Kuasa Personal Media Sosial
11.07
PENGHUJUNG TAHUN 2017 di awal abad 21 ditutup
(dan dibuka) dengan angka-angka fantastis dari jagat maya. Musisi asal Amerika
Serikat, Selena Gomez – atau rasanya lebih enak kalau disebut @selenagomez – menjadi
akun dengan pengikut terbanyak di Instagram. Hingga 22 Desember 2017, jumlah
pengikutnya di Instagram mencapai 131 juta pengikut. Dalam daftar sepuluh akun
Instagram dengan pengikut terbanyak di semesta, supermodel Kendall Jenner (@kendalljenner)
yang berada di peringkat sepuluh saja mampu memiliki 84,8 juta pengikut (Solopos, 14 Desember 2017).
Kalau mau nekat melakukan proklamasi
kemerdekaan wilayah maya, para selebgram pasti sudah sah mendirikan negara
sendiri-sendiri. Akun @selenagomez misalnya, akan jadi negara dengan jumlah
penduduk nomor sepuluh di dunia! (data populasi penduduk dari esa.un.org)
Bahkan, para nabi dan rasul utusan Tuhan pun nyaris tidak ada yang mempunyai
pengikut sebanyak pengikut para selebgram.
Angka-angka fantastis tersebut kiranya sudah
cukup membuat kita perlu merumuskan ulang makna “media massa” secara khusus dan
“komunikasi massa” secara umum. Jika selama ini komunikasi massa dimaknai
sebagai aktivitas komunikasi dari institusi media kepada massa, kehadiran media
sosial yang bersifat personal tapi mampu menghadirkan dampak massal, akan menghadirkan
gugatan terhadap konsep-konsep dan pola pikir yang selama ini sudah kita
yakini.
Alam pikir media jurnalisme jadi tidak bisa
hanya berpusat pada media berbasis laman (website)
yang cenderung institusional, tapi perlu berpusat pada media sosial yang
personal-massal. (Baca selengkapnya...)
Jika melihat perolehan iklan pada 2017, TV
masih jadi media dengan perolehan iklan terbanyak, yakni sebesar Rp 65,1
Triliun, disusul koran sebesar Rp 15,6 Triliun (Nielsen.com). Sementara melalui
pengamatan kasar, kita bisa memperkirakan belum banyak pengiklan yang mau
mengiklan secara besar-besaran di media daring. Bandingkan dengan media sosial
yang meraup keuntungan luar biasa. Tahun ini, dari segmen mobile diperkirakan pendapatan Instagram mencapai USD 2,81 miliar atau
sekitar Rp 38 Triliun (inet.detik.com, 29 Juli 2015). Sementara Facebook
berhasil meraup keuntungan sebesar Rp 230,8 triliun sepanjang semester pertama
2017 (katadata.co.id).
Untuk memahami revolusi komunikasi yang masih
akan terus berlanjut, memahami pergolakan media daring di Indonesia sejak kemunculannya
jelang Reformasi hingga sekarang, bisa mempermudah pembacaan situasi di Orde
Media Sosial. Dengan begitu, kita bisa memahami bagaimana perubahan platform media jurnalisme menjadi begitu
cepat dan mengerikan.
Kemunculan
Awal Media Daring di Indonesia
Internet adalah proyek pembangunan teknologi
Soeharto yang pada akhirnya memakan tuannya sendiri. Semua bermula pada akhir
1980-an hingga awal 1990-an, ketika pemerintah Orde Baru berambisi
mengembangkan sayap di bidang teknologi. B.J. Habibie yang saat itu menjabat
Menteri Negara Riset dan Teknologi, memimpin proyek pembangunan teknologi –
termasuk internet.
Permintaan terhadap akses internet kemudian
mulai meledak pada akhir 1995 hingga awal 1996. “Hingga akhir 1995 diperkirakan
ada 15.000 pengguna internet di Indonesia, dilayani oleh lima Internet Service
Providers (ISP, Penyedia Jasa Internet), komersil ditambah juga IPTEKnet.…
Menjelang akhir 1996 diperkirakan ada 40.000 pelanggan…” (Hill & Sen, 2001:
229-230).
Peningkatan angka pelanggan internet membuat arus
informasi mendadak meliar. Jurnalisme cetak yang harus serba tertib dan patuh
kepada pemerintah mendapat saingan dari bentuk jurnalisme baru di media daring.
Arus informasi di internet yang tidak bisa disensor juga membuat pemerintah
merasa bahwa internet adalah ancaman baru bagi stabilitas negara. Bredel akbar
yang menimpa TEMPO, Detik, dan Editor pada 1994, bahkan ditanggapi TEMPO dengan menerbitkan TEMPO Interaktif secara daring. Untuk pertama kalinya, para
pegiat pers sadar ada cara lain untuk menghindari sensor pemerintah.
“Sukses dari pengganggu terbesar bagi tentara
dan Deppen adalah sukses besar sebuah list
diskusi lewat email ‘Indonesia-1’, lebih populer disebut apakabar, yang dimoderatori oleh John
MacDougal di Marryland, AS” (ibid. 234).
Pada akhir 1995, sekitar 13.000 orang mengakses apakabar.
Puncaknya – dan ini yang jarang disebut – “Pada
hari-hari terakhir (Orde Baru), beberapa mahasiswa yang menduduki gedung
parlemen, memakai komputer laptop untuk
‘mengirimkan berita secara online, sementara tentara dengan ketat menjaga di
sekeliling mereka’ (Sentot E. Baskoro, 1998, dalam Hill & Sen, 2001: 227).
Pasca reformasi, kiranya sungguh layak
menyebut detik.com sebagai saudagar
bisnis jurnalisme berbasis media daring. Detik.com
terbilang cepat merespon keran kebebasan pers cum revolusi komunikasi yang tengah terjadi. Dua bulan setelah
Soeharto mundur, pada 9 Juli 1998 detik.com
resmi tayang di jagat maya. Baru setelah itu media cetak ramai-ramai
membuat versi daring terbitan mereka. Juga media-media daring anyar yang tidak
berbasis media cetak membuncah di jagat maya. Hingga kini, detik.com masih menduduki peringat keempat laman yang paling sering
diakses di Indonesia setelah Google.co.id,
Google.com, dan Youtube.com (data
dari alexa.com). Itu berarti, detik.com adalah
media berita yang paling sering diakses warganet Indonesia.
Sejak itulah masa-masa suram bisnis media
cetak berlangsung. Berdasar data yang dihimpun Tirto.id, ada belasan media cetak yang berhenti terbit sejak 2014.
Di antaranya tabloid Gaul, Koran Tempo
Minggu, The Jakarta Globe, Harian Bola, Sinar Harapan, serta majalah sastra
Horison. Tapi kita harus segera move on dari masa-masa suram tersebut.
Karena jika terus berkubang pada keterpurukan media cetak, media daring
berbasis laman akan tergerus oleh media sosial.
Doktor Komunikasi Illinois University, Alwi
Dahlah, sudah mengingatkan kita tahun 1996 – tahun di mana ledakan jumlah
pengguna internet mulain muncul. “Dalam internet, begitu banyak provider dan home page, sehingga pemakai internet dapat memilih apa yang mereka
inginkan” (Cakram, Januari 1996).
“Dapat memilih apa yang mereka inginkan”
menjadi kata kunci yang perlu dipahami di era Orde Media Sosial. Pusat
informasi bukan lagi ada di produsen pesan, tapi telah berpindah ke
jempol-jempol bengkak para pengguna gawai. Penyedia informasi bukan lagi hanya
media-media berita arus utama. Orang per orang pun bisa menjadi penyedia
informasi lewat interaksi-interaksi anonim, interaksi tanpa timbal balik
(Holmes, 2012: 315).
Persaingan akun milik media berita dengan
akun milik selebgram di media sosial bisa kita amati secara mudah. Sebagai
ilustrasi, coba buka akun Instagram media berita daring yang paling banyak
diakses di Indonesia, @detik.com. Hingga kini jumlah pengikutnya berkisar di
angka 571 ribu. Lalu coba buka akun Instagram @ayutingting92. Sampai tulisan
ini ditulis, jumlah pengikutnya mencapai 22,9 juta pengikut! Jika pada 2016 Ayu
Ting Ting didaulat oleh katadata sebagai
orang Indonesia dengan pengikut paling banyak di Instagram, kita hampir bisa
memastikan predikat tersebut belum tergoyahkan sampai sekarang.
Kita juga tak boleh lupa bahwa kini Indonesia
punya 132 juta lebih pengguna internet (inet.detik.com)
– sedikit lebih banyak dari total pengikut @selenagomez. Jadi sekira 15,5
persen pengguna internet di Indonesia adalah jemaat @ayutingting92! Apalagi, yang sungguh perlu kita ingat, detik.com dikelola secara profesional
dan melibatkan ribuan karyawan. Sementara Ayu Ting Ting cuma satu orang saja.
Jika kita masih meyakini perkataan – meminjam
Andreas Harsono – “jangan ada perbedaan kualitas jurnalisme, apapun mediumnya,”
sudah sangat wajib hukumnya media berita atau media berbasis jurnalisme menaruh
perhatian utama ke media sosial. Media
sosial tidak bisa hanya dijadikan sarana publikasi dan sirkulasi. Media sosial
adalah platform utama media jurnalisme
dekade ini dan satu dekade depan. Menjinakkan media sosial yang semrawut, tak
teratur, anarkhi, adalah tantangan tersendiri yang mau tak mau harus dihadapi.
Pada akhirnya, jagat maya adalah semesta di
mana Tuhan pun bahkan tidak memiliki kuasa di sana. Manusia menjadi Tuhan di
jagat maya. Di sana, masing-masing dari kita punya kuasa, termasuk untuk menentukan
sampai kapan jurnalisme akan terus hidup. Selamat panjang umur dan bahagia di
Orde Media Sosial.[]
(Pertama kali disampaikan pada diskusi Masyarakat Era Orde Media di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, 26 Desember 2017).
0 komentar