Logika Mata dan Budaya Wajah

19.20

SEBAGIAN BESAR dongeng di Indonesia menempatkan mata sebagai sumber permasalahan. Paling tidak, ada tiga di antaranya yang populer. Sangkuriang, Bandung Bondowoso, serta Jaka Tarub.

Sangkuriang langsung terkesima dengan kecantikan Dayang Sumbi ketika pertama kali melihatnya. Mata Sangkuriang terbius, sehingga akal sehatnya tak mampu bekerja optimal. Ketika tahu bahwa Dayang Sumbi adalah ibunya sendiri, Sangkuriang tak peduli. Sekali lagi ia menatap, matanya membisikkan cinta yang teramat dalam pada ibunya itu.

Bandung Bondowoso tak berbeda jauh. Matanya tak berkedip menatap kecantikan Roro Jonggrang. Ia harusnya tahu diri bahwa wanita itu tidak mencintainya. Namun apa daya, mata Bandung Bondowoso terlanjur takluk oleh pesona Roro Jonggrang. Apapun akan ia lakukan, termasuk membangun seribu candi dalam semalam.

Jaka Tarub pun demikian. Dengan lancangnya ia mencuri selendang Nawang Wulan sang bidadari khayangan. Penyebabnya tak lain adalah, mata Jaka Tarub yang tak berkutik kala melihat Nawang Wulan mandi bersama bidadari-bidadari lainnya. Bayangkan saja, dua bola mata bisa menggerakkan hati dan pikiran seseorang untuk mencuri. Sebuah perbuatan tercela dan terlarang – itu yang sering orang tua ceritakan kepada anaknya sejak kecil. Baca selengkapnya...


Logika Mata
Karena mata, hati menjadi luluh. Karena hati luluh, akal menjadi lumpuh. Karena akal lumpuh, perilaku menjadi tak terkendali. Bila menggunakan logika A karena B, B karena C, C karena D, bisa dikatakan bahwa karena mata, perilaku menjadi tak terkendali.

Tetapi, apakah mata Sangkuriang akan terbius jika Dayang Sumbi tidak berwajah cantik? Apakah mata Bandung Bondowoso tetap tak berkedip bila Roro Jonggrang berwajah buruk rupa? Dan, apakah mata Jaka Tarub masih tak berkutik jika Nawang Wulan bukanlah bidadari yang cantik jelita?

Logika sederhana seperti ini yang sering digunakan kalangan Hubungan Masyarakat atau Public Relation (Humas atau PR). Mereka sadar betul bahwa mata adalah indra yang paling lemah, baik secara tersurat maupun tersirat. Dengan menampilkan perwajahan yang menarik, mata konsumen akan lebih mudah takluk. Lihat saja, para Sales Promotion Girl pasti berpenampilan menarik. Resepsionis perusahaan haruslah ramah terhadap pelanggan. Juga video profil sebuah institusi, wajib dikemas sedemikian rupa untuk menarik minat konsumen. Wajah mereka menunjukkan citra perusahaan.

Setiap insitusi atau perusahaan pasti melakukan ini, termasuk institusi pendidikan. Namun, perwajahan ini hanya mempan pada khalayak awam. Khalayak yang tak mengerti apa-apa, atau “kawanan pandir,” meminjam istilah Noam Chomsky.

Beberapa waktu lalu, Universitas Sebelas Maret (UNS) mengeluarkan video profil tentang peningkatan publikasi ilmiah. Saya atau mahasiswa lainnya pasti memandang video ini tak berbeda jauh dengan video profil lainnya. Namun, bagaimana dengan kawanan pandir? Seorang calon mahasiswa yang sedang mencari universitas misalnya.

Saya membayangkan ia tengah kebingungan mencari perguruan tingi tempat melanjutkan pendidikan. Lalu, dua bola matanya bertemu dengan video berjudul “UNS Quantum Leap Transformation.” Retinanya memandang bulevar UNS dengan gapuranya yang gagah. Laboratorium Fakultas Pertanian yang hijau. Mahasiswa-mahasiswa UNS yang nampak berbudaya ilmiah. Ia juga menangkap penglihatan tentang publikasi ilmiah yang telah dan akan dilakukan oleh para insan akademis UNS. Apalagi, sosok Rektor yang dengan gagah memekikkan sebuah slogan, Yes, I am! A true scholar. One publication per year.

Setelah menonton video itu, saraf-saraf matanya mengirimkan stimuli ke akal. Ia berekspektasi tinggi untuk bisa menjadi salah satu mahasiswa di video itu. Lalu bertindak untuk bisa mewujudkan ekspektasinya itu.

Saya tidak mengatakan bahwa strategi semacam ini salah. Justru hal bodoh ketika membuat sebuah video profil yang jelek. Sama saja membuat perwajahan yang buruk dan calon pelanggan akan lari ke tempat lain. Hanya saja, seberapa mirip realitas yang ditampilkan dalam video dengan realitas sesungguhnya?

Membingkai sebuah realitas (framing) ke dalam realitas media, bukan berarti harus menampilkan kebohongan. Inilah mengapa, dibutuhkan riset mendalam untuk menciptakan sebuah slogan, apalagi video profil. Bila tidak, slogan yang ada hanyalah slogan kosong. Dan realitas media yang tersaji dalam video profil akan lebih menampilkan kesempurnaan semu. Orang memang menyukai kesempurnaan. Tapi, mereka akan lebih menghargai kejujuran akan ketidaksempurnaan.

Apa yang terjadi dengan Sangkuriang ketika ia telah ditipu oleh Dayang Sumbi? Dayang Sumbi dengan licik menciptakan fajar bohongan untuk menggagalkan Sangkuriang membuat kapal megah. Dayang Sumbi dan kapal yang belum jadi ditendangnya. Pergi menuju Sang Widiwasa.

Roro Jonggrang bernasib sama. Ia terpaksa diam membatu di sebuah candi selamanya. Salah siapa menipu Bandung Bondowoso sang pangeran sakti. Ia hampir berhasil membangun seribu candi dalam semalam. Roro Jonggrang yang tak mau diperistri berusaha menggagalkannya. Mungkin ia terinspirasi Dayang Sumbi. Membuat fajar bohongan, sehingga ayam jantan berkokok lebih awal.

Jaka Tarub lebih menyedihkan lagi. Nawang Wulan menemukan selendangnya yang hilang dicuri suaminya. Ia pun kembali ke khayangan. Meninggalkan anak dan suaminya. Wajah cantik Nawang Wulan tak pernah terlihat lagi. Kecuali saat ia turun di bulan purnama untuk menyusui anaknya.


Apa yang akan terjadi dengan kawanan pandir bila mereka tahu bahwa mereka telah dibohongi? Bila kenyataannya, budaya ilmiah yang dilihat dalam sebuah video tidak ditemui. Maka, ajarilah mata ini mendengar, merasa, mencium, mengecap, serta… berpikir.[]

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook