Memenangkan Perang dengan Sinema

02.26




Oleh: Satya Adhi

Judul Film       : Their Finest
Sutradara       : Lone Scherfig
Pemeran         : Gemma Arteton, Sam Claflin, Bill Nighy
Tahun Rilis     : 2016
Durasi             : 1 jam 56 menit
Genre              : Drama, sejarah
Skor                : 7/10

MEMENANGKAN perang tidak cuma diusahakan dengan tembakan mitraliur dan pengiriman pasukan buat merebut kota. Perang juga harus memenangkan perasaan warga. Bujuk rayu yang bertenaga pun dikerahkan melalui sinema.

Di tahun 1940, pemerintah Inggris yang berencana ikut urun dalam kekacauan Perang Dunia II menyadari betul hal ini. Inggris butuh film propaganda perang yang memuat dua hal utama: original dan membangkitkan optimisme penonton. Setelah kegagalan film-film propaganda sebelumnya, Catrin Cole (Gemma Arteton), seorang mantan penulis iklan, digaji dua pounds per minggu oleh Kementrian Informasi untuk menulis naskah film yang lebih ampuh. (Baca selengkapnya...)


Catrin Cole adalah perempuan pekerja khas 1940-an. Dia adalah perempuan yang pada mulanya menjalani peran tradisional, lalu bergerak keluar dari ruang tradisi ke ruang industri untuk memenuhi kebutuhan perang. Dalam film ini, ia dikisahkan lari ke London bersama kekasihnya, seorang pelukis kere yang pincang akibat pertempuran. Cole pada akhirnya menjadi imam “rumah tangga” yang mencari dan memberi nafkah.

Di tim penulis naskah film yang beranggotakan tiga orang, Cole satu tim dengan Tom Buckley (Sam Claflin), lelaki keras kepala, agak jenius menulis, dan seperti lelaki lain pada masa itu, masih ragu akan kemampuan perempuan di ruang kerja. Seperti yang sudah bisa ditebak, Buckley nantinya bakal jatuh cinta pada Cole.

Cole berambisi menunjukan bahwa ia mampu dan lebih jenius daripada Buckley. Pada suatu hari, ia menemui sepasang gadis kembar dengan kisah gila; mereka mencuri kapal kecil sang ayah, lalu pergi ke Dunkirk untuk memulangkan para prajurit yang terdampar di sana. Cole dan timnya memutuskan untuk memfilmkan kisah mereka.

Film tentang film selalu menarik untuk ditonton dan diulas. Film semacam ini tentu bermula dari pertanyaan; mengapa film ini penting untuk difilmkan. Kalau jawabannya tidak cukup kuat, film akan terjebak dalam klise behind the scene yang abai terhadap konteks masa (juga massa dalam kasus Their Finest). Sama dengan film biopik, misalnya. Kalau pertanyaan “mengapa tokoh ini penting buat difilmkan” tidak cukup kuat terjawab, yang muncul ya, film-film semisal Jokowi (Azhar Lubis, 2013), Surat Cinta untuk Kartini (Azhar Lubis, 2016), dan  Anak Negeri (Andika Prabangkara, 2018).

Their Finest, saya rasa cukup mampu menjelaskan mengapa dan bagaimana sebuah film propaganda dibuat. Adegan-adegan paling penting dalam film ini memang bertebaran seputar hal-hal tersebut. Penonton bisa tahu bahwa sebelum film dibuat, para sineasnya perlu riset dan wawancara untuk memperkuat konteks. Dan yang paling penting, penonton bisa tahu kalau campur tangan pemerintah dalam pembuatan film propaganda keterlaluan besar.

Dalam film tentang penyelamatan Dunkirk yang digarap Cole dan Buckley, Kementrian Perang yang tidak tahu apa-apa soal seni dan sinema, tiba-tiba memerintahkan Cole dan Buckley untuk memasukkan tokoh Amerika Serikat di film buatannya. Kementrian Perang juga ingin menujukkan kedigdayaan Inggris kepada penonton Amerika.

“Tapi tidak ada orang Amerika di Dunkrik,” kata Cole kesal kepada Buckley.

Mereka berdua tak bisa apa-apa. Sabda pemerintah adalah sabda raja.

Romansa Penulis Naskah

Di atas tebing yang dihantam ombak tenang lautan, Cole dan Buckley mengobral obrolan. “Apa yang dilakukan seorang Amerika di Dunkirk,” pikir mereka. Perdebatan ringan sering terjadi. Tapi bagi penonton, obrolan variatif antara keduanya adalah daya tarik tersendiri.

Gemma Arteton dan Sam Claflin sungguh mampu memerankan sosok Cole dan Buckley yang sama-sama keras kepala tapi akhirnya saling mencinta. Romansa antara keduanya dibangun sang sutradara, Lone Scherfig, dengan pas. Tidak keterlaluan menggebu-gebu dan tidak keterlaluan acuh tak acuh. Pertengkaran-pertengkaran kecil hingga dialog-dialog puitis khas film, seolah-olah dimunculkan sebagai penanda kalau penulis naskah film (dan penulis apapun) wajib punya kisah asmara yang sinematik, tidak boleh biasa-biasa saja.

Maka, para penulis yang menonton film ini akan bisa merasakan keputusasaan Buckley yang patah hati. Ketidakmampuannya menulis hanya gara-gara seorang gadis yang sudah punya kekasih. “Menurutmu, kenapa orang-orang menyukai film? Karena cerita adalah sebuah struktur.… Ketika hal buruk terjadi, itu masih menjadi bagian dari skenario. Tidak seperti hidup.” Para penulis yang menonton Their Finest akan makin yakin kalau menulis bukan hanya soal pikiran dan kemampuan berbahasa, tapi juga soal stabilitas perasaan.

Sayangnya, bagi saya Their Finest belum mampu menampilkan pertempuran sinematik di Perang Dunia II dengan detail. Pada masa itu, negara-negara besar yang berperang memang punya kementrian khusus untuk mengurus propaganda. Di kubu seberang, Nazi punya Kementrian Penerangan Populer dan Propaganda yang didirikan tahun 1933. Saya rasa, akan lebih ciamik kalau Scherfig menampilkan adegan-adegan di mana Nazi merespon film-film propaganda Inggris, begitu pula sebaliknya, bagaimana analisis dan respon Cole dan Buckley terhadap film-film Nazi.

Keberhasilan film The Nancy Stqrling yang ditulis Cole dan Buckley pun hanya digambarkan lewat para penonton bioskop yang menangis haru di bioskop. Soal keberhasilan propaganda, saya rasa adegan dalam film The King’s Speech (Tom Hooper, 2011), yang menggambarkan riuhnya warga Inggris saat mengerubungi radio untuk mendengarkan pidato Raja George VI tentang perang, terasa lebih spektakuler.

Soal film tentang film, Jagal atau The Act of Killing (Joshua Oppenheimer, 2012) yang berkisah soal bagaimana pembuatan sebuah film bisa menimbulan gejolak psikologis dahsyat buat mantan penjagal orang-orang yang dianggap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), dan The Artist (Michel Hazanavicius, 2012), film hitam putih pemenang Academy Awards yang merekam matinya industri film bisu di Amerika Serikat, masih jadi favorit saya.

Setidaknya, dengan menonton Their Finest, para sineas Indonesia bisa memperoleh sebuah ide film cemerlang. Sebuah ide untuk membikin film tentang film propaganda paling sukses sepanjang sejarah Indonesia, Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C. Noer, 1984). Nah, siapa yang mau membuat filmya?[]




You Might Also Like

1 komentar

  1. Pnduan Tips Memberi Latihan Sabung Ayam Aduan Menjadi Kejam Dan Mengerikan >>Klik Di Sini<<

    Agen Sabung Ayam Online Terbaik Dan Juga Terpercaya http://www.bakarayam.co

    Informasi Terlengkap Mengenai Sabung Ayam

    http://bakarayam330033.blogspot.com/2018/08/kemanfaatannya-daging-kodok-untuk-ayam.html/

    BalasHapus

Like us on Facebook