Kamila Andini: Dunia Remaja Itu Sulit. Saya Ingin "Yuni" Bisa Sangat Reflektif.

04.44

Foto: Instagram/@kamilandini

Oleh: Satya Adhi

Aku pertama kali menonton Yuni saat pemutaran khusus di Plaza Senayan, Jakarta Pusat, 15 Oktober 2021 lalu. Setelah nonton, aku sempat ngobrol dengan beberapa pemain yang saat itu hadir.


Ngobrol dengan Muhammad Khan (pemeran Iman) di toilet setelah kencing. Wawancara ringkas bersama para pemain geng Yuni. Serta yang paling berkesan, 12 menit wawancara dengan Kamila Andini sang sutradara.


Berikut wawancara lengkap dengan sutradara film peraih Platform Prize di Toronto International Film Festival 2021 itu. (Baca selengkapnya ....)


Kenapa membuat Yuni, film tentang seorang perempuan di sebuah kampung di Banten dengan lika-liku dunia remajanya?


Sebenarnya, sih, idenya benar-benar datang karena saya dengar cerita tentang “Yuni” dari asisten rumah tangga saya. Dia cerita tentang bagaimana anaknya, akhirnya menikah dan punya anak di umur 17 tahun.


Pas pertama dengar, memang bukan cerita pertama tentang pernikahan remaja yang saya dengar. Tapi entah kenapa cerita itu tersimpan di kepala saya cukup lama. Sampai akhirnya mulai mengenang lagi pertanyaan-pertanyaan saya sebagai perempuan. Tentang pernikahan remaja, tentang kilas balik bagaimana saya ketika remaja, keinginan remaja, mimpi saat remaja, dan juga isu tentang pernikahan anak.


Di titik itu saya akhirnya bilang sama Mas Ifa, produsernya, saya tahu apa yang ingin saya suarakan untuk film ketiga saya. Dan dari situ saya mulai menulis Yuni, mulai menulis semua yang saya pikir penting untuk disuarakan saat ini, saat bicara tentang perempuan, remaja secara khususnya. Dan bagaimana mereka bisa mengejar masa depan mereka.



Isu yang diangkat dalam film ini, kan, memang sedang digaungkan akhir-akhir ini. Namun, adakah ketakutan bahwa Yuni nantinya bakal jadi film yang terlalu menggurui?


Kalau saya sebagai pembuat film, latar belakang saya, tuh, sebenarnya sosiologi. Sosiologi, antropologi, ruang sosial budaya, kesetaraan gender, itu sesuatu yang selalu saya bicarakan di film-film saya sebelumnya. Itu selalu jadi fokus terbesar saya.


Hal yang kedua yang memang selalu saya suka lakukan saat membuat film adalah, bagaimana membuat sesuatu yang menyatu dengan tanahnya. Maksudnya yang membumi.


Jadi sebenarnya kalau ngomongin ketakutan, saya enggak punya ketakutan itu, karena sebenarnya itu yang suka saya lakukan saat membuat film. Saya suka mengolah cerita dari sebuah daerah. Melihat aspek sosiologi dan antropologinya dari setiap karakter. Saya suka menceritakan relasi dalam sebuah masyarakat.


Walaupun enggak tahu juga, ya, hasilnya akan seperti apa saat saya bikin. Tapi bisa dibilang, itu proses kreatif yang selalu saya suka lakukan.



Tadi saya nonton filmnya dan suka dengan detail-detail dari latar tempat Yuni. Misalnya, bapak-bapak mencuci motor di depan rumah, ibu-ibu pengajian main marawis, dan lain-lain. Proses risetnya bagaimana, sih, Mbak?


Risetnya sebenarnya panjang, ya. Dan saya selalu suka melakukan riset untuk cerita saya. Karena saya biasanya menulis berdasarkan apa yang saya temukan. 


Jadi pas nulis awal-awal, pas punya ide, saya riset lapangan ke daerahnya. Setelah sama pemain juga kami ada riset lapangan lagi yang kedua kalinya. Sebisa mungkin saya datang ke daerah tersebut untuk melihat. 


Saya sebenarnya cukup penuh pengamatan orangnya. Saya suka menangkap hal-hal yang kecil setiap kali saya datang ke banyak tempat. Jadi setiap kali saya membuat film, saya selalu menggunakan memori kolektif itu. Hal-hal apa yang saya temukan.


Tapi sebenarnya yang paling utama adalah, kalau saya, dari awal ingin membuat film yang memperlihatkan siapa kita. Siapa, sih, orang Indonesia itu. Karakter kita itu kayak apa, sih? Kita hidup di ruang seperti apa, problematika kita apa? 


Makanya, sebisa mungkin apa pun ceritanya, saya selalu ingin memperlihatkan kita. Bagaimana keseharian kita, ruang sehari-hari kita. Bagaimana kita berelasi, bicara, ngobrol. Itu hal yang selalu saya suka untuk eksplor.



Karakter-karakter Yuni, kan, menggunakan bahasa Jaseng. Bagaimana proses menulis naskahnya?


Kebetulan memang hampir semua film saya pakai bahasa daerah. Jadi saya sudah cukup terbiasa dengan proses ini. Biasanya memang saya menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dan biasanya saya akan bekerja sama dengan komunitas bahasa lokal di setiap daerah, agar mereka bisa menerjemahkan dialognya dengan dialog sehari-hari. 


Juga mereka akan mementori para pemain untuk berbahasa seperti mereka. Tapi juga nanti pemain sendiri akan merespons, tuh. Kan tergantung, pemainnya berasal dari mana, latar belakang mereka apa. Itu akan merespons.


Jadi dialog itu selalu cair. Bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu. Tapi memang tujuannya adalah bagaimana agar si bahasa itu benar-benar hidup dan keluar dari masing-masing karakter. 



Tadi saya dengar dari para pemain juga proses latihannya enggak main-main. Sampai Arawinda Kirana (pemeran Yuni), kalau enggak salah, tinggal di lokasi selama seminggu.


Benar banget. Karena buat saya, penting banget buat mereka secara tubuh tahu keberadaan mereka di mana. 


Terutama Ara, memang cukup menantang, ya. Kalau kayak Neneng (pemeran Sarah) atau Boah (pemerang Uung), mereka pernah hidup di ruang-ruang seperti itu. Jadi mereka sudah punya memori kolektif tentang ruangnya. Tapi ada beberapa pemain yang dia butuh masukan tentang seperti apa, sih, ruangnya ini.



Tanpa bermaksud melabeli Yuni adalah film yang berbicara tentang isu spesifik tertentu, apa, sih, yang ingin disampaikan dalam film ini?


Sebenarnya, sih, saya ingin film ini bisa sangat reflektif. Pertama kali saya mendengar cerita [tentang Yuni] itu, terus terang cerita itu sangat reflektif buat saya sebagai perempuan. Saya memikirkan banyak hal dari sebuah cerita. Nah, waktu itu saya mikir, bisa enggak, sih, film itu sereflektif ini.


Bisa enggak, sih, kita mengikuti sebuah cerita, tapi kemudian kita akhirnya berefleksi dengan diri kita sendiri, ruang sosial kita, orang-orang di sekitar kita. Sebenarnya itu, sih, yang ingin dilakukan dengan film ini. Saya enggak tahu akhirnya berhasil atau enggak, tapi itu yang coba saya ingin lakukan begitu.


Bahwa cerita ini menimbulkan diskusi atau kita bisa berefleksi dengan itu, kita bisa mengenali diri kita sendiri dengan itu. 



Kenapa ungu?


Kenapa ungu? Sebenarnya ini cerita yang saya pinjam dari teman saya. Jadi teman saya memang ada yang seperti Yuni. Dia suka banget warna ungu. Dan dia merasa semua barang ungu itu punya dia. Jadi dia waktu SD juga sering dipanggil kepala sekolah karena mencuri semua barang berwarna ungu. Ha-ha-ha.


Saya terpesona dengan karakter semacam ini. Tapi di luar itu juga bagaimana ungu, kalau di Indonesia kita selalu identifikasi dengan warna janda. Yang sebenarnya juga saya enggak tahu ini dari mana, ya, asalnya. Apa hubungannya janda sama warna?


Itu pertanyaan-pertanyaan yang kemudian saya taruh saja di film.



Padahal sekarang jadi warnanya BTS. Ha-ha-ha.


Iya. Sekarang jadi warna BTS.



Saya kira karena Mbak Dini itu Army. 


Ha-ha-ha. Mungkin, mungkin. Bisa. Borahae (sambil melakukan gestur cinta khas K-Pop dengan jari).



Dari rekanku: Mbak Dini sudah bikin film sekompleks ini. Sebenarnya pesan apa yang paling ingin tersampaikan ke penonton?


Sebenarnya kalau dilihat, kerumitan semua karakter ini bicara tentang bagaimana sebenarnya masyarakat kita punya lingkaran yang, dari orang tua ke anak, terjadi lagi, begitu lagi. Dan kenapa sampai sekarang pernikahan anak dibicarakan terus, karena sampai sekarang itu terus terjadi seperti lingkaran.


Saya, sih, yang paling utama, ingin memperlihatkan bahwa remaja itu punya kebutuhan. Dia punya energi yang besar, kalau kita melihat Yuni, dia punya energi yang besar. Dia ingin mencari tahu tentang dirinya, tentang potensi dia.


Kita semua tahu, enggak gampang untuk menemukan potensi kita. Kita mau ngapain, sih, dalam hidup. Itu pencarian yang butuh waktu. Saya juga baru menemukan itu setelah umur berapa. Sampai sekarang pun saya masih terus mencari itu. 


Itu pencarian yang butuh waktu, dan anak muda itu butuh dikasih ruang untuk bisa mencari tahu siapa dia dan apa yang dia pengin lakukan dalam hidup.


Tapi, kan, pernikahan remaja selalu membuat mereka kehilangan momen itu. Sehingga dia harus tumbuh dewasa tanpa tahu siapa dia sebenarnya. Lalu dia akan menjadi ibu untuk anak remaja lagi, yang sebagai orang tua, dia juga tidak bisa memberi tahu bagaimana mendampingi kebutuhan anaknya, karena dia juga pernah kehilangan momen itu juga.


Jadi ini kayak lingkaran yang terjadi lagi, terjadi lagi, dan enggak tahu solusinya di mana. Jadi dalam hal ini saya ingin bilang bahwa dunia remaja itu sulit dan dia punya kebutuhan, dan dia perlu didampingi, dan dia perlu diakui, dan dia perlu menjadi dirinya sendiri juga.



Dari rekanku: Apa karya selanjutnya yang mau digarap?


Sebenarnya saya lagi mengerjakan film berikutnya, lagi di pasca produksi, sudah selesai syuting. Judulnya Before, Now, and Then. Kami juga kemarin baru menang di Busan International Film Festival sebagai salah satu film yang berpotensi, walaupun belum selesai filmnya.


Masih bicara soal perempuan juga. Karena kayaknya enggak pernah bisa keluar dari situ. Tapi ini film tentang perempuan dalam pernikahan di tahun 1960-an. Ini akan jadi film period pertama saya.[]

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook