Ulasan (Film)

Contek-mencontek Menjadi Satu, Itulah Sekolahan

18.14

sumber: amiratthemovies.wordpress.com
Oleh: Satya Adhi

Judul               : Bad Genius
Sutradara       : Nattawut Poonpiriya
Pemain           : Chutimon Chuengcharoensukying, Chanon Santinatornkul, Teeradon Supapunpinyo
Tahun Rilis     : 2017
Durasi             : 130 menit
Skor                : 8,5 / 10

Awas! Film ini berisi adegan-adegan mencontek yang inspiratif untuk trik-trik mencontek yang lebih kreatif. Butuh kedewasaan pikir buat menonton.

FILM THAILAND pertama-tama digemari di Indonesia karena kisah cinta ABG SMA-nya. Saya yakin, film-film macam Suckseed (Chayanop Boonprakob, 2011) dan Crazy Little Thing Called Love (Puttipong Pormsaka, 2010) adalah gerbang utama sebagian besar penonton Indonesia ke jagat sinema Thailand.

Bad Genius – seperti kebanyakan film Thailand favorit penonton Indonesia – memang berlatar kehidupan SMA di sana. Tapi premis utamanya bukan seorang siswa yang jatuh cinta pada seorang siswi kemudian hubungan mereka dikemas dalam komedi kocak yang bikin ngakak. Bad Genius adalah film thriller-kritis soal pendidikan.

Di sebuah SMA kelas atas, Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), dikisahkan sebagai seorang siswi baru nan cerdas, baru saja pindah ke sekolah tersebut. Alasannya agar bisa mendapat pendidikan yang lebih berkualitas, meski kocek yang dirogoh juga jadi lebih menguras. Lynn digambarkan sebagai karakter yang benar-benar menguasai semua mata pelajaran, seakan punya kejeniusan dalam gennya. (Baca selengkapnya...)

Ulasan (Film)

"Dukhtar": Kawin? Lari!

16.00

Sumber gambar: browngirlmagazine.com
Oleh: Satya Adhi


Judul Film       : Dukhtar
Sutradara       : Afia Serena Nathaniel
Pemain           : Samiya Mumtaz, Saleha Aref, Mohib Mirza
Tahun Rilis     : 2014
Durasi             : 93 menit
Skor                : 6/10

TANPA RISET mendalam dan terukur, saya berani mengatakan bahwa mayoritas bocah di Indonesia pertama kali tahu soal seks bukan dari orang tua. Barangkali mereka mendapatkannya dari pelajaran sekolah, pelajaran agama di luar sekolah, atau, yang paling sering saya dengar dan alami, lewat pornografi.

Jauh dari Indonesia, di sebuah pedalaman pegunungan Pakistan sana, Allah Rakhi (Samiya Mumtaz) – yang berarti ‘Allah Melindungi’ – seorang ibu muda tak berpendidikan formal, sudah punya rasa sadar untuk memberi pendidikan seks kepada putrinya, Zainab (Saleha Aref).

Suatu hari, Allah Rakhi mengajak Zainab ke gudang bawah tanah. Ia kemudian mengambil selembar kain yang sudah disimpan turun temurun. “Ini kain dari malam perkawinan Ibu,” kata Allah Rakhi.

Melihat kain yang ternoda bercak darah kemerahan, Zainab bertanya penasaran. “Darah siapa ini?”

“Darah Ibu. Darah nenekmu. Darah neneknya nenekmu.” (Baca selengkapnya...)

Ulasan (Film)

Revolusi dari Balik Kemudi Taksi

11.19



Oleh: Satya Adhi

Judul Film       : A Taxi Driver
Sutradara       : Jang Hoon
Pemain           : Song Kang-Ho, Thomas Krethscmann, Ryu Jun-Yeol, Yoo Hae-Jin
Tahun Rilis     : Agustus 2017
Durasi             : 137 menit
Skor                 : 8/10

DI KOTA, mobil adalah rumah. Dari dalam rumah, penghuni mobil melihat kehidupan kota bergerak keterlaluan cepat. Kadang roda mobil terhambat kemacetan berjam-jam di jalanan. Rumah-rumah pun bisa capek kalau dipaksa bekerja terus.

Kim Sa-Bok (Song Kang-Ho) punya rumah berjalan semacam itu. Tapi dia bukan jenis warga kelas atas yang punya kuasa atas mobilnya sendiri. Kim Sa-Bok cuma sopir taksi yang harus nurut ke mana penumpang akan pergi. Dia berusaha kerja keras untuk membahagiakan putri semata wayangnya, Eun Jong (Yoo Eun-Mi). Maka, penonton bisa maklum kalau uang jadi incaran utama Kim sepanjang waktu.

Siapa sangka, dari dalam rumah, Kim bersua Jurgen Hinzpeter (Thomas Kretschmann), jurnalis teve Jerman yang hendak meliput aksi protes di Gwangju. “So I start a revolution from my bed,” kata Oasis. Kim dan Hinzpeter agak berbeda dari Liam dan Noel Galagher, dkk, tapi peran yang mereka mainkan dalam revolusi demokrasi Gwangju 1980 tak bisa dianggap enteng. Mereka memulai revolusi dari balik kemudi taksi. (Baca selengkapnya...)

Ulasan (Film)

Memenangkan Perang dengan Sinema

02.26




Oleh: Satya Adhi

Judul Film       : Their Finest
Sutradara       : Lone Scherfig
Pemeran         : Gemma Arteton, Sam Claflin, Bill Nighy
Tahun Rilis     : 2016
Durasi             : 1 jam 56 menit
Genre              : Drama, sejarah
Skor                : 7/10

MEMENANGKAN perang tidak cuma diusahakan dengan tembakan mitraliur dan pengiriman pasukan buat merebut kota. Perang juga harus memenangkan perasaan warga. Bujuk rayu yang bertenaga pun dikerahkan melalui sinema.

Di tahun 1940, pemerintah Inggris yang berencana ikut urun dalam kekacauan Perang Dunia II menyadari betul hal ini. Inggris butuh film propaganda perang yang memuat dua hal utama: original dan membangkitkan optimisme penonton. Setelah kegagalan film-film propaganda sebelumnya, Catrin Cole (Gemma Arteton), seorang mantan penulis iklan, digaji dua pounds per minggu oleh Kementrian Informasi untuk menulis naskah film yang lebih ampuh. (Baca selengkapnya...)

Ulasan (Buku)

"Partisipasi Politik Virtual" (Fayakhun Andriadi): Kuasa Warga di Majelis Tanpa Tubuh

06.53




Oleh: Satya Adhi

Judul buku                 : Partisipasi Politik Virtual, Demokrasi Netizen di Indonesia
Penulis                        : Fayakhun Andriadi
Penerbit                     : RMBooks
Tahun terbit              : Cetakan I, November 2017
Jumlah halaman        : xiii + 399 halaman

SEBELUM internet dihadirkan di Indonesia, politik adalah baliho, konvoi jalanan, orasi di panggung, juga goyangan biduanita dangdut. Demokrasi berarti demonstrasi; spanduk bercoret piloks, bakar ban, tangan terkepal di udara. Sebelum ada internet, cuma lima tahun sekali jemari warga berubah politis. Kini, tiap sapuan jemari di layar gawai adalah politik.

Padahal, internet di Indonesia tidak dihadirkan oleh pemerintah yang berimankan demokrasi. Mulanya, pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an pemerintah Orde Baru punya ambisi ambisius di bidang teknologi. Menteri Negara Riset dan Teknologi saat itu, B.J. Habibie, memimpin proyek pembangunan teknologi. Internet salah satunya.

Hingga akhir 1996, diperkirakan ada 40.000 pelanggan internet di Indonesia (Hill & Sen, 2001: 330). Warga jadi sadar kalau internet adalah jagat lain yang tak terpantau intel Soeharto. Meski tiga media besar di Jakarta, Tempo, Detik, dan Editor dibredel pada 1994, orang-orang punya media lain buat mengatasi sensor pemerintah. (Baca selengkapnya...)

Esai

Pers dan Militansi Islam Sipil

06.43

REMOTIVI-Darth Vader (CC0)

Oleh: Satya Adhi
DALAM sejarah perkembangan pers di Indonesia, ingatan tentang "pers versus negara" terus direproduksi dari masa ke masa, dari massa ke massa. Pembredelan majalah Tempo bersama DeTik, dan Editor pada 1994 misalnya, terus menerus diceritakan hingga hari ini.
Namun, narasi sejarah pers Indonesia mutakhir tidak hanya mengisahkan pers versus negara, tapi juga pers versus kelompok Islam sipil militan. Front Pembela Islam (FPI), dalam narasi mutakhir itu, adalah yang terdepan memainkan peran antagonistik tersebut.
Hingga kini, tercatat FPI telah melakukan tekanan, serangan, dan kekerasan terhadap beberapa media di Jakarta. Di antaranya pengrusakan kantor Playboy Indonesia pada April 2006, ancaman terhadap SCTV yang hendak menayangkan film “?” garapan Hanung Bramantyo pada Agustus 2011, tekanan terhadap Kompas usai pemuatan berita tentang seorang pemilik warung yang dipaksa tutup oleh Satpol PP pada Ramadhan 2016, serta tekanan terhadap koran The Jak yang memuat gambar meme Rizieq Shihab pada Mei 2017. Yang terbaru, ratusan massa FPI mendatangi kantor majalah Tempo16 Maret 2018, memprotes pemuatan karikatur yang dianggap menghina Rizieq Shihab. (Baca selengkapnya...)

Ulasan (Buku)

"Steppenwolf" (Hermann Hesse): Separuh Hermann Hesse adalah Serigala

06.27



Oleh: Satya Adhi

Judul                           : Steppenwolf
Penulis                       : Hermann Hesse
Penerjemah              : Marina Pakaya
Penerbit                     : Immortal Publishing
Tahun Terbit             : Cetakan I, 2017
Jumlah Halaman      : 320 halaman


Sejak aku dilahirkan oleh ibuku, aku bersalah. Aku dikutuk menjalani hidup ini. Aku dipaksa menjadi milik negara, bertugas sebagai tentara, membunuh dan membayar pajak untuk penyediaan alat-alat perang” (hal. 273)

PADA catatan yang ditulis Hermann Hesse di tahun 1961 untuk mengawali Steppenwolf entah cetakan yang ke berapa, sang penulis memberi ingat kepada pembaca. “… Steppenwolf adalah satu-satunya karya yang paling sering disalahpahami dengan cara yang gegabah dibandingkan karya-karya saya yang lain, dan kerap kesalahpahaman itu berasal dari pembaca yang suka dan bersemangat dengan kehadiran buku ini, alih-alih berasal dari pembaca yang menolaknya,…” (hal. 5).

Di lain catatan, Berthold Damshauser (2015) memberi penjelasan atas kekhawatiran Hesse tersebut. Sekitar tahun 1960-an, Steppenwolf yang pertama terbit tahun 1927 di Jerman rupanya memberi dampak dahsyat pada gerakan “urakan” di Amerika Serikat. Ia diistilahkan Damshauser sebagai “injil” buat anak-anak Hippie serta kelompok yang menentang kapitalisme dan perang Vietnam.

Setelah diberi ingat oleh Hesse di catatan mula, pembaca akan menemui kata pengantar yang ditulis Hesse melalui karakter seorang bocah. Si bocah berkisah ihwal seorang lelaki bernama Harry Haller yang menyewa kamar di rumah bibinya selama beberapa saat. Harry Haller digambarkan sebagai lelaki penyendiri, mengenaskan, hingga dekat dengan niatan swabunuh atau bunuh diri. (Baca selengkapnya...)

Esai

Dari Aa' Gym ke Felix Siauw: Ustaz Medsos & Medium Dakwah Politis

06.18

Oleh: Satya Adhi

Ketika Zainuddin MZ melejit sebagai dai sejuta umat pada awal dekade 1980-an, tren baru kesalehan publik muncul ke permukaan. Sebutan Zainuddin sebagai “dai sejuta umat” bukan tak punya makna apa-apa. Julukan itu menandai pergantian gaya Islamisasi dari budaya keaksaraan ke kelisanan.

Zainuddin mendapat kesempatan pengarsipan dan publikasi dakwah yang belum pernah didapatkan para dai sebelum dia. Berawal dari kontrak dengan perusahaan rekaman Virgo Record, kaset-kaset rekamannya disetel di hampir setiap rumah di Indonesia Orde Baru. Cara dakwah kelisanan dengan medium dengar semacam ini jelas berbeda dari pengajaran ala pesantren, yang menuntut ketekunan membaca dan menulis—suatu aktivitas soliter.

Rekaman-rekaman ceramahnya yang disetel di radio telah menciptakan komunitas separuh maya di pelbagai tempat. Jika Martin Luther menyatukan umat Protestan lewat budaya keaksaraan berkat terjemahan Injil, Zainuddin menyatukan umat Islam lndonesia lewat dakwah kelisanan. Dan sejak itu (hingga sekarang), mempelajari agama jadi perkara praktis, cenderung tidak literer, tetapi tetap populer. (Baca selengkapnya...)

Ulasan (Buku)

"Human Act" (Han Kang): Tafsir atas Tubuh-tubuh Gwangju

05.56



Oleh: Satya Adhi

Judul                           : Mata Malam
Penulis                        : Han Kang
Penerjemah               : Dwita Rizki
Penerbit                     : Penerbit Baca
Tahun terbit              : Oktober 2017
Jumlah halaman        : 257 halaman

Aku terkejut ketika memulai Mata Malam. Ia adalah ujud Han Kang yang liyan. Cukup liyan dengan Vegetarian (diterbitkan Penerbit Baca, Februari 2017) yang sangat personal dalam mengisahkan tubuh, Han Kang memulai Mata Malam dengan pemandangan massal tubuh-tubuh tak bernyawa.

Tubuh-tubuh itu dibunuh oleh negara (baca: tentara). Saat mati dibungkus bendera negara. Orang-orang yang masih hidup menyanyikan lagu kebangsaan negara untuk mereka. Hingga Dong Ho, seorang bocah yang tengah mencari jenazah kawannya, mengajukan pertanyaan jenius. “Kenapa mereka menyanyikan lagu kebangsaan untuk orang-orang yang dibunuh oleh tentara? Kenapa mereka menyelimuti peti mati dengan bendera Korea? Seolah-olah yang membunuh mereka bukan negara” (hal. 18).

Sejak membaca Vegetarian, aku sadar kalau Han Kang memang jeli mengeksplorasi tubuh. Dalam babak kedua Mata Malam, Napas Hitam, Han Kang bahkan membuat arwah yang mati menjadi hidup. Aku merinding manja. Lalu merasa wajib menambahkan Han Kang ke dalam daftar penafsir kematian favoritku – selain Orhan Pamuk dalam Namaku Merah (diterbitkan Serambi, 2015) dan Efek Rumah Kaca dalam Putih (album Sinestesia, 2015). (Baca selengkapnya...)

Like us on Facebook