Bulu Tangkis Indonesia, Terima Kasih!
12.24Foto: Antara |
Oleh: Satya Adhi
Jumat kemarin aku kecewa. Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan kalah dua set dari pasangan Taiwan, Lee Yang/Wang Chi Lin di semifinal. Tak ada emas dari ganda putra. Dan hari itu -- pikirku -- tak ada emas dari bulu tangkis.
Waktu itu, Greysia Polii/Apriyani Rahayu dan Anthony Ginting memang masih berpeluang dapat emas. Masing-masing di nomor ganda putri dan tunggal putra. Namun sebagai penggemar bulu tangkis yang cukup rajin menyimak pertandingan-pertandingan mereka di berbagai turnamen, yang tahu betul bahwa keduanya kerap tak konsisten dan nyaris selalu gagal di semifinal, harapanku ke mereka saat itu setipis kertas tisu.
Malamnya aku menelepon adik perempuanku. “Aku bad mood,” kataku. Kami sama-sama suka bulu tangkis, dan aku ngomong beberapa kalimat tentang kekecewaanku. Aku takut tragedi London 2012 berulang.
Di Olimpiade London 2012, jangankan medali emas, sebiji medali dari tepok bulu saja Indonesia tak dapat. Ahsan/Bona kalah di perempat final. Owi/Butet kalah di semifinal, dan di perebutan medali perunggu mereka tak berkutik lagi. Taufik Hidayat … era keemasannya sudah habis. Ia keok dari Lin Dan di babak 16 besar.
Tahun 2012 yang katanya mau kiamat, benar-benar jadi kiamat kecil buat bulu tangkis Indonesia. Pulang tak dapat medali, kita masih harus menanggung malu akibat skandal “main sabun” di nomor ganda putri. Greysia Polii/Meyliana Jauhari dan dua pasangan Korea Selatan serta sepasang dari Tiongkok didiskualifikasi. Mereka dianggap memanipulasi permainan supaya mendapat lawan yang “enak” di babak berikutnya.
Di Tokyo kali ini, situasi tetiba memburuk, sehingga de javu London 2012 menghantui. Pikirku, kalau pun dapat medali, paling-paling perak atau perunggu. Calon-calon lawan Gel/Apri dan Anthony terlalu berat. Kalau melaju ke final, Gel/Apri aku prediksi ketemu ganda putri Tiongkok, Chen Qing Chen/Jia Yi Fan, sedangkan Anthony -- andaikata lolos ke semifinal -- mungkin akan bertemu Chen Long sang juara bertahan.
Malam itu aku enggak bisa tidur. Pikirku, suasana hati bakal rusak sebulan kalau Indonesia tak bawa pulang medali emas. “Kalau perak atau perunggu bagaimana? Masih mending, kan, daripada enggak sama sekali.” Ini Indonesia, Bung! Negara dengan sejarah panjang prestasi bulu tangkis dan tradisi emas di olimpiade. Perak dan perunggu tidak ada harganya. Emas harga mati!
Aku sampai-sampai berpikir, “kayaknya enak, ya, jadi penggemar bulu tangkis di Tiongkok.” Nyaris di tiap turnamen, Tiongkok pasti gondol setidaknya satu gelar. Di turnamen-turnamen mayor macam bulu tangkis, apa lagi. Mental tempur pebulu tangkis Tiongkok selalu sekuat baja di kejuaraan dunia dan olimpiade.
Lalu aku buka Twitter. Di sana, aku bertemu sebuah meme respons atas omongan netizen yang mengerdilkan peraih medali perunggu. “Just bronze,” katanya. Lalu meme itu menggambarkan bahwa untuk berdiri di podium ketiga, ada ratusan kesusahan yang harus dialami si atlet. Kesusahan yang enggak dilihat orang-orang yang seenaknya berkomentar “cuma perunggu.”
Aku merenung sebentar. Meme itu ada benarnya. Aku mulai berpikir lagi. Kalau penggemar kayak aku saja kecewa, apalagi si pemain dan tim pelatih. Setelah latihan panjang dan keras yang mereka jalani, pasti mereka lebih ingin jadi juara. Lebih ingin dapat medali emas.
Masih tak bisa tidur, aku buka berbagai liputan olimpiade di YouTube. Aku juga menonton serial dokumenter petenis Jepang, Naomi Osaka di Netflix. Tontonan-tontonan tadi memberiku sudut pandang lain.
Begini. Jagat olahraga itu neraka. Dari jutaan bocah yang ingin jadi juara, cuma sebagian yang akan jadi atlet profesional. Dari sebagian yang jadi atlet profesional, hanya segelintir yang performanya apik. Dari yang performanya apik itu, tak banyak yang bisa berkontes di olimpiade. Dari yang bisa berkontes di olimpiade, cuma tiga yang berhak naik podium. Dan dari tiga penghuni podium, hanya satu yang ada di podium tertinggi.
Dunia lebih sering mengingat para pemenang. Itu berarti, ada begitu banyak atlet yang berlatih sejak kecil, yang merelakan masa bocah mereka demi latihan pagi-siang-malam. Yang demi menggapai mimpi jadi juara, tak sempat mencoba berbagai kenakalan masa remaja. Yang meski sudah berlatih sekuat tenaga, langit tampaknya masih tak merestui mereka jadi yang terbaik. Dan mereka bakal terlupakan. Perjuangan mereka tak akan diingat, dicap sebagai atlet yang gagal.
Pikiranku mulai terbuka. Bukan. Perasaanku mulai terbuka. Aku sadar, tak semestinya menyumpahi mereka yang gagal -- yang telah berusaha sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Kepalaku agak tenang, meski belum sepenuhnya teratur. Aku tidur.
Dalam tidur aku bermimpi. Aku dan kawan-kawan ikut malam keakraban di sebuah daerah dataran tinggi. Saat acara malam hari, beberapa temanku kesurupan. Setelah sadar, dua teman perempuanku bilang, “rasanya seperti mau mati. Aku takut.” Aku merangkul mereka berdua, berusaha menenangkan. “Sudah tidak apa-apa. Jangan takut.”
Pagi harinya, adegan itu menancap di ingatan. Aku di tengah, merangkul-menenangkan dua teman perempuanku. Itu mimpi biasa, atau ada pertanda untuk tim bulu tangkis Indonesia, aku tetap tak tahu.
Hari itu semifinal ganda putri dan perempat final tunggal putra dimainkan. Perasaanku lebih baik. Lebih tahu harus bersikap apa jika ketakutan terbesarku benar-benar terjadi.
Di nomor ganda putri Gel/Apri bermain baik sekali. Mereka melibas pasangan Korea Selatan, Lee So-hee/Shin Seung-chan, dua set saja. Di sektor tunggal putra, Anthony Ginting bermain tiga gim melelahkan dan kalahkan Anders Antonsen dari Denmark. Aku sedikit bisa bernapas lega.
Esoknya Anthony kalah dari Chen Long di semifinal. Ini sudah aku prediksi. Jadi, waktu itu suasana hatiku tak terlalu buruk. Anthony masih bisa rebut perunggu.
Senin, 2 Agustus 2021. Final ganda putri pertama untuk Indonesia dalam sejarah bulu tangkis di olimpiade. Seperti yang aku prediksi, Gel/Apri melawan pasangan Tiongkok, Chen/Jia. Sebelum pertandingan mulai, aku mengirim pesan ke adik perempuanku.
“Ga kuat nonton. Gemeteraan.”
“Ih, sama. Tapi pengin lihat,” balasnya.
Pertandingan mulai. Gel bermain apik di poin-poin awal. Pukulan dropshot menyilang dan penempatan backhand-nya kelas dunia. Service yang biasanya jadi kelemahan Gel, justru jadi senjata. Pertahanan Gel dan Apri juga tangguh sekali. Mereka bermain lepas, sesuai strategi.
Sebaliknya, Chen/Jia terlihat gugup. Chen berulang kali melakukan kesalahan sendiri. Sedangkan tugas Jia lebih berat: harus menenangkan Chen dan putar otak buat menembus pertahanan pasangan Indonesia. Kedua pemain Tiongkok itu berusaha mempercepat permainan demi mendulang poin, tapi berulang kali Gel/Apri berhasil mendikte tempo agar menguntungkan mereka.
Set pertama, 20-19, Gel/Apri unggul. Ini poin krusial. Kalau tertikung, mental bisa jatuh dan di gim kedua, permainan bisa kacau.
Chen lakukan serve ke Apri. Tiga sampai lima pukulan pertama dikembalikan dengan bola-bola rendah ke setengah lapangan. Lalu Gel/Apri mulai terpancing mengangkat bola. Beberapa smash dan dropshot ditembakkan Chen/Jia, tapi masih berhasil dibendung. Permainan ketat lagi. Pasangan Indonesia lebih banyak mengangkat bola ke belakang lapangan. Jia lakukan dropshot. Sekali. Dua kali. Lalu bola ketiga dia eksekusi dengan smash ke arah Apri. Pengembalian Apri tanggung. Celaka, pikirku. Chen yang berdiri di depan dengan cepat menyerobot bola. Jantungku makin berdegup cepat. Apri masih bisa mengembalikannya. Namun pengembaliannya tanggung lagi. Kali ini pasti mati. Chen sudah siap lancarkan pukulan enak dari pengembalian tanggung Apri. Tanganku makin gemetaran.
Dan bola pukulan Chen memanjang. Cukup jauh dari garis belakang lapangan. Ajaib! Ajaib! Bola yang cukup mudah seperti itu bisa gagal dieksekusi. Pasangan Indonesia amankan gim pertama.
Di set kedua, mental pasangan Tiongkok tampaknya makin terpuruk. Kesalahan di poin 20-19 seperti membuat Chen makin grogi, makin banyak berbuat kesalahan sendiri. Kalau sudah begini, pasangannya tak akan bisa main enak. Jia jadi ikut sering berbuat kesalahan. Gel/Apri pun unggul cukup jauh. Interval pertama gim kedua ditutup dengan kedudukan 11-7.
“Polii and Rahayu are just ten points away from the olympic gold medal,” kata Gill Clark dari bilik komentator.
Di interval kedua, Chen/Jia semakin tak berkutik. Keunggulan Gel/Apri tambah menjauh. Dari 11-7 menjadi 12-8. Dari 12-8 dengan relatif cepat melesat jadi 18-10. Aku mengirim pesan lagi ke adik perempuanku.
“Jangan senang dulu. Belum 21.”
Morten Frost yang menemani Gill Clark sebagai komentator sepemikiran denganku. “We’ve seen the come back with bigger gap than this.”
Benar saja. Saat Gel/Apri baru dapat poin 19, pasangan Tiongkok mendadak mudah mendapat poin hingga kedukan 19-14. Namun Chen/Jia terlambat. Gel/Apri kadung percaya diri, bahwa dengan dua poin lagi, mereka akan bisa mewujudkan mimpi masa bocah mereka.
Satu angka kembali diraih pasangan Indonesia akibat pengembalian melebar dari Jia. Jantungku berdegup cepat lagi. 20-14. Satu lagi, dan medali emas bakal dibawa pulang ke kampung halaman.
Gel lakukan forehand serve panjang. Chen mengembalikannya ke arah Apri dengan dropshot tajam. Pengembalian Apri melebar. Kedudukan kini 20-15. Tidak apa. Ayo tuntaskan di kesempatan berikutnya.
Kali ini, Jia lakukan serve pendek ke arah Apri. Apri mengangkat bola ke belakang lapangan. Chen lancarkan smash agak mendatar ke arah Apri. Smash sukses dikembalikan. “Bismillah. Bismillah. Bismillah.” Aku bergumam sepanjang reli.
Chen mengangkat bola. Apri mundur, Gel melangkah maju, rotasi ke posisi menyerang. Apri lancarkan smash ke arah Jia. Pemain kidal itu mengembalikannya dengan backhand yang agak tanggung. Gel menyerobot cepat, kembali ke arah Jia. Jia mengembalikan lagi dengan backhand, kini menyilang ke sisi kiri lapangan pasangan Indonesia. Ketika bola masih melambung, aku langsung tahu kalau itu melebar. Bola akhirnya jatuh di luar garis lapangan. Hakim garis membuka lengan lebar-lebar. Pasangan Tiongkok meminta challenge, tapi aku nyaris tak peduli. Gel dan Apri juga tak peduli. Mereka sudah berselebrasi. Kami yakin bola tadi benar-benar keluar. Dan betul saja. Rekaman ulang kamera “mata gagak” mengonfirmasi amatan mata kami.
Dan yang tersisa adalah momen yang bisa kita lihat di berbagai media sosial. Gel menangis. Apri menangis. Pelatih Eng Hian memeluk mereka. Indonesia bisa pulang dari Tokyo dengan kepala tegak. Sambil merekam momen itu, aku ikut sesenggukan.
Gel/Apri berhasil mempersembahkan medali emas kedelapan Indonesia di ajang Olimpiade. Masuk ke klub para juara bersama Susi Susanti, Taufik Hidayat, Hendra Setiawan, dan kawan-kawan. Raihan itu makin lengkap ketika malam harinya, Anthony Ginting berhasil merebut medali perunggu. Di situ, aku teringat adegan dalam mimpiku. Satu lelaki di tengah, dua perempuan di sisi kiri-kanannya. Entah kebetulan atau tidak, pas sekali dengan formasi tiga atlet yang berhasil meraih medali untuk Indonesia dari bulu tangkis.
Kini aku tak ingin dilahirkan ulang sebagai orang Tiongkok sehingga bisa jadi penggemar bulu tangkis di negeri tirai bambu itu. Bahkan kalau pun Gel/Apri tak dapat emas, aku masih bangga dengan mereka. Tangisku waktu itu bukan hanya karena bulu tangkis Indonesia berhasil pertahankan tradisi emas, tapi karena bulu tangkis Indonesia telah, akan, dan selalu membuatku bangga.
Sejak pertama kali menonton Hendrawan menuding-nuding ke arah tribun di partai final Piala Thomas 2002, lalu hari ketika mama-ayah menghadiahi raket merek Killer di ulang tahunku yang ketujuh, pertemuanku dengan Ivana Lie di sebuah turnamen tingkat SD, hingga berbagai momen jatuh bangun para atlet bulu tangkis yang aku ikuti, tak ada alasan buatku untuk tidak bangga kepada bulu tangkis Indonesia.
Menggemari bulu tangkis Indonesia adalah seni mengelola perasaan. Kamu mungkin akan melihat Indonesia tak dapat gelar di berbagai turnamen terbuka. Seminggu penuh menonton turnamen, lalu kecewa karena Indonesia pulang dengan tangan hampa, seolah jadi rutinitas. Mungkin juga kamu kesal tiap melihat hanya satu pemain yang lolos ke final, dan pemain yang terlihat “niat” bermain, ya, itu-itu saja.
Namun, selama kata “menyerah” belum keluar dari lisan, yakinlah kalau bulu tangkis Indonesia akan membuatmu menangis bahagia. Membuatmu bisa menegakkan kepala di tengah dunia yang makin bengis. Bulu tangkis Indonesia, terima kasih![]
0 komentar