"Partisipasi Politik Virtual" (Fayakhun Andriadi): Kuasa Warga di Majelis Tanpa Tubuh
06.53
Oleh: Satya
Adhi
Judul buku : Partisipasi Politik Virtual, Demokrasi Netizen di Indonesia
Penulis : Fayakhun Andriadi
Penerbit : RMBooks
Tahun terbit : Cetakan I, November 2017
Jumlah
halaman : xiii + 399 halaman
SEBELUM internet
dihadirkan di Indonesia, politik adalah baliho, konvoi jalanan, orasi di panggung,
juga goyangan biduanita dangdut. Demokrasi berarti demonstrasi; spanduk
bercoret piloks, bakar ban, tangan
terkepal di udara. Sebelum ada internet, cuma lima tahun sekali jemari warga
berubah politis. Kini, tiap sapuan jemari di layar gawai adalah politik.
Padahal, internet
di Indonesia tidak dihadirkan oleh pemerintah yang berimankan demokrasi. Mulanya,
pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an pemerintah Orde Baru punya ambisi
ambisius di bidang teknologi. Menteri Negara Riset dan Teknologi saat itu, B.J.
Habibie, memimpin proyek pembangunan teknologi. Internet salah satunya.
Hingga akhir
1996, diperkirakan ada 40.000 pelanggan internet di Indonesia (Hill & Sen,
2001: 330). Warga jadi sadar kalau internet adalah jagat lain yang tak
terpantau intel Soeharto. Meski tiga media besar di Jakarta, Tempo, Detik, dan Editor dibredel pada 1994, orang-orang punya media lain buat
mengatasi sensor pemerintah. (Baca selengkapnya...)
“Sukses dari
pengganggu terbesar bagi tentara dan Deppen [Departemen Penerangan] adalah
sukses besar sebuah list diskusi
lewat email ‘Indonesia-1’, lebih populer disebut apakabar, yang dimoderatori oleh John MacDougal di Marryland, AS” (ibid. 234). Hingga akhir 1995, sekitar
13.000 orang mengakses apakabar.
Yang lebih
dahsyat, dan ini jarang sekali disebut, “pada hari-hari terakhir (Orde Baru),
beberapa mahasiswa yang menduduki gedung parlemen, memakai komputer laptop untuk ‘mengirimkan berita secara
online, sementara tentara dengan ketat menjaga di sekeliling mereka’ (Sentot E.
Baskoro, 1998, dalam Hill & Sen, 2001: 227).
Warga tahu
kalau mereka punya satu jagat baru buat mewujudkan demokrasi ideal. Jagat itu
adalah majelis yang melampaui pusat-pusat kekuasaan klasik. Sebuah majelis
tanpa tubuh.
Kini, ketika
hampir tiga dekade internet hadir di Indonesia, “kekuatan” internet dunia masih
dikuasai Hongkong dengan rata-rata kecepatan 65,4 Megabits per second (Mbps). Indonesia
baru kuat berada di peringkat 135 dengan kecepatan 9,7 Mbps (hal. 386-387). Tapi,
Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi warga terbanyak di jagat
maya. “Pada tahun 2014, pengguna internet di Indonesia telah mencapai
72.700.000 pengguna (hal.16).” Sementara jumlah pengguna internet di seluruh
dunia mencapai 2,64 miliar.
Dengan
jumlah sebanyak itu, tidak heran kalau internet menjadi salah satu topik yang
menarik buat dikaji. Media sosial – satu di antara trinitas internet selain
mesin pencari dan toko daring – adalah sebuah ruang politik baru yang hebat.
Dalam buku
ini, Fayakhun Andriadi memilih fokus untuk meneliti partisipasi politik di
media sosial dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012. Analisis
tentangnya dibahas dalam tujuh dari sepuluh bab yang ada. Hal-hal yang
cenderung konseptual dan teoritis telah diuraikan Fayakhun dalam buku
sebelumnya, Demokrasi di Tangan Netizen,
Tantangan dan Prospek Demokrasi Digital (RMBooks, 2016).
Analisis
Fayakhun memang berguna sebagai peneguhan bahwa media sosial secara khusus dan
internet secara umum adalah medium politik yang dahsyat saat ini. Uraian soal
strategi pemasaran politik hingga faktor-faktor yang memengaruhi pemenangan
Jokowi di Pilkada DKI Jakarta 2012, bisa dijadikan pijakan untuk melakukan
kajian serupa di daerah lain.
Persoalan
hadir ketika buku ini baru menempatkan media sosial dan internet sebagai medium
partisipasi politik. Belum sebagai sebuah jagat baru yang terkoneksi dengan
dunia nyata karena bantuan teknologi. Hal ini terlihat ketika kata-kata “memanfaatkan
media sosial” berulang kali muncul dalam analisis Fayakhun. Ia belum berani mengeksplorasi
bentuk yang lebih mengerikan, yakni bahwa kegiatan politik dipikirkan,
direncanakan, dan terjadi di jagat maya dan punya dampak besar di dunia nyata.
Pembaca juga
belum menemukan di mana posisi negara di jagat maya; atau bisa juga dikatakan,
saat ini apakah negara berhasil menemukan eksistensi di jagat maya. Lalu,
dengan cara apa saja negara akan hadir jagat maya yang saat ini terbilang
sangat demokratis (malah cenderung anarkhis). Posisi negara baru disinggung
Fayakhun di permulaan buku yang menyoal manfaat media sosial. “… desentralisasi
informasi. Ini proses untuk membawa pemerintah lebih dekat ke rakyat dalam
rangka memudahkan warga negara terlibat dalam praktik demokrasi” (hal. 8).
Selain itu,
latar belakang keilmuan Fayakhun sebagai Insinyur Teknik Elektro, Magister Ilmu
Komputer, dan Doktor Ilmu Politik, membuat caranya berbahasa terasa keterluan
lugas-argumentatif. Bahasa-bahasa semacam ini membuat kata-kata terlalu cepat
dibaca. Dan kata-kata yang terlalu cepat dibaca akan terlalu cepat dilupakan
(Contoh paling mudah, ya, cuitan-cuitan warganet di media sosial). Sebagai buku
yang bermula dari disertasi doktoral, akan lebih nyaman jika bahasa-bahasa
semacam ini diubah ke dalam bahasa ilmiah-populer yang lebih eksploratif.
Karya Eric
Schmidt dan Jared Cohen, The New Digital
Age (KPG, 2014), tampaknya lebih mampu menjawab secara mendalam persoalan
kehidupan kewarganegaraan di jagat maya. Alih-alih hanya fokus pada partisipasi
politik, Schmidt dan Cohen menguraikan perubahan cara hidup dan berpikir
manusia di jagat maya, mulai dari persoalan kepribadian, identitas dan
kewarganegaraan, negara, revolusi, hingga terorisme dan perang.
Sebuah
prediksi mengerikan juga berani mereka nyatakan. Bahwa “dalam sepuluh tahun
mendatang, penduduk dunia maya akan melampaui jumlah penduduk bumi” (Jared
& Cohen, 2014: 23). Dengan peringatan semacam ini, para peneliti media baru
sepertinya akan terus berusaha memahami perubahan mahacepat yang terjadi atas
pikiran, pribadi, dan tentunya interaksi manusia di internet.
Tahun-tahun Politik Digital
Sejak
kesuksesan Jokowi memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pemilu Presiden
2014, media sosial menjadi ruang politik utama yang digunakan para calon
pemangku kuasa. Tahun ini hingga tahun depan, dipastikan lini masa warganet
Indonesia akan lebih sibuk dengan pesan-pesan politik, baik yang dilontarkan
oleh politisi maupun teman sendiri.
Perhitungan
sederhana bisa dilakukan. Dari sekira 70 juta pengguna internet, 10,1 juta-nya
adalah pengikut Twitter @jokowi. Sementara akun Twitter milik figur yang kerap
digosipkan menjadi bakal calon presiden lainnya, @prabowo, diikuti oleh 3,13
juta warga. Melihat angka ini, jika satu pengikut @jokowi dan @prabowo saja me-retweet cuitan mereka berdua, maka akan
muncul lebih dari 13 juta cuitan baru.
Kalau cuitan
tersebut di-retweet lagi,
dikomentari, di-screenshot lalu
ditayangkan di Instagram Story, kita bisa membayangkan betapa riuhnya jagat
maya Indonesia setahun ke depan.
Keriuhan
macam itu membuat buku ini perlu memberi ingat, “Sistem digital memerlukan sebuah mental yang juga digital, yaitu mental yang bersifat terbuka, dinamis,
dan selalu siap dengan perubahan (hal. 385). Cara berpikir semacam ini yang
belum dimiliki warganet Indonesia. Akibatnya, kabar palsu tersebar, dianggap
asli, lalu disebar lagi.
Kita lupa
bahwa kini, politik adalah cuitan, tagar, vlog, twibbon, serta petisi daring.[]
Pertama terbit di karepe.com, 1 Mei 2018
0 komentar