Pers dan Militansi Islam Sipil
06.43REMOTIVI-Darth Vader (CC0) |
Oleh: Satya Adhi
DALAM sejarah perkembangan pers di Indonesia, ingatan tentang "pers versus negara" terus direproduksi dari masa ke masa, dari massa ke massa. Pembredelan majalah Tempo bersama DeTik, dan Editor pada 1994 misalnya, terus menerus diceritakan hingga hari ini.
Namun, narasi sejarah pers Indonesia mutakhir tidak hanya mengisahkan pers versus negara, tapi juga pers versus kelompok Islam sipil militan. Front Pembela Islam (FPI), dalam narasi mutakhir itu, adalah yang terdepan memainkan peran antagonistik tersebut.
Hingga kini, tercatat FPI telah melakukan tekanan, serangan, dan kekerasan terhadap beberapa media di Jakarta. Di antaranya pengrusakan kantor Playboy Indonesia pada April 2006, ancaman terhadap SCTV yang hendak menayangkan film “?” garapan Hanung Bramantyo pada Agustus 2011, tekanan terhadap Kompas usai pemuatan berita tentang seorang pemilik warung yang dipaksa tutup oleh Satpol PP pada Ramadhan 2016, serta tekanan terhadap koran The Jak yang memuat gambar meme Rizieq Shihab pada Mei 2017. Yang terbaru, ratusan massa FPI mendatangi kantor majalah Tempo, 16 Maret 2018, memprotes pemuatan karikatur yang dianggap menghina Rizieq Shihab. (Baca selengkapnya...)
Peneguhan Kekuasaan Islam Sipil
Dalam The History of Sexuality Volume I (2008), Michel Foucault memberikan pemaknaan baru terhadap konsep kekuasaan. Kekuasaan dimaknai Foucault bukan dalam artian kekuasaan negara terhadap warganya seperti dalam pemaknaan Weberian. Bagi Foucault, kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa sehingga tidak melulu terbatas pada kekuasaan institusi negara.
Kekuasaan telah menyebar seperti jaringan yang mempunyai beragam relasi. Masing-masing bergulat, berkonfrontasi, bertransformasi, sehingga kelompok yang dominan nantinya akan sanggup memproduksi kebenaran versi mereka. Kebenaran inilah yang akan dipaksakan ke kelompok-kelompok yang tersubordinasi.
Melalui cara pandang ini, kita bisa membaca bahwa tekanan yang dilakukan FPI terhadap pers adalah upaya mereka mendapat peneguhan diri sebagai kelompok sipil pemegang otoritas kebenaran. Upaya peneguhan kekuasaan ini bisa ditarik mundur sejak pemerintahan Orde Baru mendepolitisasi Islam secara struktural selama dua dekade lebih, melarang simbol-simbol keislaman ditampilkan di ruang publik, lalu balik merangkul kelompok Islam pada 1990-an setelah kekuasaannya mulai melemah.
Ketika Orde Baru tumbang, Indonesia berada dalam masa transisi dari Islam rezimis ke Islam sipil (Hefner, 2001). Di satu sisi partai politik Islam banyak bermunculan. Mereka berusaha mengupayakan agar Islam politik mencuat kembali di permukaan politik nasional. Namun di sisi lain, karena partai politik Islam tak juga mampu berbicara banyak dalam dua pemilu pertama setelah Reformasi, kelompok-kelompok Islam sipil termasuk FPI, mengupayakan kehadiran Islam di ruang publik dengan cara-cara non-politik dan non-hukum.
Kelompok ini bisa dianggap sebagai bentuk kekuasaan sipil baru, yang dalam banyak kasus, bahkan mengangkangi kekuasaan negara. Militansi kelompok-kelompok semacam ini kemudian “menggantikan” peran negara dan militer dalam pemerintahan otoritarian: memberikan ancaman, tekanan, dan serangan terhadap kebebasan pers yang sebenarnya sudah dijamin negara.
Tekanan FPI terhadap pers jelas menyalahi dan mengangkangi undang-undang bentukan negara. Namun, serangan langsung semacam ini dianggap lebih efektif daripada harus mengajukan hak jawab atau bermediasi di Dewan Pers. Saya rasa, lemahnya Islam secara politik adalah salah satu penyebab utama mengapa FPI memilih menekan pers secara langsung dengan mengabaikan hukum negara. Kelompok-kelompok semacam ini akan merasa para pemangku kebijakan, aparat penegak hukum, dan lembaga publik seperti Dewan Pers tidak mewakili dan berpihak pada umat Islam.
Satu lagi yang perlu dicatat, peneguhan kekuasaan FPI kerap kali dilakukan lewat cara-cara kekerasan yang menurut mereka mendapat pembenaran dari Tuhan. Kekerasan semacam ini disebut Cornelis Lay (2009) sebagai bom waktu kekerasan agama yang telah memulai hitung mundurnya sejak lama. Pada era Orde Baru, potensi-potensi kekuatan massa muslim memang betul-betul diredam lewat depolitisasi Islam. Kini, seni menghukum dalam negara modern terancam tidak berlaku lagi. Menghukum menjadi tontonan yang seru, dramatis, sekaligus jadi ajang penyaluran libido fundamentalisme agama dengan penuh gairah.
Laporan tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2017 memperkuat dugaan-dugaan ini (Suwarjono, 2017). Dalam laporan tersebut, AJI menggolongkan pelaku kekerasan terhadap wartawan ke dalam 12 golongan. Dari 12 golongan, warga sipil (26 kasus) menjadi yang terbanyak melakukan kekerasan, disusul polisi (13 kasus) dan pejabat pemerintah (13 kasus). Sementara organisasi kemasyarakatan—warga sipil yang terorganisir—tercatat dalam tiga kasus. Dan sejarah mencatat, ormas punya kekuatan yang lebih besar dalam melakukan tekanan dan kekerasan, tidak hanya terhadap jurnalis secara personal, tetapi terhadap pers secara institusional.
Tekanan terhadap Playboy Indonesia hingga Tempo, barulah percobaan awal menuju kekerasan-kekerasan lainnya yang lebih sistematis menyerang kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Sayangnya, hampir di semua kasus tekanan terhadap pers oleh FPI, negara nyaris tidak mampu menunjukan kekuasaannya. FPI menjadi kelompok yang lebih adidaya daripada negara itu sendiri.
Negara sebenarnya punya wewenang untuk mengatur ormas dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam pasal 59 ayat 2 poin e, ormas dilarang “… melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.” Ketika menekan dan menyerang pers, FPI jelas melanggar poin ini. Hingga kini, pertanyaan yang belum bisa terjawab adalah, kenapa negara nyaris selalu tak berkutik bila FPI melakukan kekerasan yang melanggar undang-undang?
Ketidakkuasaan negara untuk mengatur ormas, saya prediksi akan memaksa pers kembali bermain petak umpet dalam menerbitkan pemberitaan. Dengan kata lain, pers terpaksa menempuh cara-cara ketika menghadapi pemerintah otoriter Orde Baru untuk menghadapi kelompok Islam sipil militan. Ini dilakukan demi meminimalisir serangan dan tekanan dari kelompok tersebut.
Cara pertama adalah dengan menjalin kedekatan personal ataupun kelembagaan dengan ormas Islam. Layaknya humas sebuah perusahaan yang berusaha menjalin hubungan baik dengan media, pers akan dipaksa menjalin hubungan-hubungan semacam ini. Sinyal-sinyal tawar menawar semacam ini ini bisa dilihat dari dua video pertemuan FPI dengan Kompas pada 2016 dan FPI dengan Tempo pada 2018. Pemimpin Redaksi Kompas, Budiman Tanuredjo, saat itu mengatakan bahwa mereka adalah media yang butuh juga diingatkan ketika ada keluputan. Sementara Pemimpin Redaksi majalah Tempo, Arif Zulkifli, akhirnya terpaksa meminta maaf bila karikatur di majalahnya menyinggung perasaan FPI.
Cara kedua, yakni dengan menerapkan agenda setting pemberitaan sedemikian rupa agar tidak melulu terkesan menyudutkan kelompok Islam fundamentalis. Tempo misalnya, setelah memuat karikatur yang mendapat protes kemarin, mungkin memuat pemberitaan tentang FPI yang cenderung “aman” agar pandangan dan sikap FPI terhadap Tempo bisa sedikit cair.
Upaya tawar menawar terhadap kekuasaan baru, kekuasaan Islam sipil yang tengah muncul di permukaan ini, kiranya hanya bisa disudahi lewat penegakan hukum yang tegas oleh negara. Persoalannya, karena industri pers di Indonesia cenderung dimonopoli oleh beberapa pengusaha saja (dan beberapa di antaranya adalah simpatisan dan anggota partai politik tertentu), pemerintah tidak lagi melihat pers sebagai potensi ancaman terhadap kekuasaannya. Kebijakan-kebijakan soal pers tak lagi menarik dibahas. Pemerintah akan lebih disibukkan dalam upaya menegakkan teritorial mayanya, seiring kesadaran bahwa jagat maya dengan kebebasannya yang cenderung anarkis, punya potensi besar untuk mengancam kekuasaan negara.
Dan akhirnya, kita tinggal menunggu daftar institusi pers yang mendapat tekanan dari ormas Islam, bertambah lagi. []
Daftar Pustaka
Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality Volume I: An Introduction. New York: Pantheon Books.
Hefner, Robert W. 2001. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Institut Studi Arus Informasi & The Asia Foundation.
Lay, Cornelis. “Kekerasan Atas Nama Agama: Perspektif Politik.” Jurnal Ilmu Sosial dan Poltik, vol. 13, no. 1, Juli 2009.
Suwarjono (ed.). 2017. Hantu Senjakala dan Intimidasi: Laporan Tahunan AJI 2017. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
(Pertama terbit di remotivi.or.id, 25 Maret 2018)
0 komentar