanggupannya memenuhi harapan alam dalam usaha raya melangsungkan kehidupan. Tubuhnya pun masih terlalu muda untuk memikul hidup perempuan miskin kawula alit. Akan tetapi sikapnya, pancaran sinar tekadnya, teristimewa kalau orang melihat kedua mata galak nyaris kurang ajar itu, sudahlah benar-benar meyakinkan” (Rara Mendut: Sebuah Trilogi, Gramedia Pustaka Utama: 2008).


Perbedaan sudut pandang inilah yang terasa sangat tegas dari Tutur Dedes: Doa dan Kutukan ketimbang karya lain yang sejenis. Amalia mengisahkan Dedes sebagai pelaku sejarah yang aktif membentuk kepribadian dan sejarahnya sendiri. Si tokoh utama diriwayatkan sempat memilih namanya sendiri, Dewi Rimbu, sebelum seorang kakek di mandala memanggilnya dengan sebuah nama lain yang telah si tokoh dengar dari ramalan: Dedes. 


Dedes juga digambarkan sebagai perempuan haus ilmu. Selain belajar di mandala, ia belajar memanah ke hutan Gunung Kawi kemudian berguru pada Anjani si pendekar. Saat sudah tinggal di pakuwon Tumapel setelah diculik Tunggul Ametung, Dedes juga sadar akan pentingnya pengetahuan dan berpolitik. 


Coba saja simak keterpukauan Dedes saat mengetahui adanya perpustakaan di pakuwon Tumapel. 


“Bahkan sejak kunjungan pertamaku ke perpustakaan, aku tahu tempat itu adalah ruangan kesenanganku dibanding seluruh sudut lain di pakuwon …. Menurut perhitungan kasarku, setidaknya sepuluh ribu lontar tersimpan di satu ruangan ini. Di hadapanku, seakan-akan jendela untuk melongok ke dunia luar terbuka lebar. Aku sedikit merasa terhibur” (halaman 96).


Dedes tahu betul bahwa kesaktian dan kekuatan tak ada gunanya tanpa pengetahuan. Dalam lingkungan istana yang penuh intrik, pengetahuan adalah panglima yang kudu dimiliki para bangsawan. Dedes yakin, dengan pengetahuan yang ia punya, ia akan bebas dari dekapan Tunggul Ametung suatu hari kelak.


Kecerdikan dan kecerdasan Dedes misalnya, tergambar dari taktik yang ia usulkan saat Tumapel berperang terbuka melawan pasukan Prabu Dandang Gendhis penguasa Kadiri. Tercetuslah sebuah taktik dari hukum fisika sederhana tentang cermin dan cahaya. Pasukan Tumapel berperang menghadap matahari. Dedes kemudian memerintahkan pembuatan empat cermin raksasa untuk memantulkan sinar matahari sehingga pihak musuh terganggu penglihatannya. Pasukan Kadiri pun porak poranda.


Amalia Yunus menulis buku ini lewat gaya bercerita yang lugas, cepat, minim detail deskripsi yang berlarut-larut. Hanya saja, di bagian tengah sampai akhir novel, Amalia terasa terburu-buru mengisahkan berbagai riwayat dan peristiwa yang terjadi. Kisah pascakematian Ken Angrok jadi terasa agak hambar.


Ini bukan novel pertama yang mengisahkan hikayat Ken Dedes. Tentu kita ingat karya Pramoedya Ananta Toer yang juga masyhur, Arok Dedes. Kalau Amalia mengisahkan Dedes sebagai cerita perempuan penting dalam sejarah Singasari, Pramoedya menggambarkan kisah Ken Angrok dan Ken Dedes sebagai cerita kudeta pertama di tanah Jawa – bahkan di Nusantara. Itu pun, Arok Dedes dibuka dengan adegan ketakberdayaan Dedes.


“Ia takkan dapat lupakan peristiwa itu pertama kali ia sadar dari pingsan. Tubuhnya dibopong diturunkan dari kuda, dibawa masuk ke ruangan besar ini juga. Ia digeletakkan di atas peraduan, dan orang yang menggotongnya itu, Tunggul Ametung, berdiri mengawasinya” (Arok Dedes, Lentera Dipantara: 2015).


Inilah mengapa Tutur Dedes: Doa dan Kutukan adalah bacaan fiksi sejarah yang rasa-rasanya wajib dikenalkan kepada pembaca Indonesia sejak usia akil balig. Buku ini mengenalkan perempuan sebagai manusia yang berdaya, yang haus pengetahuan, yang punya kuasa untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Jauh dari nasib para perempuan negeri dongeng yang menderita dan terluka karena jelita tubuh mereka.[]

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook