"Steppenwolf" (Hermann Hesse): Separuh Hermann Hesse adalah Serigala
06.27
Oleh: Satya Adhi
Judul : Steppenwolf
Penulis : Hermann Hesse
Penerjemah : Marina Pakaya
Penerbit : Immortal Publishing
Tahun Terbit : Cetakan I, 2017
Jumlah Halaman : 320 halaman
Sejak aku dilahirkan oleh ibuku,
aku bersalah. Aku dikutuk menjalani hidup ini. Aku dipaksa menjadi milik
negara, bertugas sebagai tentara, membunuh dan membayar pajak untuk penyediaan
alat-alat perang” (hal. 273)
PADA catatan yang ditulis Hermann Hesse di
tahun 1961 untuk mengawali Steppenwolf
entah cetakan yang ke berapa, sang penulis memberi ingat kepada pembaca. “… Steppenwolf adalah satu-satunya karya
yang paling sering disalahpahami dengan cara yang gegabah dibandingkan
karya-karya saya yang lain, dan kerap kesalahpahaman itu berasal dari pembaca
yang suka dan bersemangat dengan kehadiran buku ini, alih-alih berasal dari
pembaca yang menolaknya,…” (hal. 5).
Di lain catatan, Berthold Damshauser (2015) memberi
penjelasan atas kekhawatiran Hesse tersebut. Sekitar tahun 1960-an, Steppenwolf yang pertama terbit tahun 1927
di Jerman rupanya memberi dampak dahsyat pada gerakan “urakan” di Amerika
Serikat. Ia diistilahkan Damshauser sebagai “injil” buat anak-anak Hippie serta
kelompok yang menentang kapitalisme dan perang Vietnam.
Setelah diberi ingat oleh Hesse di catatan
mula, pembaca akan menemui kata pengantar yang ditulis Hesse melalui karakter seorang
bocah. Si bocah berkisah ihwal seorang lelaki bernama Harry Haller yang menyewa
kamar di rumah bibinya selama beberapa saat. Harry Haller digambarkan sebagai
lelaki penyendiri, mengenaskan, hingga dekat dengan niatan swabunuh atau bunuh
diri. (Baca selengkapnya...)
Haller meninggalkan catatan tebal di kamarnya
yang – menurut Hesse – dikisahkan ulang oleh si bocah. Catatan-catatan Harry
Haller itulah bahan ketidakwarasan utama di novel ini. Bahkan sebelum catatan
Haller dimulai, Hesse masih merasa perlu memberi ingat pembaca: “Hanya untuk
orang gila.”
Dan memang butuh stamina pikiran yang luar
biasa untuk membaca novel ini. Selain tak kenal pembabakan bab seperti novel
kebanyakan, bagian awal catatan Haller terbaca seperti racauan lelaki paruh
baya yang tengah mabuk, tak sadar diri, penuh curiga dengan semua hal
keduniawian, dan ingin segera menemui malakut kematian. Rutukan-rutukan
terhadap surat kabar, negara, peperangan, orang-orang borjuis dan kapitalisme dituliskan
berkali-kali. Sementara bagian akhirnya diisi adegan-adegan surealis yang gegas
berganti.
“Tidurlah dengan nyenyak. Aku tak akan
bangunkan kau. Waktunya akan tiba saat kau dirobohkan atau ditempeli
kertas-kertas iklan yang serakah. Namun, untuk saat ini, di sanalah kau
berdiri, menawan dan tenang seperti biasa, dan sebab itulah aku mencintaimu”
(hal. 62-63). Pembaca yang tidak cukup gila akan tersenyum geli saat membaca
adegan ini; adegan Harry Haller berbicara kepada dinding dingin di suatu malam
kota. Sebuah sikap anti borjuis yang juga diiringi aroma pesimisme, realistis
akan realita yang ada.
Sementara pembaca yang cukup gila akan tahu
kalau Harry Haller adalah Hermann Hesse (perhatikan bagaimana Hesse menyamakan
inisial keduanya: H.H). Seorang lelaki putus asa yang punya jiwa serigala
neraka – dan banyak jiwa lain – dalam satu tubuh. Jiwa serigalanya adalah
kebencian kepada hidup, hasrat membunuh, serta kemarahan pada manusia. Sedangkan
jiwa manusianya adalah seorang pembaca radikal buku-buku, penikmat Mozart,
penjamah wanita. Membaca Steppenwolf sama
saja membaca autobiografi Hermann Hesse pada masa-masa paling karam dalam
hidupnya.
Sejak muda Hesse sudah punya “kesenangan”
untuk menderita. Syahdan, di tahun 1892 Hesse dipaksa jadi murid di biara
Maulbronn. Hesse tidak betah, psikisnya memberontak, akhirnya melarikan diri
dari asrama. Saat orang tuanya mencoba meminta bantuan seorang dokter, Hesse yang
saat itu berusia 15 tahun (!) mencoba bunuh diri dengan pistol. Ia lalu dirawat
di rumah sakit jiwa dan didiagnosa menderita melankolia.
Guncangan kedua, yang paling berpengaruh
dalam penulisan Steppenwolf dan novel
sebelumnya, Demian (pertama kali
terbit pada 1919), terjadi pada 1916.
Di tahun itu istrinya menderita skizofrenia. Ini menjelaskan dengan cukup
gamblang keberadaan dua jiwa – bahkan lebih – dalam satu tubuh Harry Haller dan
tokoh cewek bernama Hermine yang merupakan antitesis karakter Haller.
Penyakit yang diderita istrinya membuat Hesse
depresi dan berusaha bunuh diri. Meski sempat mendapat terapi psikoanalitis, ia
tetap murung menanggung beban. Sejak tahun itu pula, Hesse sudah kawin-cerai
berulang kali. Gambaran para perempuan yang berkelebat dalam pikiran Haller di
akhir novel adalah gambaran riil peristiwa kawin-cerai ini.
Memahami gejolak hidup Hesse, pembaca bisa
maklum bila racauan-racauan Haller di awal novel kemudian terdengar sangat
nelangsa. “Ketetapan hatiku untuk mati bukanlah rengekan yang hanya berlangsung
selama satu jam. Ketetapan itu adalah buah matang yang perlahan-lahan tumbuh
membesar, ditimang-timang dengan pelan oleh angin nasib yang napas berikutnya
akan mengembalikannya ke tanah” (hal. 107).
Mengerikan.
Hermine,
Sisi Hidup Haller
Malam di
mana Haller ingin menjalani laku swabunuh, tepat sebelum ia pulang ke kamarnya
dan menggorok lehernya dengan sebilah pisau cukur, Haller bertemu dengan
Hermine. Berbeda dengan Haller, Hermine adalah sosok Haller yang lain. Sosok
Haller yang masih ingin mencecap madu kehidupan selama mungkin. Keduanya adalah
cermin yang saling berkebalikan sekaligus satu tubuh serupa, seperti tergambar
dari dialog yang dimulai Hermine;
“ ‘Apakah kau tahu kalau kita
berdua adalah anak setan?’
‘Ya, itulah diri kita. Setan adalah sebuah
semangat dan kita adalah anak-anaknya yang merana. Kita terbuang dari alam dan
melayang-layang di langit’” (hal. 187).
Perkenalan
Haller dengan Hermine mengubah hasrat kematian si lelaki menjadi gairah
kehidupan yang baru. Haller yang terdengar anti borjuis tapi cuma mau mendengar
musik klasik macam Mozart, berkenalan dengan jazz yang liar dan tak teratur itu. Ia juga “dihadiahi” Hermine
seorang cewek manis yang mengajarinya seni bercinta nan sakral.
Sisi
spiritual hubungan seksual antara Haller dan Maria juga bisa ditemui dalam Siddharta yang ditulis Hesse lima tahun
sebelum Steppenwolf. Lewat gairah cinta
Siddharta dan Kamala, seks dikisahkan sebagai sesuatu yang suci, bahkan menjadi
satu pelajaran yang penting bagi Siddharta untuk mencapai kesempurnaan. Mencapai
suara “om.”
Meski sudah
bersua Hermine dan menemukan gairah hidup dahsyat bersama Maria, Haller masih
ingin mencicipi kematian. Kali ini bukan lewat keputusasaan, tapi dengan sebuah
pikiran puitis bahwa kematian adalah pelengkap bait sajaknya yang belum
selesai.
“Besok atau lusa diriku juga akan dikuburkan
di dalam tanah dengan upacara kesedihan yang penuh kemunafikan…. Seluruh
peradaban kita adalah kuburan tempat Yesus Kristus dan Socrates, Mozart dan
Haydn, Dante dan Goethe bersama bersama orang-orang yang nama-nama mereka tak
terbaca pada batu yang remuk dan para pelayat mengerumuni liang lahat dengan
memancarkan kesedihan dengan penuh kepura-puraan meyakini kekudusan momen
ini,...” (hal. 117)
Meski dengan
cibiran pada orang hidup yang menyaksikan kematian, Haller merasa kalau dirinya
belum mati, ia belum bisa setara dengan manusia-manusia mahsyur sebelum dia.
Sebagai
novel psikologis-filsafat, pembaca akan disuguhi versi sastra dari film-film
semisal Birdman or (The Unexpected Virtue
of Ignorance) (Alejandro Innaritu, 2014) dan Black Swan (Darren Aronofsky, 2010). Tentunya dengan pemikiran-pemikiran
psikologis yang hanya bisa dipahami pembaca karya-karya Jung dan Freud. Atau semacam
Azazel (Yousef Ziedan, 2008) yang
berkisah soal setan – yang mirip dengan konsep serigala – yang berdiam dalam pikiran
seorang rabi. Bedanya, jika Azazel membuat
pembaca jijik dengan radikalisme agama, Steppenwolf
membuat anak muda jijik dengan modernisasi.
Di akhir
catatannya yang gila, Haller menemui jalan keluar lain yang lebih receh namun bertenaga
daripada memaksakan kematian yang tak kunjung tiba. “Kau harus belajar tertawa.
Itu yang akan dibutuhkan darimu. Kau harus memahami lelucon dalam kehidupan,
lelucon tiang pancungan” (hal. 315). Inilah obat mujarab untuk menjinakan
serigala yang membuas dalam jiwa setiap manusia.
Aku diundang pesta,
Entah mengapa;
Tuan-tuan bercelana seksi
Berjajar melongo di balai resepsi.
Mereka tuan-tuan mashur
Namanya dahsyat tiada terukur,
Yang ini seorang dramawan,
Yang itu penulis roman.
Mereka lincah penuh gaya
Membual riang gagah jumawa.
Akupun malu tuk mengatakan
Diriku juga kaum sastrawan
0 komentar