"Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia" (Max Lane): Menghadirkan Bumi Manusia di Indonesia

10.45




Judul Buku     : Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia
Penulis            : Max Lane
Penerbit         : Djaman Baroe
Tahun Terbit : Agustus, 2017
Tebal               : xii + 196 halaman

TETRALOGI Bumi Manusia selama ini mengalami dilema situasional. Di kalangan sastrawan dan intelektual akademis Indonesia, ia adalah karya sastra yang seharusnya sudah habis dibaca, ditafsirkan, dan diobrolkan. Para cendekia sudah selayaknya bergerak membicarakan karya-karya sastra kolonial maupun pascakolonial dengan sudut pandang yang lain.

Namun di kalangan orang awam, Tetralogi Bumi Manusia adalah tebing jauh yang tak terlihat apalagi tergapai. Semua orang ber-KTP Indonesia harus-wajib mencapai tebing itu kalau tidak mau jatuh ke jurang sesat sejarah dan sesat pikir. Mau tidak mau, butuh kerja keras untuk membangun jembatan ke arah sana.

Maka, ketika buku Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia dirilis, tantangan besarnya adalah: pertama, apakah buku ini bisa menghadirkan tafsir segar atas Tetralogi Bumi Manusia sekaligus; kedua, apakah buku ini bisa menyihir orang awam untuk membaca karya agung Pram itu.

Dua tantangan itu sebenarnya berpeluang untuk bisa terjawab. Latar belakang Max Lane yang seorang akademis cum aktivis, memberikan ia kelonggaran untuk menerobos sekat ilmiah tanpa mengorbankan objektivitas. Dalam esai-esainya di buku ini, Max Lane terlihat berusaha menjawab dua tantangan itu. (Baca selengkapnya...)

Ketidakhadiran “Indonesia”

Sudah jadi rahasia umum kalau Tetralogi Bumi Manusia mengisahkan soal awal kesadaran nasionalisme Indonesia. Pram juga mengakui hal ini. Namun, yang tidak banyak pembaca sadari – dan sialnya Max Lane sadari – adalah absennya Indonesia dalam empat jilid Tetralogi yang pertama kali dioralkan di Pulau Buru itu. Kata “Indonesia” tidak ada dalam lebih dari 2000 halaman Tetralogi Bumi Manusia.

Ini sebenarnya fakta yang wajar. Di awal abad 20, kata “Indonesia” memang belum jamak dipakai. Partai politik pertama yang resmi memakai nama “Indonesia” adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lahir tahun 1929, satu tahun setelah Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Sebelum itu, nama “Indonesia” tidak lebih populer dibanding “Hindia.”

Baik organisasi maupun terbitan yang didirikan Minke alias T.A.S tidak memakai kata “Indonesia.” Minke memilih nama Syarikat Priyayi, kemudian Syarikat Dagang Islam, hingga berubah menjadi Syarikat Islam. Sementara untuk terbitan, T.A.S memilih nama Medan Prijaji dan Poetri Hindia.

Dalam tafsirannya soal ini, Max Lane tidak mau terjebak dalam fakta sejarah semata. Dia membaca ketidakhadiran Indonesia di Bumi Manusia, sebagai upaya Pram untuk melakukan pemisahan antara Indonesia lama (pra Revolusi 1945) dan Indonesia baru (pasca Revolusi 1945). “Jika diajukan pertanyaan: apa plot dasar Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa khususnya! Inilah jawabannya: lahirnya suatu kepribadian baru” (hal. 69-70).

Lane dengan sungguh menggebu-gebu memaknai Tetralogi Bumi Manusia seperti ini. Ia – dan Pram – menolak tafsiran sejarah Orde Baru yang mengkhultuskan Indonesia sebagai titisan suci Sriwijaya dan Majapahit. Hindia Belanda dan Indonesia adalah dua negara yang berbeda yang saling menolak satu sama lain.

“Indonesia tidak hadir sebagai suatu kesinambungan dengan masa lampau. Indonesia akan berupa penolakan terhadap masa lampau, entah diakui demikian atau tidak oleh orang-orang lain” (hal. 169). Bagi orang-orang yang belum membaca Bumi Manusia dan tiga roman lanjutannya, ini jelas sebuah penafsiran sejarah yang baru dan revolusioner.

Multatuli, Kartini, hingga Minke alias T.A.S, bagi Pram adalah orang-orang yang melihat (atau tidak mengira?) bahwa sebuah negara baru akan lahir menggantikan Hindia Belanda yang feodal. “Ketidakhadiran Indonesia di waktu kini di dalam novel-novel Bumi Manusia memposisikan penulisnya di dalam kubu orang-orang yang melihat nasion-nasion sebagai suatu ciptaan baru” (hal. 167).

Bumi Manusia untuk Revolusi?

Ketika bergerak dari satu esai ke esai lain, pembaca akan menemui pemikiran khas seorang Max Lane. Baginya, Tetralogi Bumi Manusia harus diajarkan ke siswa menengah Indonesia. Dengan demikian, sebuah Revolusi baru akan muncul menyelesaikan negara yang belum selesai ini (Unfinished Nation).

Pembaca bisa menduga bahwa pemikiran semacam ini dipengaruhi latar belakang Max Lane. Ia aktivis Kiri sekaligus teman ngobrol Pram. “Keahlian saya berasal dari pengalaman. Dari realitas,” katanya saat ceramah peluncuran bukunya.

Bagi Max Lane, fokus Pram pada sastra ada pada tujuannya untuk penuntasan Revolusi. “Penekanannya adalah pada penyingkapan akar-akar historis situasi kontemporer; pada penilaian situasi masa kini sebagai hasil perjuangan sosial dan politik, dan dengan cara demikian dapat menyediakan suatu panduan untuk, tentu saja, ‘penuntasan revolusi’ ” (hal. 59).
Ini adalah sebuah kesimpulan yang sangat berisiko. Max Lane seolah abai dengan kondisi zaman. Padahal, sejak Reformasi, negara yang kata dia belum selesai ini terus berjalan, dan akan terus berjalan, dengan atau tanpa revolusi yang ia idam-idamkan. Lane terdengar sangat tendensius ketika menyimpulkan hal ini.

Tapi ada hal lain yang barangkali dipertimbangkan Lane. Ia mempertimbangkan bahwa pembaca esai-esainya bukan hanya intelektual yang sudah tamat Tetralogi Bumi Manusia sejak kuliah semester satu. Ia mempertimbangkan kalangan pembaca yang sama sekali awam soal siapa itu Pramoedya Ananta Toer.

Pertimbangan macam ini yang membedakan Max Lane dengan Indonesianis kawakan, Ben Anderson. Dalam membaca Pramoedya dan karya-karyanya, Ben sungguh lihai dalam analisis-analisis akademis yang disajikan secara fleksibel (bahkan populer). Sementara Max Lane semacam mencampuradukkan gaya pemikiran akademis dengan pamflet aksi jalanan.

Akhirnya, kalau ditanya apakah Max Lane berhasil menjawab dua tantangan yang mengadang bukunya, jawabnya barangkali demikian. Bagi kalangan intelektual akademis, kumpulan esai Max Lane adalah gagasan agak segar yang ditulis dengan objektivitas yang sengaja dikurangi.

Sementara bagi manusia-manusia awam, buku ini jadi upaya untuk menghadirkan Tetralogi Bumi Manusia di rak-rak buku mereka. Apa pun yang terjadi, Bumi Manusia (sekali lagi) wajib-harus hadir secara utuh di Indonesia. Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia adalah Jembatan yang mejauhkan pembaca terhadap penyesalan semacam ini:


“Ketika saya akhirnya membacanya, saya jadi menyesal kenapa saya belum membacanya waktu umur saya lima belas tahun. Dengan fanatisme masa remaja waktu itu, saya pasti akan mengadopsi idealisme Minke yang penuh gairah menjadi idealisme saya sendiri” (hal. 149).[]

(Pertama kali terbit di basabasi.co, 30 September 2017)

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook