"#Narasi-Antologi Prosa Jurnalisme" (Pindai): Generasi Kedua Jurnalisme Sastrawi
19.42Koran Tempo, 16 Maret 2016 |
Judul Buku : #Narasi: Antologi Prosa
Jurnalisme
Penerbit : Pindai
Penyunting : Wisnu Prasetya Utomo
Tahun Terbit : 2016
ADA tagar (#) di depan judul
buku ini. Sebuah tanda yang populer di media sosial, sebagai penghimpun cuitan atau
status dengan topik yang seragam. Tanda ini menyatukan ratusan, ribuan, bahkan
jutaan ocehan netizen di media sosial yang memiliki kesamaan tema.
Padahal, bila kita tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia,
tagar artinya bunyi guruh atau guntur. Arti ini mungkin menjelaskan beberapa
tagar yang paling banyak diperbincangkan, lalu menjadi trending topic. Menjadi topik-topik yang paling bergemuruh di jagad
maya.
Tagar di depan buku ini pun demikian. Ia menjadi penghimpun
situs dan blog yang menawarkan alternatif lain dalam jurnalisme. Mencoba
bergemuruh di tengah Jurnalisme Pedagang Asongan
(mengutip judul tulisan Coen Husain Pontoh) yang sedang menjamur. Tak kurang
dari sebelas situs dan blog bisa ditemui di buku ini. Dari Pindai.org, Panajournal.com, Bacaan
Malam, Mojok.co, Historia, Belakang Gawang, rusdimathari, Disorder Zine, Literasi.co,
Minumkopi.com, dan IndoProgress.
Beberapa situs menyumbang tulisan yang ada di buku ini, beberapa lagi dikelola
oleh sang penulis. Hanya tujuh dari delapan belas tulisan yang berasal dari
media cetak.
Situs-situs tadi memang jarang muncul di jagad media maya
arus utama. Para pembaca praktis lebih mengenal situs berita arus utama. Tapi
tidak berada di arus utama bukan berarti mereka tak bisa menghasilkan “air”
yang jernih. Baca selengkapnya...
Saat Kapital Dipuja
Dalam perspektif Marxisme, sistem kapitalis akan melahirkan
sebuah pemujaan terhadap komoditas. Perspektif ini kemudian lebih dikenal
dengan Fetisisme Komoditas. Sebuah harga yang kita bayarkan menjadi bentuk
kepuasan tersendiri, sementara konten, teks, atau inti dinomorduakan. Mau tak
mau kita mesti mengatakan, inilah yang terjadi di jagad media dan jurnalisme
kita.
Berapa harga gawai yang kita beli akan lebih memuaskan dan
membanggakan kita dibanding manfaat dari gawai itu. Maka tak jarang, seseorang
bisa berganti gawai berkali-kali dalam setahun. Fungsi-fungsi dari gawai hanya
sebatas pelengkap pemuasan. Akibatnya, pengguna gawai tak bisa mengoptimalkan
kemudahan akses informasi. Ocehan di media sosial semakin tak jelas, media
daring berbasis jurnalisme pun lebih mengejar sensasi.
Dalam situasi teknokapitalisme inilah, media daring
alternatif muncul. Kemunculannya mirip kemunculan musik independen di Jakarta dalam tulisan Raka Ibrahim
berjudul Terekam Tak Pernah Mati. Kemunculan
apa-apa yang berbau independen pasti
terkait dengan pemberontakan. Generasi arus pinggir atau alternatif, disebut
Raka sebagai “… generasi yang mencoba memaknai kembali apa arti sesungguhnya
dari kata merdeka” (hal. 189). Maka generasi media alternatif bisa dimaknai
sebagai pemberontakan terhadap wajah jurnalisme media daring yang semakin ruwet
tak keruan.
Genre jurnalisme yang mereka tawarkan sebenarnya bukan hal
baru. Sejak 1970-an, jurnalisme baru ini telah dikenalkan di publik Amerika
Serikat. Lewat pendekatan sastrawi, wartawan tak sebatas menulis berita pendek
atau feature menarik. Namun berbentuk
prosa jurnalisme yang memasukkan unsur-unsur sastra di dalamnya. “Ada dialog,
adegan, perjalanan waktu, konflik dan emosi, penerapan struktur cerita yang
terjaga, karakter dalam sebuah peristiwa, dan kadang pula ia bisa mengungkap
motif,” tulis Fahri Salam dalam pengantar buku ini. Itulah mengapa genre ini
kerap disebut jurnalisme sastrawi. Genre semacam ini yang coba dirambah di
ranah daring. Karena sejak kemunculan internet, jurnalisme praktis harus
menyesuaikan diri. Hadiah Pulitzer pun
telah memasukkan media daring dalam jangkauan penghargaannya sejak 1997.
Belajar dari Pantau
Berbicang mengenai jurnalisme sastrawi tak lengkap tanpa
membahas antologi prosa serupa yang disunting Andreas Harsono dan Budi Setiyono
berjudul Jurnalisme Sastrawi: Antologi
Liputan Mendalam dan Memikat (KPG, 2008). Kedua buku ini layak
dibandingkan. Jurnalisme Sastrawi berisi
delapan naskah bertema konflik perang, preman yang terbunuh, musik, bisnis
media, sampai sengketa kepemilikan perusahaan air. Seluruhnya terbit di (alm) majalah
Pantau.
Sementara #Narasi: Antologi Prosa Jurnalisme berisi
18 tulisan. Beberapa pemilihan tema memang hampir serupa dengan sang “kakak.” Sebut
saja tulisan Chik Rini tentang perang Aceh dan Coen Husain Pontoh tentang pers
kuning. Namun naskah-naskah lainnya tak bisa dipandang sebelah mata. Tema-tema
baru bermunculan. Puthut EA dan Nodu Arizona misalnya, menulis lika-liku pertanian
dan bisnis tembakau. Lalu Mahfud Ihwan, menulis naskah narasi yang dikemas
dalam catatan personalnya tentang laga sepak bola. Fahri Salam menulis korban
kekejaman milisi Indonesia di Papua. Ada juga Andreas Harsono yang merekam
kehidupan etnis minoritas dalam kemasan autobiografi.
Perbedaan lainnya, Pantau
menerbitkan antologinya saat majalah mereka sudah tak terbit. Pantau berhenti terbit pada 2003 setelah
bergerilya selama kurang lebih empat tahun.
Sementara Pindai.org menerbitkan buku ini ketika mereka tengah bergerilya mencari
kemerdekaan jurnalisme. Pindai.org dan
situs alternatif, kemungkinan besar akan lebih berumur panjang dari majalah Pantau. Mereka tak usah repot-repot memperhitungkan
berapa lembar kertas yang harus dihabiskan dalam sebuah tulisan. Halaman telah
hilang dalam media daring! Ibaratnya, mau sejuta karakter pun, silakan, asalkan
ada yang menulis. Jadi meski mereka bukan arus utama dan terkesan elitis, tak
usah memikirkan akan merugi bila terbitan mereka tak laku.
Dengan hilangnya halaman, mereka otomatis menguasai ruang. Tantangan
lain ada pada waktu. Bisakah mereka konsisten dalam menyajikan tulisan yang
mendalam, dan tak tergoda untuk mengutamakan kecepatan. Apalagi, media
alternatif yang saya temui, tak ada yang memasang iklan di situsnya. Salut!
Mereka mengandalkan penjualan produk seperti buku, merchandise, album musik, atau donasi. Maka tak usah buru-buru
mengejar kecepatan berita. Ini yang membuat generasi kedua jurnalisme sastrawi –
yang tercermin dalam buku ini – bisa menjadi ancaman bagi media-media arus
utama.[]
0 komentar