SEPOTONG
malam, di sini aku akan mati. Jidat langit melompong
tanpa gemintang. Gelap. Bubuk tanah hambar tak menguarkan bau. Satu-satunya
aroma yang kuhirup memancar dari tubuhku. Anyir.
Dadaku
sakit sekali. Merah. Beruntung angin bernapas sejuk. Suara daun-daun tebu
bercumbu menenangkan. Udara semacam ini biasa membuatku masuk angin. Tapi
kali ini embusannya cukup buat menghibur sakit di dadaku.
Oi!
Menyingkir dari kakiku, tikus sialan. Belum saatnya kau makan malam.
Menyingkir, kubilang! Asu. Oh, jangkrik … ya, teruslah nembang seperti itu. Para
daun, bercumbulah lebih semangat. Rancak. Nah, seperti itu. Tidak, jangan
kalian, para tikus! Diam! Kalian merusak tabuhannya.
Ada
suara motor berderu. Suaraku tertahan, sial. Tolong … tol …. Keluarkan suara
lantangmu wahai tenggorokan terkutuk! Suara motornya menghilang. Aku harus
bertahan. Aku akan menunggu motor selanjutnya lewat. Iya, aku akan menunggu.