Oleh: Satya Adhi dan Vera Safitri Betapa sempit ruang ingatan yang tersisa buat seni budaya kontemporer di Indonesia. Di Gang Sempit 188 A/B Wajah Santosa dibanjiri keringat. Ia baru saja pulang usai membeli makan siang ketika seorang perempuan usia 20-an tahun menghampirinya. Si perempuan datang bersama seorang lelaki. Mereka terlihat seumuran. Keduanya menanyakan salah satu arsip untuk keperluan penelitian yang tengah dikerjakan. Kepungan kertas-kertas, buku, dan arsip membikin ruangan itu makin gerah. Meski luasnya hanya setara lapangan futsal, ada puluhan ribu ingatan seni rupa Indonesia tersimpan di situ. Wajar jika Santosa makin membulirkan keringat. Di lantai dua, tepat di pojok, sebuah ruangan tertutup tampak gelap. Itu tempat penyimpanan arsip-arsip suara, video, serta dokumentasi para seniman. Untuk menjaga kelembaban, pendingin ruangan harus menyala 24 jam. Alarm kebakaran juga tersedia di sana. Sudah 13 tahun Santosa dikepung ingatan-ingatan itu. Ia seorang petugas perpustakaan sekaligus ruang arsip milik Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Sebuah bangunan bercat hijau di gang Hiperkes 188 A-B, Keparakan, Mergangsan, Yogyakarta. Sejak 1995, Lembaga pengarsip seni rupa yang dulunya bernama Yayasan Cemeti ini rutin melakukan kerja pengarsipan seni rupa Indonesia. Dalam setahun IVAA mengklaim dapat mengumpulkan sebanyak 12.500 buat foto dan 250 atau sepuluh hari enam jam video, dari 250 rekaman acara seni. Itu pun sudah melalui tahap seleksi. IVAA bahkan disebut-sebut sebagai situs arsip seni rupa pertama di Indonesia. (Baca selengkapnya ...)
Oleh: Satya Adhi
Aku melangkah ke kebun buku mungil di pinggiran Jalan Raya Jatinangor yang macet. Sebuah perpustakaan dengan aroma kertas menembus masker KN95, wangi. Aku kira, ada belasan ribu buku di sini. Tersusun berkelompok sesuai tema meski di rak tak ada kartu petunjuk. Jurnalistik dan ilmu komunikasi, sastra, sejarah Indonesia, gender dan feminisme, tentu masih banyak lagi, tapi yang membuat mataku melotot adalah deretan map tebal di bawah jendela yang menghadap jalan.
Tanpa membuka map-map itu, aku tahu apa isinya. Kliping. Tersusun menurut tiap topik yang dikipling. Sastra dunia, sastra Indonesia, Revolusi Kemerdekaan, G30S & PKI, Pramoedya Ananta Toer, dan banyak lainnya. Aku tarik satu kliping tentang gaya hidup dan posmo, membaca esai Arief Budiman tentang Jakarta, lalu buru-buru memberi vonis: kliping adalah koleksi terpenting perpustakaan Batoe Api. (Baca selengkapnya ...)
Oleh: Satya Adhi
Oh, senangnya bisa berjumpa seorang penulis muda masa depan sastra Indonesia. Sepuluh cerpennya tercetak di sebuah buku 94 halaman. Terbitan tahun 2000 — tahun yang kata Nasida Ria adalah tahun harapan. Diterbitkan Yayasan Aksara Indonesia yang beradres di Yogyakarta.
Corat-Coret di Toilet tajuk kitabnya. Eka Kurniawan nama penulisnya. Bukan, bukan Eka Kurniawan pengarang empat novel fenomenal sekaligus peraih Prince Claus Award. Setidaknya belum. Ini Eka Kurniawan yang belum kamu lihat sebelumnya.
“Buku yang ada di hadapan pembaca sekarang ini adalah sebuah kumpulan cerita pendek karya seorang penulis muda. Eka Kurniawan, begitu nama penulis ini, setelah menerbitkan buku pertamanya berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis … kini memperkenalkan bukunya yang kedua, Corat-Coret di Toilet” (halaman ix).
Penulis muda! Aku membayangkan Eka baru mentas pendidikan dari Fakutas Filsafat UGM, mungkin masih sering ditanya orang tua “mau kerja apa?” lalu nekat saja menerbitkan 10 cerpennya ke buku tipis yang kovernya dibuat sekenanya. Corat-coret betulan. (Baca selengkapnya ....)
Aku sering bertanya-tanya, akankah muncul cerita fantasi-kolosal dari Indonesia yang memukau dan benar-benar memikat. Apalagi, akhir-akhir ini aku sedang mengikuti serial House of the Dragon di HBO dan The Lord of the Rings: Rings of Power di Prime Video. Pikirku, karena Indonesia punya sejarah kerajaan-kerajaan masa lampau di kepulauan Nusantara, harusnya kisah-kisah fantasi macam itu sangat mungkin diciptakan.
Pertanyaan itu akhirnya terjawab di buku maha asyik karya Yusi Avianto Pareanom, Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi (selanjutnya disebut Raden Mandasia). Ini pertemuan yang cukup terlambat antara aku dan si buku. Kemasyhuran Raden Mandasia sudah aku dengar sejak berkuliah. Namun entah kenapa tangan dan dompetku belum tergerak untuk membeli-membaca Raden Mandasia waktu itu.
Paman Yusi membagi Raden Mandasia setidaknya menjadi 3 bagian. Bagian pertama menuturkan latar belakang Sungu Lembu dan bagaimana ia bertemu Raden Mandasia. Bagian kedua menceritakan perjalanan Sungu Lembu dan Raden Mandasia ke Gerbang Agung. Kemudian bagian ketiga adalah yang paling raya, ihwal peperangan antara Kerajaan Gilingwesi dan Gerbang Agung.
Di awal buku, yang ada di imajinasiku adalah kisah-kisah ala Angling Dharma dan Saur Sepuh. Ada malam yang keparat, prajurit-prajurit kerajaan berlarian mengejar 2 pencuri yang ternyata sepasang raden berbeda negeri, lengkap dengan imaji tentang kostum, tombak, panah, dan bagaimana para tokoh berbicara dengan bahasa Indonesia baku. (Baca selengkapnya ...)
Oleh: Satya Adhi
Perempuan dalam dongeng-dongeng tanah Jawa adalah perempuan-perempuan yang tubuhnya dipandang oleh laki-laki. Premisnya serupa, ada perempuan jelita, laki-laki memandangnya, lalu di situlah permasalahan dimulai.
Kita bisa mengambil beberapa contoh dongengan semacam ini. Nawang Wulan yang dilihat Jaka Tarub saat sedang mandi. Roro Jonggrang yang digilai Bandung Bondowoso hingga rela membuat seribu candi untuknya. Dayang Sumbi yang awet muda dan memadu asmara dengan anaknya, Sangkuriang.
Nasib perempuan dalam penulisan sejarah Nusantara yang sering teramat maskulin – terutama di buku-buku pelajaran sekolah – tak berbeda jauh dengan perempuan-perempuan negeri dongeng. Sejumlah prasasti dan kitab yang merekam beberapa tokoh perempuan penting adalah pengecualian. Misalnya, Pramodhawardani yang menjadi salah satu tokoh kunci di balik berdirinya Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Kemudian ibu-anak Gayatri Rajapatni dan Tribuwana Tungga Dewi yang kelak membawa kerajaan Majapahit ke puncak kejayaan.
Satu perempuan lainnya dalam masa lalu Nusantara ada di batas antara fiksi dan sejarah. Ialah Ken Dedes, perempuan yang terekam dalam kitab Pararaton sebagai permaisuri Ken Angrok, raja pertama Kerajaan Singasari. Itu pun, Pararaton tak memberi porsi yang layak bagi Dedes dalam penulisannya.