Konten Eksplanatori Favorit yang Saya Bikin Sepanjang 2020

05.52

SEPANJANG 2020, Narasi, media tempat saya bekerja, lebih banyak menugasi saya untuk bikin konten-konten eksplanatori. Ini jenis laporan jurnalisme yang lebih banyak menekankan unsur "why" dan "how." 

Konten eksplanatori itu asyik. Ia mampu mengisi lini masa kita yang agaknya miskin dari konten-konten komprehensif dan berwawasan. Yang lebih seru, konten eksplanatori membuat reporter dan penulisnya dilatih menyampaikan sesuatu yang kompleks secara sederhana.

Saya tak sendirian memproduksi konten-konten tersebut. Saya hanya satu dari sekian rantai produksi yang harus dilalui sebelum konten bisa dinikmati netizen di Instagram, YouTube, dan Twitter. Ada tim riset, desainer grafis, editor video, produser, produser eksekutif, hingga manajer yang memastikan konten-konten Narasi baik secara mutu jurnalistik dan menyenangkan buat ditonton. 

Konten-konten favorit yang saya bikin banyak berkisar pada topik pandemi COVID-19. Sejak wabah ini dilaporkan di Indonesia Maret 2020 lalu, ada periode ketika setiap hari saya bikin konten soal COVID-19. Bosan, iya. Tapi rasa penat seolah hilang kalau saya mendapat jatah bikin konten yang tak melulu berfokus pada wabahnya, tapi sisi lain wabah tersebut.

Mempertimbangkan kedalaman riset yang mungkin dilakukan dalam beberapa jam pembuatan konten, kerapian naskah, serta kualitas produksi, ini 15 konten eksplanatori favorit yang saya bikin sepanjang 2020.

(Baca selengkapnya....)

Esai

Ayah Ajaib Bernama Salman Rushdie

17.30


Salman Rushdie dan Zafar. (Foto: Judith Aronson).

Oleh: Satya Adhi

SANG AYAH memberinya nama: Rushdie, dari Ibnu Rusyd – orang-orang Eropa menyebutnya Averroes – cendekiawan muslim progresif abad 12, dan setiap penamaan adalah wujud kekuasaan; seperti kala Tuhan mengajari Adam nama-nama. Menghapus ketidaktahuan, memberi kuasa atas yang terberi nama.

Barangkali itulah mengapa sang ayah, Anis Ahmed, membenci karya Rushdie yang paling masyhur, Midnight’s Children. Di novel itu, karakter Ahmed Sinai adalah sosok ayah yang tak bergairah, sering keliru mengambil keputusan bisnis yang memberi dampak buruk untuk keluarga, dan – sebuah adegan yang paling diingat – suatu pagi mendaratkan pukulan di telinga kiri anaknya; Saleem Sinai si bocah ajaib, saat Saleem mengatakan ke seisi keluarga: Aku mendengar suara-suara kemarin. Suara yang berbicara kepadaku di dalam kepalaku. Aku kira – Ammi, Abboo, aku benar-benar mengira – Malaikatlah yang berbicara kepadaku. (Baca selengkapnya ....)

Cerpen

Toko Ajaib

06.49

Ilustrasi: Iva Mykhailian (behance.net)
Oleh: H.G. Wells
Penerjemah: Satya Adhi

(Edisi asli pertama kali terbit tahun 1895. Versi ini diterjemahkan dari The Magic Shop dalam Twelve Stories and A Dream yang dipublikasikan Project Gutenberg tahun 2008).


AKU melihat Toko Ajaib beberapa kali dari kejauhan; aku melewatinya satu atau dua kali, sebuah toko yang kaca jendelanya memamerkan benda-benda kecil memikat, bola ajaib, ayam ajaib, kerucut ajaib, boneka ventrilokuis, barang-barang trik sulap keranjang, setumpuk kartu yang TERLIHAT baik, dan barang-barang sejenis itu, tapi tak sekalipun aku tebersit untuk pergi ke sana hingga suatu hari, nyaris tanpa peringatan apapun, Gip menyeret jariku ke kaca jendela toko, dan mengarahkan dirinya untuk masuk ke dalam. Aku tak percaya tempat itu terletak di sana sejujurnya – toko berteras sederhana di Regent Street, di antara toko lukisan dan toko tempat anak-anak ayam berlari keluar dari inkubator, tapi di situlah tokonya. Aku kira ada di dekat Sirkus, atau di pojok sekitar Oxford Street, atau bahkan di Holborn; selalu di tempat semacam itu yang sedikit sulit dijangkau, dengan semacam fatamorgana di lokasinya; tapi tak diragukan lagi di sinilah toko itu, dan ujung telunjuk gemuk Gip membuat suara berisik di permukaan kaca. (Baca selengkapnya ....)

Ulasan (Buku)

"To a God Unknown" (John Steinbeck): Tiada Ilah selain Pohon-pohon

15.36





Oleh: Satya Adhi

DI BANYAK kebudayaan pohon itu sakral, keramat. Orang-orang Jawa memberi sesaji di bawah pohon beringin. Suku anak dalam di Jambi menganggap roh-roh penolong bersemayam di dalam pohon. Masyarakat Kristiani menaruh pohon cemara saat malam kelahiran Kristus.

Joseph Wayne, yang jadi tokoh pusat novel ini, punya semacam iman pada pohon. Tidak sepenuhnya menyembah, tapi ia percaya kalau pohon ek raksasa yang tumbuh di tanah pertaniannya adalah jelmaan roh sang ayah yang telat wafat.

Joseph mengajak pohon itu bicara, memberinya anggur, membiarkan si pohon merengkuh putranya. Terlihat tak ada yang masalah, memang. Namun salah satu saudara Joseph, seorang penganut Kristen yang taat, menganggap Joseph murtad dan berpaling ke berhala. Burton, saudaranya, membuat pohon itu mati. Masih berdiri tegak tapi tak lagi bernyawa. (Baca selengkapnya ....)

Cerpen

Kematian Singkat Seorang Penyamun

22.41


Gambar: Flickr
Oleh: Satya Adhi
SEPOTONG malam, di sini aku akan mati. Jidat langit melompong tanpa gemintang. Gelap. Bubuk tanah hambar tak menguarkan bau. Satu-satunya aroma yang kuhirup memancar dari tubuhku. Anyir.
Dadaku sakit sekali. Merah. Beruntung angin bernapas sejuk. Suara daun-daun tebu bercumbu menenangkan. Udara semacam ini biasa membuatku masuk angin. Tapi kali ini embusannya cukup buat menghibur sakit di dadaku.
Oi! Menyingkir dari kakiku, tikus sialan. Belum saatnya kau makan malam. Menyingkir, kubilang! Asu. Oh, jangkrik … ya, teruslah nembang seperti itu. Para daun, bercumbulah lebih semangat. Rancak. Nah, seperti itu. Tidak, jangan kalian, para tikus! Diam! Kalian merusak tabuhannya.
Ada suara motor berderu. Suaraku tertahan, sial. Tolong … tol …. Keluarkan suara lantangmu wahai tenggorokan terkutuk! Suara motornya menghilang. Aku harus bertahan. Aku akan menunggu motor selanjutnya lewat. Iya, aku akan menunggu.

Rekaman

Soto Trisakti: Semangkuk Kenangan dari Kalilarangan

00.57




 
sumber foto: blog.airyrooms.com
Oleh: Satya Adhi

Soto bening khas Solo yang satu ini ada sejak separuh abad silam. Sakti mandraguna hingga sekarang.
Ada rutinitas wajib di warung kecil di jalan Kalilarangan, Jayengan, Serengan, Solo. Setiap pukul empat pagi, dapur warung akan sibuk mengepulkan asap. Aroma rempah dan daging sapi memekakkan lubang hidung. Menanti disantap para pengunjung yang mulai berdatangan dua jam kemudian.
Meski luas warung cuma seluas setengah lapangan bulutangkis, pengunjung tetap saja berdatangan tak mau henti. Buktinya, dinding hijau warung ini dipenuhi kalender dari ragam usaha yang numpang promosi.
“Kalender-kalender itu juga punya pelanggan sini,” kata Romli, generasi keempat penerus usaha Soto Trisakti, Sabtu (20/1/2018). “Kalau saya mata duitan, sudah saya buat kotak-kotak [penyewaan ruang promosi].”

(Baca selengkapnya...)

Esai

Dari Sensor ke Sensor: Bagaimana Industri Film Korea Bertahan dan Melawan

22.44


Protes di depan sebuah bioskop di Myongdong, Seoul, pada September 1988, terhadap distribusi langsung film Hollywood ke Korea (sumber: popupargusts.blogspot.com).

Oleh: Satya Adhi

Sejarah film Korea adalah sejarah perlawanan. Ini yang jarang dibahas ketika Parasite-nya Bong Joon-ho menjadi film Korea pertama yang raih piala Oscar untuk kategori film terbaik di Academy Awards 2020.

Nyaris semua orang membicarakan bagaimana Parasite sukses membikin sejarah; bagaimana film tersebut akan mengubah lanskap perfilman global. Kita agaknya lupa kalau film sekelas Parasite tak mungkin lahir dari situasi sosial-politik yang biasa-biasa saja.

Korea -- seperti negara dunia ketiga lainnya -- punya sejarah panjang tentang represi dan sensor terhadap karya seni. Mengetahui bagaimana para produser dan pembuat fIlm Korea merespons kebijakan penguasa dari masa ke masa, akan membantu kita melihat apa yang tak tampak di layar sinema.

Korea di Bawah Rezim Sensor

Industrialisasi sinema Korea setidaknya bisa dilihat sejak 1960-an, saat rezim militer Park Chung-hee berkuasa. Di tengah hubungan yang panas dengan Korea Utara pasca perang 1950-1953, pemerintah Korea tak berminat tumbuhkan industri sinema yang semata datangkan cuan.

Like us on Facebook