Esai

Ayah Ajaib Bernama Salman Rushdie

17.30


Salman Rushdie dan Zafar. (Foto: Judith Aronson).

Oleh: Satya Adhi

SANG AYAH memberinya nama: Rushdie, dari Ibnu Rusyd – orang-orang Eropa menyebutnya Averroes – cendekiawan muslim progresif abad 12, dan setiap penamaan adalah wujud kekuasaan; seperti kala Tuhan mengajari Adam nama-nama. Menghapus ketidaktahuan, memberi kuasa atas yang terberi nama.

Barangkali itulah mengapa sang ayah, Anis Ahmed, membenci karya Rushdie yang paling masyhur, Midnight’s Children. Di novel itu, karakter Ahmed Sinai adalah sosok ayah yang tak bergairah, sering keliru mengambil keputusan bisnis yang memberi dampak buruk untuk keluarga, dan – sebuah adegan yang paling diingat – suatu pagi mendaratkan pukulan di telinga kiri anaknya; Saleem Sinai si bocah ajaib, saat Saleem mengatakan ke seisi keluarga: Aku mendengar suara-suara kemarin. Suara yang berbicara kepadaku di dalam kepalaku. Aku kira – Ammi, Abboo, aku benar-benar mengira – Malaikatlah yang berbicara kepadaku. (Baca selengkapnya ....)

Cerpen

Toko Ajaib

06.49

Ilustrasi: Iva Mykhailian (behance.net)
Oleh: H.G. Wells
Penerjemah: Satya Adhi

(Edisi asli pertama kali terbit tahun 1895. Versi ini diterjemahkan dari The Magic Shop dalam Twelve Stories and A Dream yang dipublikasikan Project Gutenberg tahun 2008).


AKU melihat Toko Ajaib beberapa kali dari kejauhan; aku melewatinya satu atau dua kali, sebuah toko yang kaca jendelanya memamerkan benda-benda kecil memikat, bola ajaib, ayam ajaib, kerucut ajaib, boneka ventrilokuis, barang-barang trik sulap keranjang, setumpuk kartu yang TERLIHAT baik, dan barang-barang sejenis itu, tapi tak sekalipun aku tebersit untuk pergi ke sana hingga suatu hari, nyaris tanpa peringatan apapun, Gip menyeret jariku ke kaca jendela toko, dan mengarahkan dirinya untuk masuk ke dalam. Aku tak percaya tempat itu terletak di sana sejujurnya – toko berteras sederhana di Regent Street, di antara toko lukisan dan toko tempat anak-anak ayam berlari keluar dari inkubator, tapi di situlah tokonya. Aku kira ada di dekat Sirkus, atau di pojok sekitar Oxford Street, atau bahkan di Holborn; selalu di tempat semacam itu yang sedikit sulit dijangkau, dengan semacam fatamorgana di lokasinya; tapi tak diragukan lagi di sinilah toko itu, dan ujung telunjuk gemuk Gip membuat suara berisik di permukaan kaca. (Baca selengkapnya ....)

Ulasan (Buku)

"To a God Unknown" (John Steinbeck): Tiada Ilah selain Pohon-pohon

15.36





Oleh: Satya Adhi

DI BANYAK kebudayaan pohon itu sakral, keramat. Orang-orang Jawa memberi sesaji di bawah pohon beringin. Suku anak dalam di Jambi menganggap roh-roh penolong bersemayam di dalam pohon. Masyarakat Kristiani menaruh pohon cemara saat malam kelahiran Kristus.

Joseph Wayne, yang jadi tokoh pusat novel ini, punya semacam iman pada pohon. Tidak sepenuhnya menyembah, tapi ia percaya kalau pohon ek raksasa yang tumbuh di tanah pertaniannya adalah jelmaan roh sang ayah yang telat wafat.

Joseph mengajak pohon itu bicara, memberinya anggur, membiarkan si pohon merengkuh putranya. Terlihat tak ada yang masalah, memang. Namun salah satu saudara Joseph, seorang penganut Kristen yang taat, menganggap Joseph murtad dan berpaling ke berhala. Burton, saudaranya, membuat pohon itu mati. Masih berdiri tegak tapi tak lagi bernyawa. (Baca selengkapnya ....)

Like us on Facebook