Panggil Aku Tan Joe Hok Saja
02.24Foto: Ahmad Waheb |
Oleh: Satya Adhi
Tan Joe Hok masih perkasa di usia 84. Ingatannya cespleng. Rambutnya belum mau rontok banyak. Hanya jalannya yang agak susah. Kalau mau berdiri dari posisi duduk, ancang-ancangnya bisa 3-4 detik. “Ini karena enggak pernah dilatih, gara-gara pandemi,” katanya sambil menepuk paha.
Tan tinggal bersama anjingnya, Sidney, di sebuah rumah tua di Jakarta Selatan. Medali-medali dan tanda prestasinya ada di lantai atas. Tapi Tan melarangku ke sana. Katanya, becek karena rumah bocor.
Istrinya meninggal 23 tahun silam. Teman-teman seperjuangannya juga telah mangkat. Tan jadi pemain terakhir dari generasi The Magnificent Seven -- tujuh jago bulu tangkis Indonesia perebut Piala Thomas 1958 -- yang masih diberi urip.
Tim Indonesia waktu itu diperkuat Lie Poo Djian, Njoo Kim Bie, Tan King Gwan, Eddy Joesoef, Tan Joe Hok, dan Ferry Sonneville. Di laga puncak, Indonesia berhasil melibas juara bertahan Malaya dengan skor 6-3.
Tahun 2021, apa yang dimulai The Magnificent Seven diwarisi oleh Anthony Ginting, dkk. Indonesia meraih Piala Thomas 2020 -- yang digelar pada 2021, menghapus dahaga gelar beregu bulu tangkis kita selama 19 tahun.
Tiga hari setelah Indonesia sukses merebut Piala Thomas kembali, aku dan rekan-rekan jurnalis main ke rumah Tan Joe Hok. Kami ngobrol berjam-jam tentang banyak hal. Salah satunya tentang diskriminasi yang ia terima karena lahir sebagai WNI keturunan Tionghoa.
Ironis, memang. Meski menjadi pahlawan karena meraih Piala Thomas tiga kali berturut-turut pada 1958. 1961, dan 1964, plus jadi orang Indonesia pertama yang jawara di All England, Tan tak luput dari diskriminasi yang menimpa WNI keturunan Tionghoa di masa Orde Baru.
Waktu itu, setiap warga golongan Tionghoa tak boleh memakai nama Tionghoa mereka. Mereka juga harus mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Itu secarik dokumen yang dianggap membuktikan kalau mereka bukan warga negara Tiongkok, dan sudah menerima kewarganegaraan Indonesia.
“Om sempat enggak, disuruh ganti nama?” Aku bertanya dengan agak pekewuh, takut menyinggung luka lama.
“Bukan sempat lagi. Itu diharusken. Kalau enggak, kamu enggak dapat KTP.”
Seorang petinggi militer menawarinya kemudahan. Ia bakal menganggap Tan sebagai anaknya, sehingga diberilah nama Hendra. Hendra Kartanegara.
Nama belakang “Kartanegara” tak sembarangan dipilih. Ada “Tan” dalam “Kartanegara.”
“Jadi, karena menurut kepercayaan, ada penjaga langit. Kita begitu lahir, sudah dicatat namanya di sana. Jadi nanti kalau misalnya enggak ada [meninggal], balik, ‘loh, ini kok [namanya] enggak sama?’ katanya. Jadi rohnya gentayangan, begitu.”
Aku yang duduk di sebelah Tan mengangguk. Lalu mbatin, betapa diskriminasi Orde Baru dalam wujud pemaksaan mengubah nama, telah menghapus kebudayaan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Nama tak pernah sekadar nama. Nama memberitahu orang lain siapa kamu, dari mana kamu berasal, siapa leluhurmu, dan sebagainya.
Episode kocak tapi getir tentang pebulu tangkis keturunan Tionghoa yang dipaksa berganti nama, pernah terjadi pada Liem Swie King. Waktu itu, King memakai nama Guntur demi mendapat berbagai dokumen kependudukan.
Pada suatu turnamen All England, ia pun memakai nama Guntur itu. Gilirannya bermain tiba. Panitia pertandingan sudah memanggil-manggil nama “Guntur”, tapi pemain yang dimaksud enggak juga nongol.
Rekan-rekannya panik, mencari-cari si empunya “King Smash” itu. Eh, ternyata si Guntur alias Liem Swie King sedang leha-leha sambil pemanasan.
“King, giliran kamu main!”
“Lah, belum dipanggil, kok.”
“Lah, itu Guntur-Guntur itu, loh!”
Barulah saat itu King sadar. “Ealah, iyo lali aku ….” Ealah, iya aku lupa.
Hari ini, 23 tahun setelah rezim Orde Baru rontok, mungkin kamu bisa membaca episode tersebut sambil ngakak-ngakak. Namun, kamu bisa membayangkan betapa diskriminasi Orde Baru kala itu, sanggup memengaruhi segala aspek kehidupan orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia.
“Saya bersyukur sampai sekarang Om masih dikenal dengan nama ‘Tan Joe Hok,’” aku mengomentari cerita Tan. Mengingat beberapa tokoh Indonesia keturunan Tionghoa yang nama aslinya tak lagi dikenal.
“Kenapa kita musti menyangkal? Memang saya keturunan [Tionghoa]. Kalau nenek saya itu orang Sunda. Ibu saya itu orang Sunda.”
Laki kelahiran Bandung tersebut memang tak mau dipanggil Hendra. Orang-orang bisa memanggilnya “Tan” atau “Joe Hok,” atau pilihan yang lebih kekinian, “Joe.”
“Karena saya biar ketemu Presiden, saya Tan Joe Hok …. Saya dikenalnya ‘Tan Joe Hok.’”
Tan Joe Hok akan selalu jadi Tan Joe Hok. Entah saat bocah dan mulai bermain bulu tangkis di halaman depan rumah menggunakan kelom, kala diajak berlatih secara prodeo di klub Blue White Bandung, ketika jadi kampiun Piala Thomas hingga diundang ke Istana Negara dan bertemu Soekarno, serta di masa tuanya hari ini, ia akan selalu jadi Tan Joe Hok.
Bukan Hendra, Hendra Kartanegara.
Tapi Tan, Tan Joe Hok.[]
0 komentar