Mahasiswa Penulis dan Penjaja Buku
19.37Mimbar Mahasiswa Solopos, 27 September 2016 |
TUJUH mahasiswa menerbitkan tujuh buku secara bersamaan. Bukan buku
antologi status Facebook. Bukan pula buku kumpulan foto Instagram. Tapi buku
kumpulan esai yang mereka tulis kala menyandang status mahasiswa. Bukan dosen, peneliti,
pengamat, apalagi birokrat. Sekali lagi: ma-ha-sis-wa.
Lalu kenapa?
Wong bukunya tipis kok, lumayan enak
buat kipas-kipas. Cetaknya juga cuma sekitar 50 eksemplar per buku, tergantung
pesanan. Ketujuh penulisnya, Hanputro Widyono, Na’imatur Rofiqoh, Imawati
Rofiqoh, Udji Kayang Aditya Supriyanto (yang ini sudah mantan mahasiswa),
Isvita Septi Wulandari, Laila Sari, dan Qibtiyatul Maisaroh, juga bukan mahasiswa penerima beasiswa yang harus ber-IPK tinggi, mahasiswa
berprestasi, atau mahasiswa aktivis politik yang seharusnya justru banyak
karya. Cuma ma-ha-sis-wa, biasa.
Penerbitnya
bukan penerbit universitas semisal UNS Press, UMS Press, IAIN Press, Prambanan
Ex-press (eh). Penerbit-penerbit kampus barangkali sibuk menerbitkan buku-buku
pegangan kuliah. Lalu mewajibkan mahasiswa-mahasiswa, apalagi mahasiswa baru
yang masih unyu, untuk membeli buku
“Pengantar” karya dosen mereka sendiri. Nah, sama kan seperti Prambanan
Express. Sama-sama “mengantar.” Ketujuh buku tadi: Kampus Saja, Asmara Bermata Bahasa, Pengikat dan Pencatat, Rerasan
Urban, Menu di Kertas, Janda Berjalan Nenek Berdongeng, dan Santapan Selera “cuma” diterbitkan sebuah
penerbit indie di kota Solo, penerbit Jagad Abjad. Baca selengkapnya...
Bila ditarik
benang merah, ketujuh buku tadi melukiskan satu hal, yakni insubordinasi atas
deintelektualisasi yang terjadi di lingkungan civitas akademika.
Maaf,
khilaf, saya akan menghindari bahasa yang terlampau ilmiah dan njlimet. Maksudnya, lewat Seri Buku Sejinah ini, ketujuh penulis
ingin keluar dari belenggu dinding kelas yang mengerdilkan daya pikir.
Ruang-ruang kelas saat ini hanya sebatas persinggahan sementara yang sifatnya
birokratis. Cuma tempat berisi kursi-meja yang kudu disinggahi anak-anak
manusia bila mau mendapat kertas keramat bernama ijazah. Tujuan pendidikan jadi
sangat sempit nan tersempitkan.
Pertaruhan Maha Berat
Menerbitkan
buku memang masih menjadi barang langka di kalangan mahasiswa. Selama ini cuma
beberapa Lembaga Pers Mahasiswa yang secara rutin menerbitkan buku tiap
tahunnya, itu pun sering tak laku. Yang lain, ada mahasiswa-mahasiswa keras
kepala yang nekat menerbitkan skripsinya untuk kalangan umum.
Pertaruhan
mahasiswa dalam menerbitkan buku adalah pertaruhan dalam menyajikan tulisan
yang kaya akan intelektualitas, namun bisa dinikmati kalangan luas. Arif
Zulkifli ketika menerbitkan skripsinya berjudul PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia (1996) mengalami hal ini. “Sebuah skripsi dipertanggungjawabkan di
hadapan enam penguji: dua pembimbing, seorang penguji ahli, seorang ketua
sidang, seorang ketua, dan seorang sekretaris jurusan di sebuah universitas
dalam sebuah debat yang tidak selalu bermutu tapi selalu membuat mahasiswa
dag-dig-dug” (Zulkifli, 1996: vii). Sebaliknya, sebuah buku “…
dipertanggungjawabkan di hadapan ratusan, mungkin ribuan pembaca di tempat dan
waktu yang saling berbeda” (ibid.).
Mengingat
pertaruhan yang sungguh maha berat ini, maklum bila tesis dan disertasi para
dosen yang diterbitkan dalam bentuk buku masih sangat kecil jumlahnya. Siapkah
para dosen nantinya menerima penghakiman dari pembaca umum, ketika tesis atau
disertasinya ternyata biasa-biasa saja? Belum lagi kalau di bawah standar.
Tesis yang kelasnya skripsi. Disertasi tapi kelasnya tesis.
Benedict
Anderson dalam otobiografinya, Hidup di
Luar Tempurung (2016)¸
mengisahkan pertaruhan George Kahin saat menerbitkan disertasinya, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952).
Pasalnya, disertasi Om Ben, The Pemuda
Revolution (1967) sebagian isinya membantah disertasi George Kahin yang
waktu itu menjadi pembimbingnya. “Sungguh-sungguh sebuah bukti dari rasa sayang
Kahin kepada para mahasiswanya, kerendahhatiannya, serta kelapangan
intelektualnya, bahwa ia bukan cuma mendukung penuh seorang mahasiswa yang
disertasinya membantah sebagian tesisnya sendiri…, melainkan juga membantu
memastikan agar bisa cepat diterbitkan” (Anderson, 2016: 84).
Otomatis,
gaya bahasa para penghuni universitas pun harus disesuaikan ketika bukunya ingin
diterbitkan. Om Ben sendiri sempat ditegur para dosen ketika menjadi peneliti
di Universitas Cornell. Terbiasa menulis untuk kalangan luas membuat gaya
bahasanya dianggap tidak ilmiah. “Kau sudah bukan di Cambridge sekarang, dan
tidak sedang menulis kolom buat majalah mahasiswa. Keilmuan itu kerja yang
serius, anekdot dan gurauan jarang yang punya nilai keilmuan, dan tak ada yang
tertarik dengan ‘pendapatmu pribadi’” (ibid.).
Barangkali
para dosen bersikap serupa terhadap tujuh buku yang diterbikan mahasiswa tadi.
“Keilmuan itu kerja yang serius, anekdot dan gurauan jarang yang punya nilai
keilmuan, dan kami tak tertarik dengan pendapatmu pribadi!” Pantas saja
tulisan-tulisan akademisi di Indonesia lebih sering menjemukan daripada
memikat. Yang ditulis sebatas makalah-makalah ilmiah atau jurnal-jurnal
pendongkrak peringkat universitas dalam kompetisi prestise tingkat dunia.
Terbukti sejak
diterbitkan pada Agustus lalu, tidak terdengar kalangan akademis yang mau
membedah dan mendiskusikan tujuh buku tipis yang tidak ilmiah sama sekali ini.
Sayang, padahal para penulisnya sudah susah payah membuat, menerbitkan, bahkan
menjajakan buku-bukunya secara mandiri. Bakulan
di waktu yang berharga saat kebut-kebutan menggarap skripsi.
Ah, saya
lupa. Buat apa repot-repot membedah buku-buku itu? Ketujuhnya bukan karya profesor,
dekan, rektor. Cuma ma-ha-sis-wa, biasa.[]
0 komentar