Percayalah, Butuh Lengan Kuat untuk Jadi Wartawan
05.31
SETELAH MAGANG jadi wartawan, saya jadi sering push
up tiap pagi. Sebelumnya, boro-boro push
up. Mengangkat laundrian 3 kg
saja ngos-ngosan.
Rutinitas push up tadi berasal dari buah kesadaran
penting. Saya sadar kalau jadi wartawan bukan cuma butuh kemampuan menulis yang
baik, bacaan yang luas, dan kemampuan wawancara yang lamis. Ternyata, jadi wartawan juga harus punya kekuatan lengan yang
kuat.
Begini asal muasalnya. Syahdan, saya tengah magang di media daring yang sering dikira perusahaan air minum (apa hayo?) Di minggu kedua magang, di hari Jumat yang agung, koordinator liputan media tempat saya magang bersabda agar saya berangkat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Katanya, alumni gerakan 212 mau reunian di sana.
Acara
reuinian ternyata ramai juga. Tapi yang bikin ramai bukan nonton bareng Wiro
Sableng atau gerak jalan bareng Partai Syariah 212. Ternyata selain reunian, mereka
mau melayangkan pengaduan ke Komnas HAM. Kebetulan, junjungan agung mereka
tengah diterpa kasus dugaan pesan cabul. Takbir! Baca selengkapnya...
Setelah
acara pengaduan selesai, tibalah saat yang dinanti-nanti para wartawan. Mereka menyingsingkan
lengan, mengambil ancang-ancang. Para wartawan TV yang berkemeja rapi, sibuk menyiapkan
kamera dan mik. Para wartawan daring yang berjin luntur dan berkaus kumal (itu
termasuk saya), menyiapkan alat rekam atau ponsel masing-masing. Sementara
wartawan cetak jadi jenis pewarta yang paling tidak semangat liputan. Maklum, berita-berita
mereka sudah sedikit dibaca orang.
Begitu keluar
dari pintu, Ketua alumni 212 langsung dicegat! Eits, mau menghindar ke kiri,
takut dianggap PKI. Mau menghindar ke tengah, takut dirongrong Pemuda
Pancasila. Alhasil, pasrahlah ia dikeroyok tangan-tangan wartawan yang
menggenggam kuat mik, alat perekam, dan ponsel masing-masing.
Di depan
lensa kamera, ini sungguh jadi pemandangan ciamik. Seseorang berbaju koko,
berpeci, berjenggot, dengan bekas sujud di dahinya (masya Allah!), berdiri
dikelilingi tangan-tangan legam yang merekam tiap abjad yang ia suarakan.
Coba kalau
tidak ada para wartawan yang melakukan doorstop
macam ini. Pasti video atau gambar jadi hambar. Kurang ada daya tarik
semiotisnya. Iya dong. Doorstop jadi
simbol kekuasaan pers atas penguasa. Mulai dari, menteri, presiden, sampai
orang yang mengaku wali Tuhan, bakal mandek kalau sudah “dikeroyok” tangan
wartawan.
Ini pula
yang membikin doorstop lebih sering
dilakukan ramai-ramai. Sebagai buruh tulis yang nelangsa, para wartawan ini
jadi merasa senasib sepenanggungan. Sama rata, sama rasa. Siapa pun pemilik
medianya, kalau sudah urusan doorstop, para
wartawan kudu komunal.
Tapi jangan
salah. Meski jadi simbol kekuasaan pers atas penguasa, wartawan yang melakukan doorstop tidak lantas terangkat
derajatnya. Wartawan-wartawan senior dan jajaran redaktur nyaris tidak akan
pernah melakukan doorstop lagi. Tulisan-tulisan
mendalam juga akan digali dengan wawancara-wawancara mendalam. Biasanya sambil
ngopi atau makan siang bareng narasumber.
Yang masih
hobi doorstop ya wartawan-wartawan harian
yang wajib mengirim tiga, enam, bahkan sepuluh berita tiap harinya. Wawancara doorstop juga jadi yang paling
bertangungjawab atas jurnalisme ludah yang membanjiri kanal-kanal berita. Asal
sudah dapat pernyataan dari narasumber, selesai cerita. Tak perlu repot-repot
verifikasi mendalam. Wartawan doorstop adalah
wartawan kasta terendah. Cuih!
Padahal doorstop butuh kekuatan lengan yang
cukup membakar kalori. Ini saya rasakan sendiri. Serius. Satu menit pertama,
tangan masih perkasa menjulur-menggenggam alat rekam, telinga masih tekun
menyimak ucapan narasumber. Satu menit berikutnya, “semut-semut” mulai keluar
dari sarang mereka. Menit ketiga, tangan mulai gemetaran, dahi mulai dibasahi
butiran keringat. Dan menit keempat, saya menyerah! Tangan terpaksa saya
senderkan manja di bahu wartawan di depan saya.
Itulah asal
muasal rutininitas push up saya di
pagi hari. Ya, itu pun kalau sempat bangun pagi. He-he-he.
Nah, saya
jadi punya usul untuk para dosen Jurnalistik di kampus-kampus. Selain menyuruh
mahasiswanya membaca buku Bill Kovach atau Septiawan Santana, cobalah bikin kurikulum
yang membuat lengan-lengan para calon wartawan sekuat Agung Hercules. Ya, biar ndak ndredeg kalau wawancara doorstop.
Coba kerja
sama dengan dosen jurusan Pendidikan Olahraga untuk menyusun kurikulumnya. Agendakan
push up dan pull up tiap menjelang kuliah, misalnya. Jangan sampai para calon
wartawan harus latihan tangan dan lengan dengan cara indie, di kamar mandi.
Ups.[]
0 komentar