Mimbar Mahasiswa Solopos, 27 Desember 2016 |
Melalui
perkiraan kasar cenderung ngawur,
saya mengira-ngira 95 persen buku sastra yang habis saya baca, mengandung kisah
asmara di dalamnya.
Memangnya, kenapa
sih cerita sastra hampir pasti ada kisah asmaranya, Sat?”
Saya
menemukan jawaban pertanyaan ini di novel Siddhartha
(Herman Hesse, 2014). Siddhartha yang sejak kecil hidup dalam ketenangan
batin, menjadi pertapa, bahkan sempat bertemu Buddha Gautama, belum menemukan
kebahagiaan hidup. Ia merasa, mematikan indranya melalui pertapaan bukanlah
cara buat mencapai kebahagiaan.
Hingga akhirnya
Siddhartha bertemu Kamala, seorang pelacur yang terhormat-dihormati. Siddhartha
mempelajari cinta darinya. Kamala menjadi tokoh yang sungguh penting. Kalau
tidak ada dia, tidak mungkin Siddhartha merasa penat dengan urusan duniawi,
lantas ingin bunuh diri di tepi kali. Di tepi kali itulah Siddhartha mendengar
suara yang membimbingnya menuju kebahagiaan, “Om...”
Nah, cinta
nyatanya bisa menembus sekat-sekat rasionalitas, spiritualitas, apalagi cuma
religiusitas. Sastra pun demikian. Para
mahasiswa dan dosen bisa saja berkelana mencari pengetahuan di buku-buku diktat
dan teori. Namun bertemu sastra – seperti Siddhartha bertemu Kamala – akan
menghidupkan indra-indra yang mati karena tuntutan rasionalitas. Baca selengkapnya...