Hiperrealitas Relasi Militer dan Akademisi

19.31

(Mimbar Mahasiswa Solopos, 16 Agustus 2016)

FANTASI Salman Rushdie sungguh liar. Dalam Harun dan Samudra Dongeng (2011), penulis asal India ini meyuguhkan gambaran yang benar-benar lain tentang citra militer. Pasukan Guppee di negeri Kahani digambarkannya sebagai pasukan yang melenceng jauh dari karakter militer tulen.

Tentara bangsa Guppee dalam novel tersebut dinamai Halaman. Pasukan Halaman tidak dibagi dalam peleton, batalion, resimen, dan seterusnya. “Halaman kami terbagi dalam Bab dan Jilid. Masing-masing jilid dikepalai oleh satu Awalan, atau Judul; dan di depan sana itu adalah pemimpin seluruh ‘Perpustakaan’ – sebutan kami untuk angkatan bersenjata – sang Kitab Jenderal” (Rushdie, 2011: 91).

Keliaran fantasi Rushdie tidak berhenti sampai di situ. Pasukan bersenjata yang biasanya serba patuh terhadap perintah atasan, digambarkannya sebagai pasukan yang gemar berdebat. Dalam pertempuran akhir melawan pasukan Chupwala, setiap komando yang dikirim oleh Kitab Jenderal selalu diperdebatkan dulu. Ada yang sepakat, ada yang tidak. Lebih liarnya lagi, pasukan Guppee berhasil menang melawan Chupwala yang serba diam dan patuh itu. “Segala argumen dan perdebatan, segala keterbukaan, menghasilkan tali persahabatan yang kuat di antara mereka” (ibid.: 190). Baca selengkapnya...


Melalui figur pasukan Guppee, Rushdie melakukan fusi terhadap dua hal yang bertolak belakang. Militer yang dalam realitas berwujud perkasa, kuat, namun serba patuh dan tunduk, dihantamkan dengan simbol dan karakter keilmuan yang bebas berpikir dan demokratis.

Duplikasi Citra Militer
Di dunia nyata, keperkasaan dan kepatuhan militer dalam sebuah negara berpotensi memunculkan dua situasi. Pertama, tentu jaminan keamanan bagi warga negara dari ancaman luar. Kedua, ancaman dalam negeri yang disebabkan oleh militer negara itu sendiri.

Yang terakhir disebut memang jarang disadari masyarakat. Bila militer tidak diberi sarana untuk mengekspresikan potensi kekuatan yang dimilikinya, secara psikologis mereka akan mencari sarana lain. Ketika api disulut sedikit saja, ancaman dalam negeri seperti kudeta atau kekerasan oleh oknum militer tidak bisa dihindari. Kekerasan di era Orde Baru misalnya. Digerakkan oleh sosok yang menguasai instansi militer.  

Negara sadar benar akan hal ini. Ada dua saluran yang bisa digunakan untuk mencegah ancaman ke dalam. Pertama, carikan musuh dari luar negeri untuk tentara. Atau yang kedua, adakan aktivitas simbolis yang mampu mengekspresikan potensi kekuatan militer. Saluran yang kedua, otomatis sering digunakan negara-negara yang jarang terlibat perang.

TNI-UNS Technomilitary Festival 2016, yang digelar di Universitas Sebelas Maret (UNS) 10-12 Agustus lalu bisa digolongkan saluran yang kedua. UNS menggandeng TNI untuk mengadakan pameran persenjataan dalam rangka Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas).

TNI unjuk gigi. Kawasan gedung rektorat hingga gapura depan UNS tumpah ruah oleh benda-benda militeristik. Mulai dari pameran alat utama sistem persenjataan (alutsista), penampilan yang menunjukkan kekuatan massa seperti marching band dan baris berbaris, serta kehadiran ratusan anggota TNI dengan seragam militernya.

Benturan lantas terjadi. Penampilan citra militer ala TNI yang memasuki kawasan akademis bersua atmosfer keilmuan universitas. Dua elemen yang pada hakikatnya mustahil bersatu. Militer mensyaratkan sistem pendidikan doktriner yang serba patuh, sementara universitas selalu mendambakan kebebasan berpikir.

Kepala Penerangan Korem 074-Warastratama Surakarta (Kapenrem), Mayor (Inf.) Mantang, sempat menyinggung hal ini. Harapannya, dengan diadakan pameran militer di universitas, “mampu mengubah stigma negatif bahwa TNI dan mahasiswa merupakan kubu yang berseberangan” (Solopos, 4 Agustus 2016). Yang ingin diubah adalah stigma, bukan realitas. TNI berharap citra militer bisa berdampingan dengan citra akademis. Mirip seperti fusi yang dilakukan Salman Rushdie di negeri Kahani,

TNI melakukan duplikasi diri lewat penampilan-penampilan yang mencitrakan kekuatan militer yang dimilikinya. Menggunakan konsep hiperealitas Jean Baudrillard (1981), produksi citra yang dilakukan TNI harapannya akan sampai pada realitas yang mereka harapkan; TNI dan mahasiswa yang tidak lagi berseberangan. Namun sebelum sampai pada realitas, citra tersebut selalu dipantulkan oleh sebuah cermin imajiner yang menghalangi keduanya. Setiap citra selalu dipantulkan dan tidak pernah sampai pada realitas. Semakin banyak citra diproduksi, semakin kosong isinya karena semakin tidak ada kaitannya dengan realitas. Duplikasi diri TNI dan harapannya untuk berdampingan dengan dunia akademis tidak pernah bertemu.

Keadaan semakin parah ketika pengunjung yang hadir, baik dari kalangan sivitas akademika maupun masyarakat umum mengkonsumsi citra kosong ini. Berbeda dengan konsumsi produk material yang mudah dikendalikan aktivitasnya, konsumsi citra sangat sulit dihindari. Aktivitas-aktivitas pengunjung festival bisa dilihat sebagai bentuk konsumsi semacam ini. Menonton atraksi-atraksi militer, memanjat naik ke kendaraan-kendaraan miiliter, dan yang paling masif adalah berfoto dan swafoto bersama simbol-simbol militer yang ada.

Giting Citra
Konsumsi citra yang berlebihan bisa berdampak dahsyat. Konsumen akan sangat sulit membedakan mana yang citra, mana yang realitas. Simbol-simbol dalam Technomilitary Festival yang dikonsumsi lantas dianggap telah merepresentasikan karakter militeristik dan keilmuan yang duduk berdampingan. Terjebak dalam sengkarut dunia citra tanpa realitas. Giting.

Lebih berbahaya lagi jika universitas sebagai institusi keilmuan sampai kehilangan realitas aslinya. Tersubordinasi realitas-realitas militeristik yang bertolak belakang dengan semangat keilmuan. Dosen yang tak mau dibantah misalnya. Atau yang beberapa waktu lalu terjadi, yakni pihak universitas yang tak kuasa saat pelarangan diskusi-diskusi keilmuan yang dianggap bertentangan dengan doktrin negara terjadi. Bahkan terjadi penyitaan buku-buku, simbol ilmu pengetahuan yang digunakan Salman Rushdie dalam pasukan fantasinya,.


Produksi citra militer dalam kegiatan semacam ini tak sebaiknya dilakukan di lingkungan akademis. Konsep militeristik dan semangat keilmuan mahasiswa hanya bisa berdampingan dalam dongeng fantasi Salman Rushdie. Dan seperti yang Rushdie tanyakan berulang kali pada pembaca: “Apakah gunanya dongeng-dongeng yang tak mungkin terjadi di alam nyata?”[]

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook