Dampak Insiden All England 2021: Haruskah Kita Mengkhawatirkan Performa Pemain Indonesia di Olimpiade?
08.37Foto: Reuters |
ADA satu hal yang luput dibahas pasca insiden All England 2021 kemarin. Yakni tentang dampak insiden tersebut terhadap performa pemain Indonesia di Olimpiade Tokyo Juli 2021 mendatang.
All England 2021 sebenarnya adalah turnamen yang tepat sebagai ajang persiapan menuju Olimpiade. Ia turnamen besar dan bersejarah, cocok buat menguji mental dan fisik pemain kita. Dengan absen di All England, kesempatan ini hilang. “Mesin” para pemain Indonesia pun dipaksa kembali dingin. Ini tentu berdampak ke performa pemain.
Dari 3 turnamen, kita cuma sanggup menggondol 1 gelar di nomor ganda putri lewat Greysia/Apriani di Yonex Thailand Open. Padahal Jepang dan China tidak mengirim pemain. Di nomor tunggal putra, performa Anthony Ginting dan Jonatan Christie jauh di bawah standar. Di sektor ganda campuran, Praveen/Melati tampak seperti pasangan yang baru dipasangkan.
Sedangkan di nomor ganda putra, terlihat betul betapa prestasi bulu tangkis kita sangat tergantung pada Marcus/Kevin. Begitu pasangan itu absen, prestasi kita langsung anjlok. Pasangan Ahsan/Hendra juga mulai mengkhawatirkan, sebab pasangan-pasangan yang umurnya relatif lebih muda seperti Endo/Watanabe dan Lee Yang/Wang Chi Lin jelas unggul dalam kecepatan.
Nah, itulah mengapa absen di All England sangat merugikan tim Indonesia dari segi persiapan menuju Olimpiade. Kalau menilik kalender BWF, All England adalah turnamen Super 1000 terakhir jelang Olimpiade. Setelah ini, hanya tersisa 1 turnamen Super 300, 2 turnamen Super 500, dan 1 turnamen Super 750 sebagai ajang persiapan sebelum terbang ke Tokyo.
Hal lain yang harus diingat adalah dampak penundaan Olimpiade selama setahun ke performa pemain kita. Tim pelatih biasanya menyiapkan pemain dalam siklus 4 tahunan, mengikuti siklus Olimpiade. Regenerasi dan pola latihan didesain sedemikian rupa agar pemain-pemain andalan ada pada puncak performa mereka saat Olimpiade.
Kalau Olimpiade dilaksanakan pada 2020, pemain-pemain andalan Indonesia sebenarnya sedang ada pada puncak permainan terbaik mereka. Ini terlihat dari daftar unggulan Piala Thomas 2020 (yang juga ditunda) yang menempatkan Indonesia sebagai unggulan pertama. Di nomor ganda campuran, Praveen/Melati juga tengah percaya diri setelah juara di All England 2020.
Penundaan setahun bukan cuma berdampak ke mental dan performa pemain Indonesia. Di Thailand Open, BWF World Tour Final, dan All England kemarin, kita bisa melihat performa pemain-pemain negara lain semakin “berbahaya.”
Carolina Marin masih perkasa di sektor tunggal putri. Di nomor tunggal putra, Ginting dan Jonathan kini tak hanya harus bersaing dengan Axelsen dan Momota, tapi juga dengan Lee Zii Jia si rising star. Di sektor ganda putra, posisi Marcus/Kevin dan Ahsan/Hendra makin terancam dengan performa Lee Yang/Wang Chi Lin dan Endo/Watanabe yang makin baik. Sementara di nomor ganda putri, dua ganda andalan Jepang terlihat makin susah dikalahkan. Ini belum menghitung para pemain “monster” dari China.
Mengajukan gugatan ke Pengadilan Arbitrase Olahraga memang penting. Tapi yang lebih penting adalah memastikan pemain Indonesia bisa tampil optimal di Olimpiade nanti. Ini jadi ujian buat jajaran baru pejabat PBSI. Mereka harus memutar otak untuk mencegah tragedi Olimpiade 2012 terjadi. Karena kalau bukan dari bulu tangkis, dari mana lagi Indonesia mau dapat medali emas?[]
0 komentar