Dari Mata Yuni: Dunia dari Sudut Pandang Perempuan Remaja

22.36

Oleh: Satya Adhi

Rhoma Irama bersabda, darah mudanya remaja selalu merasa gagah dan tak mau mengalah. HIVI! bersenandung, tiada masa-masa yang lebih indah dari masa remaja. Namun buat Yuni (Arawinda Kirana) dan batur-batur-nya, masa remaja adalah kala penuh kebingungan, waktu gawat penentu neraka dan surga hidup mereka.


Yuni garapan Kamila Andini dibuka dengan cermat dan tegas. Remaja kelas 12 SMA ini sedang berpakaian menjelang sekolah. Kamera menyorot tubuhnya. Kancut dan kutang ditampakkan seperlunya. Adegannya ringkas, tak mengeksploitasi tubuh perempuan ala sorotan male gaze


Dan yang paling penting, adegan pembuka Yuni menyiratkan apa yang film ini mau dongengkan: tentang remaja sekolahan dan tubuhnya. (Baca selengkapnya ....)


Di sebuah kampung di Banten tempat Yuni tinggal, para remaja putri dihadapkan pada kebingungan menentukan pilihan. Apakah mau lanjut sekolah? Mau lanjut kerja? Atau mau (di)nikah(kan)? 


Pilihan-pilihan ini datang ke Yuni begitu terburu-buru. Iman (Muhammad Khan), pekerja proyek di kampung itu, ujug-ujug melamarnya. Pertemuan maha ringkas gegara mengantar bolu kukus warna ungu jadi penyebab. Sejak itu, hidup Yuni penuh pilihan sukar.


Tokoh-tokoh di sekitar Yuni tak didesain sebagai tokoh yang ideal. Si nenek mendorong Yuni tak menolak “rejeki” lamaran. “Bocah wadon doyan lanang, bocah lanang doyan wadon, padha doyane” (anak perempuan suka laki-laki, anak laki-laki suka perempuan, sama sukanya). Tembang Bondolan yang dinyanyikan si nenek sambil mengisap sigaret, menegaskan cara pikir dan sikapnya atas nasib hidup Yuni.


Sementara kedua orang tua Yuni serba bingung meski terlihat ingin Yuni melanjutkan sekolah. Semua keputusan diserahkan pada Yuni. Padahal, ia hanya remaja akil balig dan bukan berarti punya seribu akal. Ia tampak ingin orang-orang di sekitarnya mengatakan dengan tegas, “tolak lamaran, lanjutkan sekolah dan kuliah.”


Ketiadaan tokoh ideal dalam film ini membuat Yuni justru semakin menarik. Penonton benar-benar diajak melihat dunia dari sudut pandang remaja perempuan. Adegan Yuni dan Sarah (Neneng Wulandari) menggunjingkan tubuh Pak Damar (Dimas Aditya) saat pelajaran bahasa Indonesia, misalnya. Ini berkebalikan dengan kebanyakan film (terutama film porno) yang membingkai murid laki-laki sebagai penonton tubuh guru perempuannya.


Simak juga obrolan tentang seks antara Yuni dan teman-temannya yang punya perspektif perempuan. Pembicaraan mereka tentang seks dipicu pengalaman personal-getir kawannya yang menikah muda. Mereka membicarakan seks sebagai sesuatu yang empiri, tak seperti kebanyakan bocah laki yang pertama kali membicarakan seks sebagai sesuatu yang sifatnya fantasi. 


Film ini memenuhi syarat-syarat sebagai film coming of age Indonesia yang penting buat dikisahkan. Pergolakan menuju dewasa menjadi representasi banyak remaja putri di sudut-sudut kampung dan kota.


Yang membuatku paling kagum, Kamili Andini dan kru sangat jeli menghadirkan semesta kampung tempat Yuni tinggal secara begitu realistis. Suci Cute (baca: cu-te) menjemur kancut d siang hari, cewek-cewek SMA naik motor sambil bonceng tiga, ibu-ibu senam aerobik dan latihan kasidah di teras rumah. Belum lagi aksen bahasa Jaseng yang diperagakan dengan baik oleh semua pemainnya.


Yuni hadir di saat isu-isu perempuan sedang masif jadi jadi perhatian. Adegan pernikahan Sarah, contohnya, adalah momok bagi semua penonton perempuan Indonesia (teman perempuan yang menonton di sebelahku menangis). Lewat momentum semacam ini, film ini mampu memantik percakapan tentang hal-hal yang barangkali tabu untuk dibicarakan. 


Empat hari awal Yuni tayang di bioskop, kamu bisa menemui obrolan dan perdebatan di media sosial yang berkaitan dengan film ini. Misalnya tentang percakapan anak perempuan dan ayahnya soal LGBTQ+, keingintahuan remaja ihwal seks, juga relasi kuasa di institusi pendidikan kita. 


Di luar adegan penutup – para tokoh perempuan duduk melingkar menyanyi lagu Mimpi – yang menurutku terlalu tendensius dan membuat logika pengisahannya melompat, bagiku Yuni punya kualitas canggih untuk ditahbiskan sebagai film Indonesia terpenting pada 2021.[]


You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook