"Human Act" (Han Kang): Tafsir atas Tubuh-tubuh Gwangju
05.56
Oleh: Satya
Adhi
Judul : Mata Malam
Penulis : Han Kang
Penerjemah : Dwita Rizki
Penerbit : Penerbit Baca
Tahun terbit : Oktober 2017
Jumlah
halaman : 257 halaman
Aku terkejut
ketika memulai Mata Malam. Ia adalah
ujud Han Kang yang liyan. Cukup liyan dengan Vegetarian (diterbitkan Penerbit Baca, Februari 2017) yang sangat personal dalam mengisahkan tubuh,
Han Kang memulai Mata Malam dengan
pemandangan massal tubuh-tubuh tak bernyawa.
Tubuh-tubuh
itu dibunuh oleh negara (baca: tentara). Saat mati dibungkus bendera negara.
Orang-orang yang masih hidup menyanyikan lagu kebangsaan negara untuk mereka. Hingga
Dong Ho, seorang bocah yang tengah mencari jenazah kawannya, mengajukan
pertanyaan jenius. “Kenapa mereka menyanyikan lagu kebangsaan untuk orang-orang
yang dibunuh oleh tentara? Kenapa mereka menyelimuti peti mati dengan bendera
Korea? Seolah-olah yang membunuh mereka bukan negara” (hal. 18).
Sejak
membaca Vegetarian, aku sadar kalau Han
Kang memang jeli mengeksplorasi tubuh. Dalam babak kedua Mata Malam, Napas Hitam,
Han Kang bahkan membuat arwah yang mati menjadi hidup. Aku merinding manja. Lalu
merasa wajib menambahkan Han Kang ke dalam daftar penafsir kematian favoritku –
selain Orhan Pamuk dalam Namaku Merah (diterbitkan
Serambi, 2015) dan Efek Rumah Kaca dalam Putih
(album Sinestesia, 2015). (Baca selengkapnya...)
Tentara
tidak hanya membunuh tubuh. Tentara menorehkan cat putih di sekujur wajah para
jenazah. Dengan demikian, (per)wajah(an) mereka lenyap. Hangus bersama kobaran
api hasil sulutan para serdadu yang sudah tak betah dengan bau busuk mereka.
Tubuh,
arwah, negara, kemudian bertemu dalam dua kalimat bengal Dong Ho. “‘Yang
menakutkan itu tentara. Orang mati sih tidak menakutkan’” (hal. 33).
Pelenyapan
tubuh berlanjut ke pemusnahan ingatan. Babak Tujuh Tamparan mengisahkan betul soal itu. Lewat pengalaman seorang
gadis yang bekerja di sebuah penerbitan, kehadiran negara dalam sensor ketat teks-teks
seni dan budaya dijabarkan secara rinci.
Yang membikinku
senyum-senyum sendiri adalah cara para tokoh menyiasati sensor. Misalnya, dalam
cerita pementasan teater yang naskahnya sudah kena sensor negara. Para aktor
dan aktris tidak lantas menghilangkan adegan yang disensor. Mereka tetap
menggerakkan bibir, mengucapkan dialog, walau sama sekali tak bersuara.
Kamu belum sempat dimakamkan setelah mati,
Hidupku kini menjadi pemakaman
(hal.119)
Dua larik kata-kata
dahsyat yang diucapkan secara diam. Bisu tapi terdengar.
Pergulatan Judul
Pada mulanya,
novel ini diberi judul Soenyeon-i Onda
(Si Bocah Lelaki Datang). Deborah
Smith – penerjemah Han Kang yang mbrebes
mili saat penganugerahan Man Booker International Prize 2016 –
menafsirkannya menjadi Human Acts.
Sebuah pilihan judul yang sulit dan rumit, jauh lebih sulit ketika
menerjemahkan Chaesigjuuija
menjadi The Vegetarian.
Banyak pilihan judul yang berkelebat di kepala Smith
sebelum ia memilih Human Acts. Ada Gwangju Elegy yang ia rasa terlalu
blak-blakan, tidak pas dengan karakter Han Kang. Sempat pula Restitution (Pembayaran Kerugian) dan Reparation
(Perbaikan) terlintas, namun
dianggap terlalu gegabah dan tidak menjual. Pilihan lalu mendekat ke Uprising (Pemberontakan). Sayangnya,
judul ini ditolak penerbit. Membuat Smith sempat kesal dan mencoba berkompromi,
hingga akhirnya Uprising harus puas
jadi judul bab kelima edisi bahasa Inggris dari Sonyeon-i Onda.
Smith
kemudian menyadari satu hal; meski berkisah soal pemberontakan Gwangju 1980,
novel ini bukan novel sejarah. “Masa lalu tidak dihadirkan sebagai masa lalu –
juga berkebalikan atau terpisah dari masa kini. Sebaliknya, masa lalu adalah
urusan yang belum kelar, baik untuk negara dan orang-orang yang berkaitan”
(Smith, Asymptote Journal, Januari
2016).
Novel ini
adalah tujuh babak dari tujuh manusia berbeda, yang disatukan oleh salah satu
peristiwa penting dalam sejarah demokrasi Korea Selatan. Dimulai dengan aroma
masa lalu yang penuh dengan kematian, sampai ketidakpastian masa kini yang
dilewati para manusianya – termasuk Han Kang. Atas pertimbangan itulah Smith
memilih Human Acts.
Dalam edisi
bahasa Indonesia terbitan Penerbit Baca, Dwita Rizki tidak memilih Babak Manusia. Selain karena Dwita
menerjemahkan langsung dari bahasa Korea, bukan Inggris, Babak Manusia terdengar tanggung. Berusaha puitis tapi tidak gurih.
Dwita lebih memilih Mata Malam
sebagai judul.
Aku cukup sepakat
dengan Dwita. Mata Malam adalah dua
kata yang juga muncul di bab kelima novel ini – Bola Mata Malam. “Katanya, bulan adalah bola mata malam” (hal.
161). Mampu menghadirkan perasaan kelam dan mengerikan. Muncul dalam bab yang
paling berhasil menggambarkan penderitaan para tahanan politik dalam peristiwa
Mei 1980 di Gwangju.
Mata Malam bisa menjadi pengantar baru dan segar untuk memasuki gerbang Korea.
Selama sepuluh hari – sejak 18 hingga 27 Mei 1980 – warga Gwangju, terutama
pelajar dan mahasiswa, memprotes pemerintahan militer-diktator Chun Doo-hwan.
“Pada 21 Mei
1980, tentara menembaki warga yang berkumpul di depan kantor Pemerintah Daerah
Provinsi Jeolla Selatan, membunuh 54 orang dan menyebabkan sekira 500 terluka. Menurut
perhitungan pemerintah, hingga 27 Mei, ketika tentara mengambil alih kota dari
para milisi sipil, tentara membunuh 165 warga dan menyebabkan sekira 1600 warga
terluka” (The Korea Times, 28 Agustus
2017).
Chun
Doo-hwan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada 1997. Hanya saja, dugaan
memerintahkan penembakan terhadap warga sipil belum terbukti sampai sekarang. Ini
membuat Presiden Korea, Moon Jae-in memerintahkan penyelidikan terhadap
peristiwa ini dibuka kembali, Agustus 2017 kemarin. Gwangju masa kini memang
belum selesai.
Dalam novel
ini pula, Han Kang hadir secara nyata di babak penutup. Ia yang lahir di
Gwangju pada 1970, pertama kali mendengar cerita ini di usianya yang ke
sepuluh. Lewat obrolan keluarganya yang ia dengar secara diam-diam, lalu album
foto para korban yang ia lihat, juga secara diam-diam, Han Kang tergerak untuk
menulis secara terang-terangan.
Pengalaman
biografis, pergulatan ketika proses menulis, serta kesaksian atas siklus
politik Korea, akhirnya membawa Han Kang ke sebuah kesimpulan. “‘Gwangju’
adalah nama lain untuk yang dikucilkan, diinjak-injak, dihancurkan, secara
paksa…. Gwangju terus dilahirkan dan dibunuh lagi. Diledakkan lagi setelah
pulih, dibuat berlumuran darah lagi setelah dibangun” (hal. 246).
Aku teringat
republik ini dan ingatan-ingatan yang dibui. Membuatku membaca Mata Malam dua kali. Merinding manja
lagi. Lalu tidak sabar menunggu karya Han Kang yang lain diterjemahkan
segera.[]
(Pertama kali diterbitkan di basabasi.co, 6 Januari 2018)
0 komentar