Salman Rushdie dan Zafar. (Foto: Judith Aronson). |
Oleh: Satya Adhi
SANG AYAH memberinya nama:
Rushdie, dari Ibnu Rusyd – orang-orang Eropa menyebutnya Averroes – cendekiawan
muslim progresif abad 12, dan setiap penamaan adalah wujud kekuasaan; seperti kala
Tuhan mengajari Adam nama-nama. Menghapus ketidaktahuan, memberi kuasa atas yang
terberi nama.
Barangkali itulah mengapa sang
ayah, Anis Ahmed, membenci karya Rushdie yang paling masyhur, Midnight’s
Children. Di novel itu, karakter Ahmed Sinai adalah sosok ayah yang tak
bergairah, sering keliru mengambil keputusan bisnis yang memberi dampak buruk
untuk keluarga, dan – sebuah adegan yang paling diingat – suatu pagi mendaratkan
pukulan di telinga kiri anaknya; Saleem Sinai si bocah ajaib, saat Saleem
mengatakan ke seisi keluarga: Aku mendengar suara-suara kemarin. Suara yang berbicara
kepadaku di dalam kepalaku. Aku kira – Ammi, Abboo, aku benar-benar mengira –
Malaikatlah yang berbicara kepadaku. (Baca selengkapnya ....)