Jonatan Christie Tak Perlu Sempurna. Cukuplah Ia Tampil Ciamik di Saat yang Tepat.

18.54


Foto: Badminton Photo Official via BWF

Oleh: Satya Adhi


Kunci juara Indonesia di Thomas Cup 2020 adalah Jonatan Christie. Tanpa bermaksud mengerdilkan peran pemain lain, posisi Jojo memang begitu krusial. 


Kita tahu, sektor tunggal sangat menentukan hasil di kejuaraan beregu putra maupun putri. Tunggal pertama adalah penentu mental bertanding seluruh tim. Tunggal kedua menjadi penentu arah pertandingan -- tim bisa berada di posisi unggul, tertinggal, atau seri saat ia bertanding. Dan tunggal ketiga menentukan hasil pertarungan.


Kecuali di laga pertama Thomas Cup 2020 melawan Aljazair, Jojo selalu didapuk jadi tunggal kedua. Ujian buat Jojo dimulai saat berhadapan dengan Kunlavut Vitidsarn dari Thailand di pertandingan kedua grup A. Hasilnya tak mengejutkan. Jojo kalah dua set langsung dalam waktu 47 menit.

Permainan Jojo memang terus menurun sejak jadi primadona di Asian Games 2018. Emas Asian Games seolah jadi kutukan yang membawa Jojo dari satu kemalangan ke kemalangan lain.


Di ajang BWF World Tour, pemain kelahiran Jakarta itu tak bisa omong banyak. Jojo cuma berhasil menggondol dua gelar Super 300 di Australia dan Selandia Baru pada 2019. Di Olimpiade Tokyo 2020 kemarin, ia dibantai Shi Yuqi di babak 16 besar.


Namun, bak mengulang permainan ciamiknya di Asian Games 2018, kali ini Jojo begitu memesona. 


Permainan cemerlangnya dimulai ketika berhadapan dengan Wang Tzu Wei di babak hidup-mati grup A melawan China Taipei. Saat itu, skor 1-1. Keadaan sebenarnya tak begitu menguntungkan Indonesia. Di tengah performanya yang banyak diragukan, ia kudu menentukan arah permainan tim. Taipei punya dua ganda kuat. Kalau Jojo kalah, kita berpotensi habis di partai keempat.


Hasilnya, Jojo bermain tenang dan melibas Tzu Wei dua set langsung, 21-17, 21-13. Benar saja, di partai keempat, ganda Taipei mengalahkan Ahsan/Marthin. Tunggal ketiga Shesar Vito kemudian jadi penentu kemenangan kita lewat laga sengit tiga gim melawan Chi Yu Jen.


Bayangkan kalau Jojo kumat dan bermain angin-anginan. Kita bakal tamat di partai keempat. Meski -- misalnya -- lolos ke perempat final, Indonesia akan menempati posisi kedua grup dan berpotensi menemui lawan kuat di babak berikutnya.


Permainan puncak Jojo terjadi di laga semifinal melawan Denmark. Itu adalah laga terberat Indonesia di Thomas Cup kali ini. Bahkan lebih berat dari laga final melawan China. 


Alasannya sederhana. Denmark punya tiga tunggal putra kuat. Dan ingat, tunggal adalah kunci.


Anthony vs Axelsen. Jojo vs Antonsen. Vito vs Vittinghus. Di atas kertas, kita tak unggul. Axelsen sedang dalam puncak performa setelah raih emas di olimpiade. Antonsen bahkan mengalahkan Anthony di Piala Sudirman kemarin. Sedangkan Vittinghus adalah pemain senior yang juga menghancurkan mimpi Indonesia di partai pamungkas final Thomas Cup 2016.


Skor 1-1. Anthony tak bisa berkutik menghadapi Axelsen. Kevin/Marcus tancap gas dan menemukan performa terbaiknya lagi. Namun, beban berat ditanggung Jojo. Hitung-hitungan di atas kertas mengatakan, kalau Jojo kalah, lalu Fajar/Rian menang di partai keempat, pertandingan harus dilanjutkan hingga partai kelima. Vito vs Vittinghus masih 50:50.


Namun, permainan Jojo sungguh ajaib! Ia bak lakon film laga yang selalu nelangsa sepanjang kisah, lalu menemukan aji-aji sakti di pengujung film. 


Set pertama melawan Antonsen ditutup dengan alot. Kedua pemain memaksakan empat kali deuce, sebelum pengamatan Antonsen yang kurang baik, membuat bola yang diangkat Jojo ke belakang lapangan dinyatakan masuk. Jojo menang 25-23 di set pertama.


Di set kedua, Jojo lebih banyak melakukan kesalahan sendiri. Ini penyakit Jojo -- dan Anthony -- yang sering kambuh. Kau bisa memainkan satu-dua pukulan cantik, tapi kalau lima kali kesalahan mudah kau lakukan, lawan bakal mengeksploitasi kelemahan itu.


Jojo kalah 15-21 di gim kedua.


Di awal set ketiga, penyakit Jojo kambuh lagi. Akurasi pukulannya berantakan. Antonsen berhasil memanfaatkan ini dan unggul cukup jauh 1-6 di awal gim. 


Tapi keajaiban terjadi. Mendadak langkah Jojo terlihat ringan. Kecepatannya yang memang berkembang sejak turnamen dimulai, kini tampak semakin gesit. Pertahanannya juga kokoh, tak mudah mati. Jojo bisa menyusul hingga menyamakan poin menjadi 10-10. 


Ini laga gila. Hingga poin 16 di set tiga, kedua pemain tak pernah berselisih lebih dari satu angka. Reli-reli panjang dan pukulan-pukulan memukau juga bisa penonton saksikan.


Baru pada poin 16-16, Jojo menjauhi perolehan angka Antonsen. Otot kaki tunggal putra nomor dua Denmark itu tak bisa diajak kompromi lagi. Jojo sadar dengan hal ini. Ia lantas menempatkan bola-bola yang membuat Antonsen kudu melangkah jauh dari ujung satu ke ujung lain lapangan.


Di poin 19-16, reli panjang terjadi. Pertahanan kokoh ditampilkan kedua pemain. Meski terpincang-pincang, Antonsen punya daya juang tinggi buat terus mengejar bola. Namun Jojo juga tidak mau kalah.


“Antonsen terlihat akan benar-benar tumbang,” kata komentator di ujung sana. “Dia tak bisa menggerakkan kakinya lagi. Dia habis. Dia habis. Di habis.”


Dan tepat saat kalimat itu selesai, Antonsen merukuk tak bisa bergerak, sementara Jojo melancarkan pukulan mudah ke area lapangan yang kosong. Akhirnya, Jojo menang 21-16 di set ketiga.


Ini kemenangan penting. Bukan hanya membuktikan kalau Jojo belum habis, tapi juga memengaruhi mental bertanding rekan setimnya. Di partai keempat, ganda putra Fajar Alfian/Rian Ardianto mengunci kemenangan Indonesia atas Denmark, setelah mengalahkan Christiansen/Sogaard dua gim langsung.


“Kemenangan Jonatan membawa kita atmosfer di mana kita lebih percaya diri,” ujar Fajar setelah pertandingan. 


Di partai final melawan China malam tadi, Jojo kembali menunjukkan tajinya. Soal kemampuan dan teknik, ia memang oke. Tapi kali ini, mental bertandingnya sungguh tangguh. Seusai bermain 100 menit lawan Antonsen di semifinal, ia sanggup bermain tiga gim, bangkit dari kekalahan di gim kedua, dan akhirnya menang dari Li Shifeng. Piala Thomas pun pulang ke Indonesia.


“Ini adalah pencapaian terbesar saya [sejauh ini]. Ya, lebih besar dari Asian Games.”


Ibarat jodoh, Jojo adalah pasangan yang kita temukan sehabis putus dengan pacar yang sempat jadian bertahun lamanya. Mungkin ia tak mendampingimu dalam waktu lama, tak malam Mingguan denganmu setiap pekan, atau menemanimu sejak blangsak hingga hidup nyaman. Namun dia datang di saat yang tepat dan namanya bersanding denganmu di undangan pernikahan.


Begitulah Jonatan Christie. Ia memang tak sempurna -- dan tak harus sempurna, compang-camping di berbagai turnamen, tapi kali ini tampil ciamik di saat yang tepat. Di saat Indonesia ingin melepas dahaga 19 tahun tanpa gelar di turnamen beregu. Terima kasih, Jo![]


You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook